Ungkapan “merdeka
belajar” telah menjadi tranding topic sejak sambutan Mendikbud dalam Hari Guru
tersebar luas. Apa yang dimaksud dengan
merdeka belajar sedikit terelaborasi dengan kebijakan Mendikbud yang
disampaikan pada rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan se Indonesia pada
tanggal 11 Desember 2019. Merdeka
belajar ditandai dengan: (1) penyederhanaan RPP yang dibuat guru untuk
mengajar, (2) meniadakan UN dan menggantinya dengan USBN dan uji kompetensi di
kelas 4, 8 dan 11, serta survei karakter (3) melonggarkan aturan zonasi dalam
PPDB.
Tulisan ini tidak
dalam posisi setuju atau tidak setuju dengan kebijakan tersebut, tetapi ingin
mendudukkan dalam konsep pendidikan secara utuh. Jika merdeka belajar
dimaksudkan agar siswa dapat mengembangkan potensinya dan belajar sesuai dengan
karateristiknya, memang itulah hakekat pendidikan. Bukankah itu memang hakekat pendidikan, yaitu
membantu anak didik untuk mengembangkan potensinya guna menghadapi masa depan. Bukankah pada hakekatnya pendidikan itu
membantu anak didik menjadi orang yang merdeka, sehingga tidak menjadi beban
orang lain.
Dalam konteks ini,
harus tetap disadari bahwa kemerdekaan diri tidak boleh terlepas dari posisinya
sebagai bagian dari komunitas. Kebebasan
yang dimiliki seseorang harus tetap tunduk dalam norma-norma komunitas dimana
yang bersangkutan berada. Keseimbangan
hak-hak individu dengan keterikatan terhadap norma-norma komunitas itulah yang
menjadi pilar harmoni kehidupan.
Bukankah manusia merupakan makhluk sosial yang selalu hidup dalam
komunitas, betatapun kecilnya.
Jika merdeka belajar
dikaitkan dengan keberagaman potensi siswa dan keberagaman gaya belajar, Gardner
(2010) menyebutkan ada 8 jenis potensi yang mungkin dimiliki oleh anak-anak,
sehingga sangat mungkin masing-masing anak dalam kelas kita memiliki potensi
yang berbeda-beda. Ada 3 jenis gaya
belajar anak dan masing-masing menyenangi pola pembelajaran yang berbeda. Tentu
agar anak berkembang dengan baik, aspek yang dikembangkan harus sesuai dengan
potensi yang dimiliki dan gaya belajar yang disenangi.
Pertanyaan, bagaimana
wujud nyata merdeka belajar itu. Conny
Semiawan (1983) memperkenalkan istilah Kurikulum Berdifensiasi untuk
mengakomodasi perbedaan karateristik siswa.
Sayang sekali, sejauh yang saya tahu belum ada sekolah yang secara jelas
menyebutkan menerapkan konsep kurikulum berdiferensiasi itu. Mungkin memang
tidak mudah, karena jumlah siswa di Indonesia umumnya besar. Guru juga terbiasa menjalankan pembelajaran
one fit for all. Oleh karena itu saya menduga penerapakan merdeka belajar
merupakan tantangan bagi guru di lapangan.
Apakah akan menjadi
individualized instruction? Apakah akan menerapkan konsep mastery
learning? Apakah akan menerapkan konsep
sks? Apakah akan menerapkan contextual teaching learning (CTL)? Atau gabungan
dari berbagai konsep tersebut? Jujur
saya tidak tahu. Tampaknya merdeka
belajar yang disampaikan Mendikbud masih sebagai pemikiran yang mungkin
dilandasi pengalaman atau pengamatan terhadap sekolah “sekolah bagus”. Oleh karena itu, wujudnya nyata merdeka
belajar masih dalam bayangan dan belum merupakan suatu kenyataan yang terjadi
di sekolah.
Kompetensi guru untuk
mampu merdeka juga harus mendapat perhatian. Apapun konsep dan kebijakan
pendidikan yang dikeluarkan, pada akhirnya guru yang melaksanakan di kelas atau
ruang belajar lainnya. Jika guru tidak mampu memahami kebijakan dan menerapkan
di kelas, maka kebijakan akan menjadi “botol baru tetapi anggurnya lama”. Gagasan menyiapkan guru penggerak untuk mulai
menggelindingkan gagasan merdeka belajar mungkin menjanjikan, dengan catatan
tidak mengulangi kebiasaan “hangat-hangat tai ayam”. Jadi gagasan merdeka belajar masih harus
menempuh jalan berliku dan the devil is in detail.
Sebenarnya konsep merdeka
belajar dapat dikaitkan dengan Manajemen Berbasis Sekolah. Abu Duhuo (1999) menyatakan bahwa hasil
belajar siswa merupakan fungsi dari inovasi guru dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran, sementara untuk dapat melakukan inovasi guru harus
memiliki kompetensi dan kebebasan untuk memilih model pembelajaran yang
diyakini cocok dengan konteks siswa dan sekolahnya. Dan tugas manajemen sekolah untuk
memfasilitasi guru agar memiliki kompetensi dan memberi keleluasaan guru untuk
berinovasi.
Dalam merdeka belajar
diharapkan siswa dapat belajar sesuatu yang diinginkan dan atau diperlukan dan
belajar sesuai dengan gaya yang disenangi.
Untuk menjalankan itu, guru juga harus memiliki kemerdekaan memilih
metoda yang tepat bagi siswanya, memilih materi ajar yang sesuai dengan
keperluan muridnya. Untuk mendukungnya,
kepala sekolah juga harus memiliki
kemerdekaan dalam mengelola dan memajukan sekolahnya. Jadi sekolah juga harus merdeka, sebagaimana
konsep manajemen berbasis sekolah.
Namun demikian perlu
dicatat bahwa kemerdekaan atau katakanlah
penerapan kebebasan memerlukan tiga syarat dasar, yaitu: (1) kedewasaan
(maturity), sehingga yang menerima kebebasan itu melaksanakannya dengan penuh
tanggung jawab. Dalam konteks merdeka
belajar, guru dan sekolah harus menyadari bahwa tujuan akhir merdeka belajar
adalah hasil belajar murid yang optimal. (2) kompetensi guru dan kepala sekolah
yang baik (well educated), sehingga tahu bagaimana cara melaksanakan konsep
merdeka belajar dengan benar dan tidak asal merdeka. (3) guru dan kepala
sekolah memiliki informasi yang lengkap (well informed), sehingga tahu koridor
yang tidak boleh dilanggar saat melaksanakan konsep merdeka belajar. Semoga.