Ujian Sekolah
Berstandar Nasiona (USBN) SD Tahun 2018 tidak jadi 8 matapelajaran dan hanya 3
matapelajaran. Begitu penjelasan Kepala
Balitbang Dikbud yang dimuat beberapa koran.
Penjelasan itu menghentikan wacana yang muncul bahwa USBN SD Tahun 2018
akan mencakup 8 delalapan matapelajaran.
Membaca itu, jujur
saya bingung bukan main. Kurikulum 2013
(K-13) menggunakan pendekatan tematik, kecuali matapelajaran Agama dan
Penjaskes. Akhir-akhir ini muncul
pemisahan matapelajaran Matematika.
Lantas kalau USBN dilaksankaan 3 atau 8 matapelajaran itu matapelajaran
apa? Bukankah siswa belajar secara
tematik? Seingat saya, ketika K-13
dimulai, untuk SD dimulai dari kelas 1 dan kelas 4. Dengan demikian yang dahulu kelas 1 sudah
kelas 5 dan yang kelas 4 sudah masuk SMP?
Okelah, misalnya sebagian besar sekolah baru mulai K-13 pada tahun 2015,
berarti yang kelas 4 sekarang sudah kelas 6 dan mestinya mereka sudah
menerapkan pembelajaran tematik. Okelah,
misalnya belum semua SD menerapkan pembelajaran tematik, lantas yang sudah
melaksanakan pembelajaran tematik apakah USBN-nya menggunakan matapelajaran?
Jika USBN menggunakan
pendekatan matapelajaran berarti tidak sesuai dengan kurikulum yang
dilaksanakan. Saya jadi kaget, ketika
Mas Hartoko menyebutkan anaknya yang kelas 4 menerapkan kurikulum “gado-gado”. Jadi tematik itu seakan menjadi “matapelajaran
baru” menambah matapelajaran yang selama ini ada. Saya menangkapnya, di SD tempat putera
berliau sekolah itu ada matapelajaran PPKn, Bhs Indonesia, Matematika, IPA,
IPS, Agama, Penjaskes, Senibudaya dan TEMATIK.
Sungguh membingungkan.
Mengapa begitu? Saya takut, karena USBN menggunakan
pendekatan matapelajaran sehingga guru terdorog mengajarkan matapelajaran itu. Jika tidak diajarkan takut nanti tidak lulus
USBN. Apalagi jika USBN mencakup 8
matapelajaran yang artinya semua matapelajaran diujian. Kalau itu benar-benar terjadi, menurut saya
roh K-13 hilang.
Pendekatan tematik di
SD sebenarnya akan membuat pembelajaran menjadi kontekstual dan bermakna. Kontekstual, karena apa yang dipelajarai “ada”
dalam kehidupan keseharian anak, sehingga mudah difahami. Bermakna, karena apa yang dipelajari dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan dalam tataran sederhana, dengan pendekatan tematik anak SD dapat
dibimbing untuk memahami fenomena keseharian secara holistik-komprehensif. Bahkan secara bertahap anak SD dapat
dibimbing untuk membuat prediksi dan pemecahan masalah.
Lantas mengapa USBN
sampai saat ini tetap menggunakan pendekatan matapelajaran dan bahkan tahun ini
ada wacana 8 matapelajaran? Saya
menduga, karena kita belum pernah punya soal ujian yang bentuknya tematik. K-13 sudah berusaha melebur semua
matapelajaran yang selama ini dipelajari di SD ke dalam tema-tema yang
sesuai. Namun kita belum mengembangkan
soal untuk mengetahui apakah siswa sudah menguasai kompetensi dalam tema
tersebut. Akhirnya walaupun
pembelajarannya tematik, ujiannya berbentuk matapelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar