Seperti
saya ceritakan terdahulu, di hari pertama saya bersama dengan tim monev datang
ke Desa Bulude Kecamatan Essang. Sampai
di lokasi (rumah tokoh masyarakat, sekaligus Ketua Komite Sekolah) disambut
oleh Komandan Koramil, Kepala Desa Bulude dan Bulude Selatan, Kepala SMP Satu
Atap Negeri 1 Essang di Bulude, Kepala Negeri 3 Essang di Mamahan, Kepala SDK
Nazari Bulude, para siswa SD dan SMP serta warga sekitar.
Sungguh
diluar dugaan. Walaupun kami datang sudah gelap (sekitar pukul 18.30an), tetapi
mereka menunggu. Halaman Pak Ketua
Komite Sekolah dipenuhi para undangan, termasuk anak-anak SD dan SMP yang
memakai seragam. Halaman rumah dipasangi
terop lengkap dengan janur. Jadi mirip
dengan orang punya hajat. Ada upacara
penyambutan secara adat, dengan bahasa daerah, sehingga diterjemahkan. Artinya kurang lebih ucapan selamat datang.
Acara
diisi dengan sambutan dan hiburan berupa tarian dan paduan suara anak-anak SD
dan SMP. Dan tentu saja sambutan tuan
rumah dan tim monev. Sungguh menarik,
anak-anak itu sudah sejak pukul 15an menunggu dan tetap bersemangat saat
menari. Anak-anak SD menari tempurung
yang diiringi lagu daerah yang dinyanyikan oleh gurunya. Sangat khas.
Ketua Komite yang mewakili masyarakat menyampaikan “baru kali ini Bulude
didatangi pejabat dari luar Talaud”.
Selesai
acara “resmi” kami semua, tim monev dan semua yang hadir menikmati hidangan
makan malam. Konon makanan tersebut
dimasak oleh masyarakat sekitar secara gotong royong. Masakannya khas daerah dan dipenuhi oleh sea
food. Ada lobster besar-besar yang
banyak di Talaud, ada ketam kenari yang sangat khas, berbagai jenis ikan laut,
dan sayur-sayuran khas Talaud.
Setelah
selesai makan malam, kami minta waktu untuk ketemu dengan peserta SM3T. Maksudnya untuk menerima laporan, apa yang
sudah dilaksanakan dan apa masalah yang dihadapi, agar kami dapat membantu
memecahkan. Secara umum tidak ada
masalah yang berat. Seperti biasa,
masalah utama adalah kekurangan guru sehingga peserta SM3T seringkali harus
mengajar rangkap matapelajaran dan juga rangkap kelas untuk SD. Kemampuan anak-anak SD dan SMP juga sangat
“terbatas”, sehingga peserta yang mengajar di SMP takut bagaimana nanti
anak-anaknya menghadapi Ujian Nasional.
Sambil
mendengarkan peserta menyampaikan laporan, saya mencoba mengamati raut muka
mereka. Umumnya cerah dan tampak
gembira. Oleh karena itu, di sela-sela
laporan saya menyela: “Kok sepertinya sudah para kerasan ya. Apa lagi sudah pada bisa bahasa daerah”. Dan serempak, mereka menyatakan kerasan. Mungkin, karena masyarakatnya sangat ramah,
terbuka dan ekonomi masyarakat baik, sehingga tidak ada hambatan yang terkait
dengan makan, tempat tinggal dan interaksi mereka denga para guru serta masyarakat
sekitar sekolah.
Tiba
paga giliran Defi Bagus Satriyo, laporan yang disampaikan agak berbeda. Alumni FIK ini bertanya bagaimana dapat
membantu anak-anak Talaud yang memiliki prestasi bagus, agar dapat sekolah
“keluar” Talaud. Menurut dia, ada
beberapa anak yang prestasinya bagus.
Anak-anak itu tidak akan berkembang maksimal kalau tetap sekolah di
sekitar Bulude. Defi ingin anak-anak
tersebut dapat bersekolah di Jawa.
Namun, dia belum tahu caranya membawa anak-anak itu ke Jawa. Bagaimana cara pindah dan mungkin terbayang
siapa yang akan membiayai.
Saya
terharu bercampur bangga mendapat pertanyaan itu. Pertanyaan itu menunjukkan kepekaan Defi
untuk membantu anak-anak Talaud yang berprestasi. Dan jika anak-anak pandai yang dimaksud Defi
memang ingin melanjutkan ke sekolah yang tinggi, maka ada indikator “sepasang”
harapan saya terhadap program SM3T mulai tampak hasilnya. Melalui SM3T saya berharap, di satu sisi,
peserta yang nantinya menjadi guru mengenal Indonesia tidak hanya Jawa. Banyak daerah lain yang keadaannya belum
sebaik Jawa. Namun di daerah itu pasti
ada “mutiara” berupa anak-anak cerdas yang perlu pembinaan. Saya yakin di kemudian hari, diantara peserta
SM3T ada yang menjadi kepala sekolah, kepala dinas pendidikan kabupaten atau
propinsi, bahkan akan menjadi bupati atau menteri. Moga-moga setelah menjadi pejabat, mereka
ingat daerah tempat mereka melaksanakan SM3T dan tetap ingin membantu.
Disisi
lain, kehadiran peserta SM3T dapat menjadi “jendela” bagi anak-anak SD/MI, SMP/MTs
dan SMK/SMK/MA setempat untuk melihat “dunia lain”. Dunia yang lebih menjanjikan. Melalui interaksi dengan peserta SM3T,
diharapkan pada anak-anak setempat muncul keinginan untuk sekolah sampai keluar
daerahnya. Diharapkan dari anak-anak
setempat muncul keinginan untuk kuliah di pergutuan tinggi dan paling tidak
menjadi “orang-orang seperti peserta SM3T”.
Nah,
pertanyaan Defi merupakan indikator kepedulian peserta SM3T untuk membantu
anak-anak setempat. Jika ternyata
anak-anak setempat juga ingin sekolah ke Jawa, berarti “jendela” SM3T juga telah
berfungsi. Program SM3T telah menjadi
wahana untuk mempercepat kemajuan SDM di Indonesia, khususnya bagi daerah
tertinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar