Lebaran tahun ini
banyak jalan keluar kota yang macet.
Lebaran hari pertama saya dengan keluarga ke Malang memerlukan waktu 3,5
jam. Lebaran hari kedua, dari Malang ke
Surabaya kami memerlukan waktu lebih dari 4 jam. Lebaran hari ke 4 kami membatalkan rencana ke
Ponorogo karena mendapat informasi perjalanan Surabaya-Ponorogo memerlukan
waktu 11 jam. “Balung tuwo” terlalu
berat kalau harus macet selama 11 jam.
Lebaran tahun lalu
lintas memang sudah padat dan macet.
Ponorogo-Surabaya kami tempuh sekitar 8 jam. Namun jika tahun ini perlu waktu 11 jam
berarti ada peningkatan kemacetan yang signifikan. Tahun lalu Surabaya-Malang dapat kami temput
sekitar 2,5 jam dan kini perlu waktu 3,5 jam. Pada hal menurut radio SS jumlah
kendaraan roda dua yang digunakan untuk mudik berkurang, karena byaknya mudik
gratis denga bus. Jumlah orang yang
mudik juga berkurang dibanding tahun lalu.
Lantas apa penyebabnya?
Ketika perjalanan
Surabaya-Malang, saya melihat banyak sekali mobil pribadi “sekelas avansa”. Menantu saya bilang mobil avansa tidak bisa
disalip. Bukan karena kecepatannya
tinggi, tetapi karena saking banyaknya di jalan. Begitu disalip, di depannya ada avansa lagi
dan seterusnya. Akhir terus saja kita di
belakang mobil avansa.
Di samping avansa, di
jalan juga banyak sekali mobil-mobil kecil seperti xenia dan sebagainya. Tentu
pemilik mobil sekelas avansa bukanlah orang-orang kaya raya. Konon orang kaya merasa kuran gengsi kalau
mengendarai mobil yang banyak di jalan.
Jangan avansa, memiliki mobil sedan vios dianggap kurang gengsi, karena
vios banyak digunakan untuk taksi.
Jika pemilik
mobil-mobil sekelas avansa yang lebaran tahun ini “memenuhi” jalan raya itu
bukan orang-orang kaya raya, berarti ada lapisan masyarakat yang dahulu belum
memiliki mobil sekarang memiliki mobil dan digunakan untuk mudik lebaran. Seorang kawan bercerita, sekarang banyak
sekolah kebingunan masalah parkir, karena banyak guru yang membawa mobil. Konon dengan adanya tunjangan profesi, para
guru sudah tidak lagi bersepeda motor tetapi bermobil. Di Unesa, saya melihat banyak karyawan
setingkat kepala sub bagian juga sudah memiliki mobil, bahkan ada beberapa
karyawan biasa (non jabatan) juga memiliki mobil.
Tampaknya taraf hidup
PNS meningkat. Para guru mendapat
tunjangan profesi sebesar satu kali gaji dan PNS non guru mendapat tunjangan
kinerja yang lebih besar. Jadi wajar
jika mereka dapat membeli mobil. Saudara
saya di kampung, suami-isteri menjadi guru SD yang sudah cukup senior. Katakanlah gajinya 3 juta, sehingga dengan
adanya tunjangan profesi suami-isteri itu menerima pendapatan 12 juta per
bulan. Pendapatan yang sangat besar
untuk hidup di desa, sehingga pantas kalau keluarga itu sekarang punya mobil.
Ketika ada wisuda di
Unesa, saya juga melibat ada perubahan yang signifikan. Dahulu banyak wisudawan bersama orangtuanya datang
menggunakan bemo, bahkan ada beberapa yang naik becak. Sekarang ini mereka datang dengan kendaraan
plat hitam, avansa, kijang dan seterusnya.
Mungkin saja mobil sewaan, tetapi minimal mereka mampu menyewa mobil
seperti itu dan bukan menyewa bemo.
Jadi apakah itu indikator
ekonomi masyarakat kita membaik? Saya bukan
ekonom dan merasa tidak punya otoritas menjawab pertanyaan seperti itu. Namun saya senang jika benar-benar ekonomi
kita membaik. Moga-moga ramainya bandara
juga merupakan indikator, sekarang masyarakat kita sudah mampu naik pesawat.
Namun ada dua hal yang
tampaknya perlu kita pikirkan ketika ekonomi masyarakat kita membaik dan mereka
dapat membeli mobil dan naik pesawat. Pertama, perilaku kita dalam mengendarai
mobil dan naik pesawat harus segera ditata.
Anak laki-laki saya sering menggerutu melihat perilaku seperti itu. Katanya, kenaikan finasial mereka belum
dibarengi dengan kesadaran akan hak-kuwajiban.
Akibatnya saat menyopir dan parkir mobil belum memperhatikan apakah
mengganggu orang lain. Demikian pula
ketika berada di bandara. Tampaknya
perlu ada edukasi khusus saat mereka mencari SIM. Tampaknya perlu pengaturan disertai dengan
edukasi kepada pengunjung bandara.
Kedua, perlu ditumbuhkan semacam financial literacy. Ketika mereka memiliki pendapatan “berlebih”
tampaknya cenderung menjadi konsumtif.
Meskipun itu tidak salah, tetapi tentu kurang baik. Kalau saja simpanan
karena pendapatan yang banyak itu dapat diarahkan ke hal-hal yang produktif
tentu akan berdampak positif terahap ekonomi rumah tangga, perekonomian
masyarakat dan negara. Tentu para
ekonom yang lebih faham bagaimana caranya.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar