Beberapa
hari ini saya disibukkan menjawab dan menjelaskan, mengapa dosen muda di Unesa
didorong atau bahkan “dipaksa” untuk studi S2 atau S3 ke luar negeri. Saya dapat menangkap kekecewaan beberapa
dosen yang ingin studi S2/S3 di dalam negeri, tetapi saya minta ke luar
negeri. Alasan yang diajukan, biasanya
anak masih kecil, bahasa Inggris belum cukup, tidak diijinkan keluarga dan
sebagainya.
Pada
awal-awal menjadi Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti, pada tahun 2007, saya
terlibat diskusi intens untuk mewujudkan world
class university (WCU), yang menjadi salah satu indikator kinera kunci
(IKU) atau key performance indicator
(KPI) Ditjen Dikti. Saya mengajukan
pemikiran, kalau ingin perguruan tinggi Indonesia menjadi WCU maka dosen yang
harus didorong bertaraf internasional. Bukan
karena saya sebagai Direktur Ketenagaan yang mengurusi dosen, tetapi dosen
adalah kunci utama maju-tidaknya perguruan tinggi.
Kalau
gedung dan alat, begitu ada uang dapat segera dibangun atau dibeli. Namun kalau dosen, walaupun ada uang untuk
menyekolahkan atau mengirim untuk pelatihan, masih memerlukan waktu beberapa
tahun. Itupun belum tentu lulus semua. Untuk memperoleh dosen bertaraf
internasional, cara yang paling mudah adalah dengan menyekolahkan mereka untuk
mengambil S2 atau S3 di perguruan yang bagus di negara maju.
Sebenarnya
kurikulum perguruan tinggi di negara maju dan di negara berkembang, tidak
berbeda jauh. Yang berbeda adalah iklim
akademik yang ditunjang oleh adanya dosen yang berkualitas, perpustakaan dan
laboratorium. Iklim akademik itulah yang
kemudian membentuk lulusan dengan mutu bagus.
Kecuali itu, dengan menempuh pendidikan di universitas bagus di negara
maju, dosen akan memiliki jejaring dengan para ilmuwan di berbagai negara. Itulah yang sulit diperoleh jika para dosen
kuliah di dalam negeri.
Bukan
berarti dosen lulusan dalam negeri tidak berkualitas. Namun sulit untuk membangun jejaring
internasional. Sekali lagi, bukan
masalah kualitas, tetapi lebih karena “belum kenal”. Di tambah lagi, dosen lulusan dalam negeri,
banyak yang bahasa Inggris-nya “pas-pasan”, sehingga sulit berkomunikasi dengan
dosen sebidang dari negara lain. Belum
lagi kebiasaan menulis artikel yang juga belum berkembang di sebagian besar perguruan
tinggi dalam negeri.
Mengapa
hanya dosen muda yang diharuskan? Mengapa
dosen yang senior diijinkkan untuk studi S2/S3 di dalam negeri? Sebenarnya itu lebih terkait dengan iklim
akademik di Unesa dan kampus Indonesia pada umumnya serta prinsip “mumpung
belum terlanjur”.
Sebagaimana
diketahui, secara jujur harus dikaui bahwa sebagian besar universitas di
Indonesia, termasuk Unesa, masih lebih tepat disebut teaching university dari pada research
university. Itu dapat diketahui dari
proporsi pemanfaatkan waktu kerja dosen.
Mana yang lebih banyak waktunya di kampus, untuk memberi
kuliah/membimbing mahasiswa atau melakukan riset. Saya yakin, sebagina dosen lebih banyak
menggunakan waktu di kampus untuk mengajar.
Kalau begitu perguruan tingginya lebih cocok disebut teaching university.
Karena
aktivitasnya lebih banyak untuk memberi kuliah, maka iklim riset belum
berkembang. Kebiasaan dan pola pikir
riset belum tumbuh dengan baik di kalangan dosen. Nah, jika dosen yang sudah bertahun-tahun
bekerja di iklim seperti itu, kemudian menempuh studi di luar negeri yang iklim
akademiknya bernuansa riset akan kaget. Belum lagi ditambahi dengan beban ekonomi
yang konon semakin besar, kalau anak semakin besar. Dan kemampuan bahasa Inggris yang juga tidak
tumbuh, karena pergaluan sehari-hari terbatas dengan orang Indonesia.
Dosen
muda yang baru lulus dari S2 diharapkan masih “fresh from the oven” dari studi pascasarjana yang tentunya banyak
muatan riset dan iklim akademik sebagai komunitas mahasiswa S2. Beban ekonominya juga belum seberat dosen
senior. Oleh karena itu “mumpung belum
terlanjur terkontaminasi” dosen muda didorong untuk studi S3 di luar negeri.
Memang
ada kendala bahasa, khususnya yang lulusan S2 di dalam negeri. Untuk itu, universitas harus memberi
falisitas untuk kursus bahasa Inggris dan dosen senior yang berpengalaman,
dapat membantu mencari perguruan tinggi yang tepat, termasuk mencari calon
promotor.
Di
Surabaya ada perguruan tinggi yang pada tahun 1980an mengirimkan banyak dosen
untuk S2/S3 di luar negeri. Waktu itu,
dosen yang tidak studi banyak mengeluh karena beban mengajarnya sangat
banyak. Kesempatan studi ke luar negeri
terbuka luas, karena terlait dengan pinjaman luar negeri yang diterima
perguruan tinggi tersebut. Nah, saat ini
perguruan tinggi itu menikmati keunggulan akademik. Jejaring internasionalnya
juga berkembang baik, karena para dosen alumni berbagai negara itu, kemudian
menjadi jembatannya.