Hari-hari ini saya sedang membaca
buku berjudul Prophetic Leadership & Management Wisdom (PROLIM) karya Dr.
Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec. Buku itu
merupakan hadian dari Al Hikmah dan
sudah agak lama saya terima, namun baru sekarang sempat membaca dengan
sungguh-sungguh. Sebelumnya juga pernah,
tetapi hanya sepintas dan bahkan hanya bagian-bagian tertentu.
Bukunya terdiri dari 4
jilid, yaitu shiddiq, amanah, fathanah dan tabligh. Sesuai dengan judulnya, buku itu banyak merujuk
bagaimana Nabi Muhammad memimpin dan dipadukan dengan teori kepemimpinan dari
para pakar. Buku yang sangat menarik. Saya merasa mendapatkan banyak pengetahuan
baru dari buku tersebut. Dari sekian
banyak pengetahuan itu, yang menurut saya paling menarik adalah ketika buku itu
menjelaskan makna fathanah dan tabligh.
Tentu kita sudah faham
bahwa secara sederhana fathanah sering diartikan cerdas. Jadi pemimpin itu harus cerdas. Namun menurut buku itu, pemimpin harus
cerdas dan juga harus tangkas, khususnya dalam memahami masalah dan mengambil
keputusan. Oleh karena itu, pemimpin
merupakan orang generalis. Maksudnya
tidak harus menguasai secara detail dari pekerjaan yang ditangani, tidak harus
menguasai secara detail dari masalah yang harus dipecahkan. Yang dipentingkan menguasai pekerjaan dan
atau masalah itu secara global, sedangkan yang masalah detailnya dapat meminta
staf untuk menanganinya.
Yang justru sangat
penting bagi pemimpin adalah memahami kaitan apa yang ditangani dengan bidang
lain. Untuk bagian ini pemimpin tidak
dapat menyerahkan kepada staf yang mungkin hanya faham tentang hal-hal yang
menjadi tanggung jawabnya. Hanya dengan pemahaman yang utuh seperti itu dapat
muncul pemecahan masalah yang komprehensif.
Tampaknya pemikiran itu mirip dengan apa yang disebut oleh Peter Senge
dengan istilah system thinking, yaitu
memahami sesuatu secara sistemik, baik yang terkait dengan mikro maupun
makronya.
Namun, bukankah banyak
dokter spesialis yang sukses memimpin rumah sakit, memimpin universitas dan
bahkan menjadi menteri? Bukankan juga
banyak orang yang ahli pada bidang tertentu kemudian juga sukses memimpin lembaganya? Kalau begitu antara generalis dan spesialis
tidak harus difahami dikotomis. Dapat saja seorang spesialis mampu menggunakan
pola pikir generalis jika menangani masalah tersentu. Sebaliknya, mungkin juga seorang generalis
juga mampu menerapkan pola pikir spesialistik jika menangani masalah tertentu.
Selama ini makna
tabligh secara sederhana saya padankan dengan komunikasi. Jadi pemimpin haruslah memiliki kemampuan
komunikasi yang baik. Tentu komunikasi
dua arah, sehingga di satu sisi pemimpin harus mampu menyampaikan gagasannya
dengan baik, di sisi lain yang bersangkutan juga harus mampu mendengarkan dan
menyerap pendapat orang lain. Rasanya
hampir semua buku teks tentang kepemimpinan juga menjelaskan seperti itu.
Namun, buku Syafi’i
Antonio memaknainya lebih luas.
Disamping harus mampu berkomunikasi dengan baik, pemimpin juga harus
mampu membangun jejaring kerjasama dengan baik.
Melalui jejaring itu, sinergitas dalam dilakukan, sehingga pekerjaan dapat
dilaksanakan lebih efektif dan efisien.
Dengan sinergitas pemimpin dapat memanfaatkan potensi yang ada, baik
yang dimilki instansinya maupun yang dimiliki instansi partnernya.
Membaca dan mencoba
memahami buku itu, saya jadi teringat istilah 4-C yang disebutkan banyak pakar sebagai
kemampuan yang diperlukan di era digital, yaitu critical thinking, creativity, communication dan collaboration. Namun jika dibandingkan, pendapat Syafi’i
Antonio lebih lengkap. 4-C hanya dapat
mewakili fathanah dan tabligh, sementara sidiq dan amanah belum terwakili. Mungkin perlu tambah satu C, yaitu character
yang mewakili sidiq dan amanah. Jadi 4-C
perlu disempurnakan menjadi 5-C.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar