Ketika di SD dahulu
saya mendapat cerita bagaimana hukum Archimedes dan gravitasi ditemukan. Katanya suatu saat Archimedes (si penemu)
mandi di bath-up yang diisi air penuh.
Ketika dia masuk, airnya tumpah.
Lantas dia berpikir, kalau begitu tubuhnya mendesak air dalam bak itu,
sehingga tumpah. Kalau begitu tentu ada
gaya angkat sebesar air yang terdesak.
Saking senangnya mendapat ide itu, konon Archimides lari keluar kamar
mandi tanpa berpakaian.
Untuk Newton, cerita
yang saya dapat, dia duduk-duduk di bawah pohon apel dan tiba-tiba ada buah
apel jatuh. Mengapa tidak jatuh “ke
bawah’? Kalau begitu pasti ada gaya yang
menariknya, sehingga apel tidak jatuh ke samping atau ke atas. Itulah awal ditemukannya gaya gravitasi.
Dari cerita itu saya
menyimpulkan kalau temuan-temuan besar bersifat tiba-tiba. Artinya mendadak si penemu punya ide yang
kemudian menjadi temuan besar. Apalagi
iklan pepsodent menayangkan bagaimana sikat giri melengkung ditemukan. Tayangan itu menggambarkan si penemu sedang
melihat apa atau membayangkan sesuatu yang melengkung untuk mencukil
sesuatu. Dan dari situ muncul ide kalau
sikat gigi mestinya juga melengkung agar dapat mencukil kotoran di gigi bagian
belakang.
Namun simpulan itu,
beberapa hari ini berubah. Jane Piirto dalam bukunya Creativity for 21st
Century Skills (2011) menyebutkan bahwa Van Gogh membuat sketa atau lukisan lebih
dari 100 kali sebelum menghasilkan lukisan yang hebat. Thomas Edison bekerja
bertahun-tahun untuk menemukan lampu listrik dan temuan lainnya. Demikian pula composer
William Bolcom mencoba ratus kali sebelum menemukan sebuah komposisi musik. Dari data-data itu, Piirto menyimpulkan
bahwa kreativitas itu hasil kerja keras, disiplin diri dan sebagainya.
Mungkin saja ide
dasar sebuah temuan muncul secara tiba-tiba, tetapi untuk sampai kepada inovasi
diperlukan kerja panjang, kerja keras bermotivasi tinggi, berpkiran terbuka
terhadap “ide-ide gila” dan berani mengambil risiko gagal dalam
mencoba-coba. Menurut saya simpulan atau
sebutkanlah “revisi simpulan” ini penting untuk meluruskan pola piker bahwa
orang kreatif itu memang “dari sononya” dan tidak dapat dipelajari. Oleh karena itu tidak perlu kerja keran untuk
menjadi kreatif.
Uraian yang diberikan
Piirto sekaligus mengajarkan bahwa inovasi itu tidak dapat diperoleh dengan
mudah, tetapi harus melalui kerja keras dalam waktu lama. Tidak ada inovasi yang diperoleh secara
instan atau secara cepat. Para inventor
(penemu) memerlukan kerja keras dan kerja panjang sebelum menemukan
sesuatu. Di samping itu, inovasi
memerlukan focus dan tidak “melebar kemana-mana”. Itulah sebabnya para inventor bekerja fokus
selama bertahun-tahun sebelum menghasilkan temuan spektakulernya.
Seperti diketahui
pola pikir instan kini telah menjangkiti masyarakat. Semuanya ingin serba cepat untuk mendapatkan
hasil. Segera ingin lulus, segera ingin
bekerja, segera ingin kaya, segera ingin sukses dan sebagainya. Tidak ada yang salah untuk segera berhasil,
tetapi upaya sungguh-sungguh untuk mencapai itu juga harus mendapat
perhatian. Memang pepatah Jawa “alon-alon
waton kelakon” harus diberi makna baru.
Bukan harus pelan-pelan, tetapi harus sabar dan tekun menjalani proses
kerja keras untuk mencapai hasil yang besar.
Jadi kata “alon-alon” harus dimaknai bukan “pelan-pelan” tetapi “kerja
tekun”.
Apakah dengan begitu
kreativitas dapat dipelajari? Pada
tulisan lalu saya sudah mengajukan teori konvergensi, yang artinya dapat
dipelajari tetapi juga memerlukan potensi yang memadai. Kreativitas akan optimal, jika yang
bersangkutan memiliki potensi cukup dan belajar keras. Untuk itu diperlukan suasana belajar yang
memungkinkan orang berpikir kreatif.
Untuk itu ada
anekdot. Penulis novel seringali tidak
berlatar belakang pendidikan sastra.
Pengusaha yang hebat banyak yang bukan berlatar belakang pendidikan
bisnis. Guru yang baik banyak yang berlatar belakang pendidikan non LPTK. Pelukis yang baik banyak yang berlatar
belakang non senirupa. Mengapa
begitu? Saya duga karena di pendidikan, mereka
terlaku “dipatok harus ini dan itu”, “tidak boleh begini dan begitu”, akibatnya
kebebasan berpikirnya tidak berkembang.
Akhirnya tidak berani berpikir bebas dan ujungkan kreativitas tidak
tumbuh. Semoga menjadi pemikiran kita
yang menekuni dunia pendidikan.