Koran
Republika edisi Kamis 25 April memuat tulisan dengan judul “Caleg Bermutu Hanya
20 Persen”. Tidak jelas dasar
perhitungan sebagai dasar menyimpulkan hanya 20% caleg yang bermutu, dengan
kata lain 80 % dari caleg tahun ini tidak bermutu. Satu-satunya informasi yang disampaikan
adalah banyaknya anggota DPR periode 2009-2014 yang saat ini mencalonkan lagi
menjadi caleg.
Namun
dalam tulisan tersebut dimuat pendapat Ahmad Mubarok, anggota Dewan Pembina
Partai Demokrat, yang mengakui bahwa angka tersebut memang benar. Dia memberi penjelasan mengapa sulit mencari
caleg yang berkualitas. Katanya, para
caleg umumnya masih mengandalkan popularitas.
Pada caleg yang bermutu umumnya tidak punya uang. Sedangkan yang bermutu dan punya uang, banyak
yang tidak mau menjadi caleg. Karena
Ahmad Mubarok merupakan tokoh penting di Partai Demokrat, maka konformasi
tersebut dapat dipercaya. Paling tidak
untuk intern Partai Demokrat.
Membaca
tulisan tersebut dan saya gandengkan dengan tulisan serta informasi lain, saya
mencoba membuat semacam mind map, sebagai berikut. Pertama,
untuk dapat menjadi anggota DPR memerlukan biasa yang besar. Saya pernah ngobrol dengan seorang teman yang
kebetulan juga anggota DPR, katanya diperlukan biaya tidak kurang dari 1 M
untuk menjadi anggota DPR. Untuk apa
saja mas, kok begitu besar? Mungkin itu
pertanyaan naïf, karena memang saya tidak tahu.
Sambil
tertawa teman tadi menjelaskan, dana itu diperlukan mulai untuk memuluskan
menjadi caleg (calon anggota DPR), kampanye, mememuhi permintaan sumbangan
calon pemilih dan sebagainya. Konon begitu
ada nama muncul sebagai caleg untuk daerah tertentu, akan berdatangan proposal
minta sumbangan untuk berbagai hal. Dalam posisi semacam itu, si caleg seakan “mau
tidak mau memberi sumbangan”, karena takut tidak dipilih.
Pada
saat kampanye-pun, diperlukan dana untuk mengumpulkan orang dan bahkan memberi
uang transport. Konon ada orang yang
membandingkan, uang transport yang diberikan oleh caleg satu dengan caleg
lainnya. Belum uang untuk operasional
tim sukses yang konon juga sangat besar.
Intinya di saat kampanye caleg harus siap uang kontan dalam jumlah
besar, karena setiap saat ada yang meminta.
Mendengar
penjelasan itu, saya jadi berpikir pola transaksional sudah sangat kental dalam
proses pemilu. Semua dihitung sebagai
“jual-beli” dan serba uang kontan.
Masyarakat juga semakin “pintar” dan berprinsip “toh kalau sudah jadi,
belum tentu ingat dengan kita”. “Toh
tidak ada besanya apakah si-A atau si-B yang mewakilinya di DPR”. “Kapan lagi rakyat mendapatkan sesuatu kalau
bukan menggedor saat menjelang pemilu”.
Kedua, kalau begitu besar biaya untuk menjadi caleg maka memang hanya orang
yang punya “modal” yang bisa mencalonkan diri. Orang yang tidak punya modal, walaupun pandai dan
punya minta menjadi caleg, tidak akan dapat masuk ke jalur itu. Dalam hati saya bertanya: “orang-orang pandai
dan idealis apakah punya uang sebesar itu ya?”
Keyakinan saya, jawabnya “tidak punya”.
Jadi betul ungkapan Pak Ahmad Mubarok, orang yang pandai dan idealis
umumnya tidak punya modal sebesar itu dan akhirnya tidak dapat menjadi caleg.
Bagaimana
orang-orang yang pandai dan sudah memiliki pekerjaan mapan, sehingga memiliki
uang banyak? Jangan-jangan ungkapan Pak
Ahmad Mubarok itu betul, yaiu: “mereka yang pandai dan punya uang tidak mau
menjadi caleg”. Tentu banyak alasannya,
mungkin sudah sibuk dengan pekerjaannya saat ini. Atau menjadi DPR tidak menarik bagi orang
idealis. Atau berita yang cenderung negatif
terhadap perilaku sebagian anggota DPR membuat
Merenungkan
fenomena di atas, saya jadi teringat seloroh yang populer pada pertengahan
tahun 1990-an. Katanya antara “pandai”,
“loyal” dan “jujur” sulit untuk bersatu dalam diri seseorang. Orang yang pandai dan loyal, seringkali tidak
jujur. Orang yang pandai dan jujur,
seringkali tidak loyal. Orang yang loyal
dan jujur, seringkali tidak pandai.
Apakah
antara “pandai”, “kaya” dan “idealis” juga sulit bersatu dalam diri seorang
caleg? Artinya, caleg yang pandai dan
kaya, seringkali tidak idealis. Caleg
yang pandai dan idealis, seringkali tdak kaya.
Caleg yang kaya dan idealis, seringkali tidak pandai. Semoga itu hanya seloroh dan jauh dari
kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar