Akhir-akhir
ini demam menghadapi Ujian Nasional (UN) tampak mewabah. Dalam dua minggu ini,
saya sudah mengisi lima kali acara yang
terkait dengan UN. Dua kali diundang
saat acara do’a bersama dan tiga kali diminta untuk memberi motivasi. Rasanya saya kok seperti menjadi “dukun” bagi
mereka yang risau menghadapi UN.
Saat
bertemu dengan para kepala untuk memberi motivasi, saya menayangkan foto siswa
yang sedang mengerjakan UN, guru yang sedang mengajar dan orangtua siswa yang
mengantar anaknya mendaftar sekolah.
Saya tanyakan kepada para guru, siapa diantara tiga orang tersebut
(siswa, guru dan orangtua) yang paling takut dan khawatir menghadapi UN? Hampir serempak mereka menjawab: “guru”. Ketika saya tanyakan, setelah guru siapa yang
juga khawatir? Mereka menjawab: “orangtua”.
Mendengar
jawaban itu saya lantas ingat keluhan Rektor ITS (Prof Triyogi Yuwono) yang
tahun ini salah satu putranya akan ikut UN SMA.
Beliau sangat risau, karena putranya tidak begitu rajin belajar. Beliau bercerita, ketika ditegur putranya
menjawab dengan ringan: “Kenapa sih, kok ribut amat, wong UN gitu saja
kok”. Saya menduga peristiwa seperti
itu, banyak terjadi pada keluarga lainnya.
Orangtua begitu khawatir dan meminta putranya lebih rajin belajar. Sementara sang putra menganggap UN itu ringan
dan belajar yang dilakukan selama ini sudah cukup.
Mengapa
fenomena tersebut terjadi? Untuk
memudahkan memahami, berikut ini analoginya. Saat melaju, sopir dengan
tenangnya mengemudikan mobil. Namun seringkali
justru penumpang yang khawatir?
Kenapa? Karena sopir tahu pasti
apa yang dilakukan dengan berbagai pertimbangannya. Sementara penumpang yang tidak faham mengapa
itu terjadi, sehingga takut. Mirip itu,
guru dan orangtua khawatir karena tidak faham apa yang telah dan akan dilakukan
siswa untuk menghadapi UN. Sementara
siswanya sendiri tenang-tenang, karena faham apa yang telah dilakukan dan apa
yang akan dilakukan untuk menghadapi UN.
Tentu
ada siswa yang ceroboh menghadapi UN.
Siswa seperti itu tidak belajar dengan baik, tetapi tetap tenang-tenang
saja. Mirip itu, juga ada sopir yang
kurang terampil dan bahkan “ugal-ugalan”.
Sopir seperti itu akan mengemudikan mobil se-enaknya tanpa memperhatikan
keselamatan penumpang. Namun, saya
yakin jumlah siswa yang ceroboh dan sopir yang ugal-ugalan tersebut tidak
terlalu banyak. Jadi guru dan orangtua
yang khawatir, bukan hanya yang siswanya kurang persiapan. Guru dan orangtua yang anaknya rajin
belajarpun ikut khawatir. Mirip
penumpang bis, yang walaupun sopirnya ahli seringkali tetap khawatir.
Saya
dapat memahami kekhawatiran guru dan orangtua seperti digambarkan di atas. Namun sebaiknya tidak berlebihan, yang justru
berpengaruh negatif terhadap psikologis siswa.
Kekhawatiran yang berlebihan, kadang-kadang menjadi “ketidakpercayaan”
guru terhadap siswa dan “ketidakpercayaan”
kepada anaknya.
Untuk
menghadapi UN atau ujian dalam bentuk apapun, diperlukan dua bekal pokok. Pertama,
penguasaan materi UN. Belajar yang rajin
dan latihan mengerjakan soal-soal adalah bagian dari memperkuat penguasaan
materi UN. Kedua, kemantapan psikologis menghadapi UN. Dengan bekal kepercayaan diri yang
kuat/mantap, siswa akan dapat mengerjakan UN dengan tenang. Sebaliknya, jika kepercayaan diri tidak mantap
seringkali siswa akan “grogi” dalam mengerjakan UN. Akibatnya siswa tidak dapat
mengerjakan UN dengan baik.
Kekhawatiran
guru dan orangtua yang berlebihan, apalagi kemudian diperlihatkan secara
menyolok kepada siswa, dapat menurunkan kepercayaan diri si siswa. Dan jika itu terjadi, justru menimbulkan
dampak negatif bagi siswa yang telah bekerja keras menyiapkan diri. Oleh karena itu, khawatir boleh tetapi jangan
berlebihan. Dan sebaiknya guru dan
orangtua tidak menampakkan kekhawatiran itu kepada siswa atau anaknya. Berilah dukungan psikologis, agar siswa/anak
melangkah dengan mantap memasuki ruang UN. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar