Pergantian tahun 2017 ke 2018 saya
lalui di kampung halaman. Si sulung pulang dan ingin sekali mengunjungi kerabat
di desa kelahiran ayahnya. Minggu
tanggal 31 Desember 2017 kami berdua berangkat dengan kereta Sancaka sampai Madiun
dan dilanjutkan dengan naik Avansa milik keponakan. Kereta Sancaka kelas ekonomi tepat waktu,
berangkat dari setasiun Gubeng pukul 08.30 dan tiba di Madiun pukul 10.10.
Pemilihan tempat duduk
yang kami lakukan saat memberi tiket secara online ternyata keliru. Kami memilih tempat duduk di gerbong Ekonomi
1 dengan nomor kursi 5C dan 5D, dengan harapan tidak terlalu ujung, tetapi juga
tidak terlalu jauh dari pintu kalau-kalau pengin ke toilet. Posisinya sih tepat, tetapi kursi nomer 5C
dan 5D ternyata posisinya menghadap ke belakang saat kereta berjalan. Saya sih tidak apa-apa, namun si sulung
biasanya tidak tahan. Oleh karena itu,
sejak kereta berangkat dia berusaha tidur.
Dan betul, bisa tidur nyenyak sampai menjelang Madiun.
Kami sampai rumah
keluarga di desa sekitar pukul 11.30.
Pagi belum sempat sarapan dan hanya minum susu. Oleh karena ituu, begitu sampai kami langsung
ingin makan. Bude Cis, begitu kami
memanggil kakak yang sekarang tinggal di rumah keluarga, memasak “jangan tempe
dengan lombok ijo” dan juga ada “jangan terong blendrang”. Sungguh nikmat. Si sulung sangat lahap sambil mengatakan jangan
(sayur) seperti itu yang dirindukan.
Tidak berapa lama,
adik bungsu-saya biasa memanggilnya Toko”- yang tinggal di Malang juga datang
bersama dengan istri dan anak bungsunya
si Ayok. Oleh karena itu “ruma keluarga
kami” cukup ramai hari itu. Ada Bide Cis
berserta salah seorang anaknya-Totok- dengan isteri dan kedua anaknya-Tiar dan
Faul-, serta dua cucu lainnya-Manggar dan Langit-, yang kebetulan
orangtuanya-Wik-tidak pulang.
Sore hari, sekitar pukul
16.30 kami mengunjungi makam Mbak Kung dan Mbak Ti, begitu kami memanggil bapak
dan ibu almarhum. Kompleks makam beliau
berada di tengah sawah dan berjarak sekitar 1 km dari rumah. Memang rumah keluarga kami mewah alias mepet
sawah. Di belakang rumah kami merupakan
persawahan-kami menyebutnya bulakan-cukup luas dan merupakan batas dengan desa
sebelah. Jadinya kalau ke makam Mbah
Kung dan Mbah Ti, kami harus menjalan melalui jalan kecil di persawahan.
Setelah membaca surat
Yasin dan berdo’a secukupnya, kami berjalan pelan-pelan sambil memperhatikan
sawah di kiri-kanan jalan. Suara disel
penggerak pompa air yang dulu ramai, sekarang sudah tidak ada, karena penggerak
pompa air telah berganti dengan motor listrik.
Yang terdengar hanya suara air gemrojog dari ujung pipa. PLN dengan
senang hati mengalirkan listri ke sawah untuk melayani kebutuhan petani. Sepanjang jalan di sawah itu kini berdiri
tiang listrik dari beton yang di beberapa tempat dilengkapi dengan lampu.
Tampaknya akhir
Desember merupakan awal musim tanam padi.
Sebagian besar sawah di sekitar makam Mbah Kung ditanami padi yang
dugaan saya baru berumur 1-2 minggu.
Sebagian masih agak kuring sebagai tanda baru tanam dan sebagian yang
lain sudah hijau tetapi belum beranak, sehingga masih tampak
jarang-jarang. Beberapa petak bahkan
masih belum ditanami, tetapi sudah selesai ditraktor dan siap ditanami. Memang ada yang sudah agak besar padinya dan
sudah mulai diwatun (disiangi).
Ketika sampai
pertigaan jalan, saya dan Toko berserta isterinya-Retno, kepengin melihat sawah
yang lain. Jadilah kami tidak langsung
pulang, tetapi menyusuri jalan ke arah bagian bulakan yang lain yang merupakan
wilayah desa sebelah-namanya Desa Golan. Tampaknya petani desa Golan lebih “maju”. Sawahnya tidak ditanami padi tetapi bawang
merah. Sebagian sedang panen dan
sebagian lagi belum. Saya sempat ngobrol
pendek dengan tetangga yang sedang ikut memanen bawang merah. Menurut yang bersangkutan panenan kurang
baik, karena terlalu banyak hujan.
Saya sungguh menikmati
melihat sawah yang serba hijau. Ada
padi, ada bawang merah dan ada sedikit tomat.
Petani dan sebagian besar tetangga umumnya saya kenal, walaupun sebagian
saya lupa namanya, menyapa dan menanyakan kabar. Ada beberapa yang sepertinya lupa dengan
saya, tetapi begitu saya sapa langsung ingat dan menyebut nama saya dan
menanyakan kabar. Sungguh keakaban ala
pedesaan yang saya rindukan, sehingga kami bertiga berlama-lama di persawahan.
Menjelang magrib saya
baru beranjak pulang sambil terus menyapa tetangga yang sedang di sawah dan
sesekali mencermati tanaman yang ada.
Saya sempat mengambil “telo tahun”, yaitu sejenis singkong yang dahulu
digunakan oleh Pak Mukibat untuk menghasilkan “telo Mukibat”. Daun telo tahun sangat enak untuk dibuat
urab, sehingga walaupun tidak menghasikan umbi tetap banyak ditanam orang.
Sampai di rumah dan
istirahat sebentar, saya mandi di blandongan atau padasan. Apa itu? Tempat mandi ala desa, air dari
sumur ditampung di blandongan kemudian ada pancurannya. Jadi kami kami dengan air pancuran itu. Pola mandi yang sampai saat ini rasanya
paling nimat. Airnya segar dari sumur
yang jernih dan tidak perlu membayar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar