Tanggal
18-19 April saya menghadiri workshop yang diadakan oleh Insperktorat Jenderal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di hotel Novotel Solo. Topik workshop adalah Menuju Lembaga yang
Bebas Korupsi. Maksudnya mendiskusikan langkah-langkah
untuk menjadi lembaga (universitas, LPMP, P4TK dsb) yang bebas dari korupsi.
Workshop
dihadiri oleh pimpinan PTN, LPMP, P4TK, Lembaga Bahasa, Lembaga PAUDNI dan
lainnya, khususnya yang berada di wilayah Sumatra dan Jawa. Hadir memberi paparan pembicara dari
Kementerian PAN dan RB, Bappenas, KPK, TII, Biro PIH dan pihak Inspektorat
Jenderal sendiri. Pada umumnya paparan
sangat menarik dan memberi pemahaman baru terhadap beberapa kasus.
Setelah
itu, peserta dibagi menjadi dua kelompok.
Masing-masing ditugasi mereview konsep “Langkah-langkah Menuju Lembaga
Bebas dari Korupsi” yang disusun pada workshop tahun lalu. Konsep tersebut
memiliki 15 tahapan/komponen. Saya masuk
ke kelompok A yang ditugasi membahas komponen/tahapan 1 s.d. 8.
Saya
tidak tahu mengapa ditunjuk menjadi
ketua kelompok dengan sekretaris Kepala LPMP Sumatra Barat (Prof. Jamaris
Jamak). Pada waktu proses
penunjukkan/pemilihan saya berada di luar ruang, karena ada telepon penting
yang harus saya terima. Begitu masuk ruang
sidang saya duduk di kursi paling belakang agar tidak mengganggu jalannya
sidang. Tiba-tiba teman dari Inspektorat
Jenderal yang memandu awal sidang mengumumnya bahwa saya dipilih menjadi ketua
kelompok.
Saya
kaget, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa, karena waktu proses
penunjukkan/pemilihan saya di luar ruangan.
Ya, terpaksa dengan langkah gontai maju ke meja pimpinan. Untung saya sudah mengena Prof. Jamaris Jamak,
dosen UNP yang saat ini menjabat kepala LPMP Sumatra Barat. Beliau yang menjelaskan apa tugas kami berdua
sebagai ketua dan sekretaris kelompok.
Membaca
dengan cepat draft yang harus kami review, saya tidak faham beberapa pengertian
atau definisi dari istilah yang ada.
Oleh karena itu, saya mengusulkan kita menyamakan pengertian itu lebih
dahulu, baru mulai bekerja. Saya tidak
yakin semua peserta juga faham. Saya
kawatir diskusi kita akan melingkar-lingkar karena adanya perbedaan pengertian
terhadap beberapa istilah tersebut.
Peserta setuju.
Setelah
itu saya menanyakan, siapa yang ikut pada waktu workshop tahun lalu yang tentunya
sudah faham tentang beberapa istilah tersebut.
Beruntung ada beberapa peserta yang ikut di workshop tahun lalu dan
ditambah penjelasan dari teman Inspektorat Jenderal, sehingga penyamaan
persepsi terhadap beberapa istilah tersebut segera tercapai.
Setelah
itu saya usulkan kelompok dibagi menjadi delapan sub-kelompok dan masing-masing
sub-kelompok mengerjakan merivew satu komponen/langkah. Saya ajukan alasan waktu bekerja sangat
pendek, hanya sekitar satu jam. Usul
tersebut disetujui dan sub-kelompok dengan cepat dapat dibentuk. Selanjutnya saya dan Prof. Jamaris
berkeliling untuk mendorong setiap sub-kelompok memilih ketuanya. Terpilihlah
para ketua sub-kelompok, misalnya sub-kelompok 1 diketuai Prof. Tian Belawati (Rektor
UR), kelompok 5 diketuai Drs. Suparman, M.Hum (Kepala P4TK PKn dan IPS Malang),
kelompok 8 diketuai Prof. Ibnu Hajar (Rektor Unimed).
Ketika
sub kelompok mulai bekerja, saya dan Prof. Jamaris menyusun skenario untuk pengendalian
kerja, termasuk mengatur laporan sub-kelompok. Prof. Jamaris nyeletuk: “Pak Muchlas banyak
akalnya”. “Semula saya mengira akan sulit memandu sidang”. “Sekarang kita
tinggal memantau”. Saya komentari sambil
berseloroh: “Itu keuntungan menjadi pimpinan sidang, karena berhak memerintah
anggota”.
Pada
acara penutupan ternyata saya dapat tugas lagi, yaitu mewakili peserta
menyampaikan kesan-kesan selama mengikuti workshop. Tugas itu disampaikan dengan catatan di
kertas pada saat acara penutupan akan dimulai.
Jadinya saya bingung apa yang harus saya sampaikan. Saya juga tidak sempat minta masukan kepada
teman-teman peserta lain.
Karena
yang akan menutup Pak Irjen (Prof Haryono Umar) saya terpikir untuk
menyampaikan “keluhan” tentang DIPA PTN yang sampai saat ini masih
dibintang. Tentu cara menyampaikannya
harus santun. Oleh karena itu, saya
sampaikan dalam bentuk simbolik, kurang lebih sebagai berikut:
Konon di jaman dulu ada seorang raja
pendiri sebuah kerajaan. Sebagai pendiri
kerajaan , raja tersebut sekaligus juga panglima perang. Dan pernah memimpin peperangan yang
menyebabkan telinga sebelah kanannya hilang karena tertebas pedang musuh. Intinya raja tersebut kehilangan telinga
kanan.
Raja tersebut memiliki dua orang anak,
seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Ketika usianya sudah mulai uzur, raja tersebut bermaksud untuk
menyerahkan tahta kepada anak laki-lakinya.
Niat itu disampaikan saat makan bersama permaisuri dan kedua anaknya. Mendengar maksud itu, kedua anaknya ingin
rakyat tetap mengenang sang raja sebagai Raja Agung. Oleh karena itu, ingin dibuat lukisan yang
indah dan dipasang di ruang yang biasanya digunakan untuk raja menerima
punggawa kerajaan dan menerima tamu agung.
Untuk itu dibuatlah sayembara untuk
membuat lukisan raja. Lukisan yang
terbaik akan dipasang dan pelukisnya mendapat habiah besar. Pelukis yang pertama ternyata dari UT dan
lukisannya berupa raja dengan pakaian perang, memegang pedang dan tameng. Dilukiskan raja tersebut hanya memiliki satu
telinga, sebelah kiri saja. Menerima lukisan
tersebut, putera mahkota tersenyum, tetapi puteri raja marah. Ia mengatakan pelukis dari UT telah menghina
raja. (Saya sebut UT, karena Prof Tian
Belawati tampak serius sekali mendengarkan cerita). Dia katakan, telinga kanan raja memang hilang
tetapi itu karena perang dan bukan aslinya.
Apa kata rakyat dikemudian hari yang tidak mengetahui sejarah hilangnya
telinga kanan raja. Jangan-jangan rakyat
di masa datang mengira raja memang cacat sejak lahir. Intinya puteri raja marah dan pelukis dari UT
tersebut dihukum karena dianggap menghina raja.
Setelah beberapa minggu, datanglah
pelukis dari USU Medan (Saya sebut USU, karena rektornya baru masuk ruang
sidang). Pelukis dari USU menggambarkan
raja sedang duduk di singgasana dengan pakaian kebesaran. Telinganya digambarkan dua buah dan memakai
sumping. Melihat gambar tersebut, puteri
raja tersenyum simpul. Namun, putera
mahkota kaget. Setelah itu sang putera
mahkota memanggil sang pelukis dan marah.
Dia takut dikira keluarga kerajaan sebagai pembohong, karena menyuruh
pelukis untuk menggambar raja dengan telinga dua buah. Dia takut, suatu saat kelak, masyarakat tidak
tahu bahwa itu kehendak murni di pelukis dan mengira sbagai “pesanan” keluarga kerajaan. Karena dianggap menjerumuskan keluarga
kerajaan dalam fitnah, pelukis dari USU itu dimasukkan penjara.
Agak lama tidak ada lagi pelukis yang
datang menyerahkan lukisan. Mungkin
pelukis bingung, bagaimana cara melukis raja.
Dilukis dengan telinga dua buah salah. Dilukis dengan satu telinga juga
salah. Akhirnya datanglah pelikus dari
Jember (karena rektor Universitas Jember duduk di barisan paling depan). Pelukis tersebut menggambarkan raja sedang
menengok ke kanan. Tentu telinga yang
tampak hanya telinga sebelah kiri.
Sedang telinga sebelah kanan yang tertebas pedang tidak tampak. Dengan
begitu, gambar tersebut jujur dan juga tidak membuat puteri raja terhina.
Peserta
tertawa mendengar akhir cerita tersebut. Setelah itu, saya sampaikan: Pak
Irjen, seperti itulah kira-kira posisi rektor PTN saat ini. Anggaran PTN sampai saat ini masih dibintang,
sehingga belum dapat dicairkan.
Sementara kuliah harus tetap jalan.
Penerima beasiswa, termasuk Bidik Misi, juga harus tetap kuliah. Dari mana uang untuk memberli bahan praktikum
dan untuk memberi beasiswa Bidik Misi?
Mau menalangi dengan uang PNBP takut disalahkan. Namun jika tidak ditalangi, sangat mungkin
mahasiswa Bidik Misi akan drop out karena tidak punya uang untuk makan dan
kost. Praktikum juga akan berhenti
karena tidak ada bahan.
Mendengar
keluhan itu pesera bertepuk tangan dan saya sengaja diam sejenak. Saya tidak mengharapkan Pak Irjen memberi
jawaban. Yang saya harapkan (dan saya
yakin juga diharapkan oleh peserta lain) adalah, pihak Inspektorat Jenderal
tidak menyalahkan, jika ada PTN menalangi kebutuhan praktikum dan beasiswa Bidik
Misi, agar perkuliahan tetap jalan dan mahasiswa Bidik Misi tidak
kelaparan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar