Di Indonesia pendidikan merupakan satu
sarana paling dicari oleh masyarakat sebagai pengantar kesuksesan. Bahkan orang
tua seringkali lebih mementingkan anaknya untuk kuliah daripada untuk
menumbuhkan dalam diri anak tersebut etos dalam bekerja. Tapi kenyataannya
tidak banyak sarjana yang terserap, justru yang terjadi semakin banyak
pengangguran. Oleh sebab itu muncul pertanyaan, “Apa sebenarnya yang dipelajari
di sekolah?”
Sejenak meneliti apa sebenarnya yang dipelajari
di sekolah yang ada di negeri kita. Seringkali siswa diajari tanggal lahir
Pangeran Diponegoro, tanggal meninggalnya bung Karno. Tapi kenapa siswa ketika
ditanya sesuatu di luar hal tersebut tidak bisa? Artinya ada sesuatu hal paling
penting yang hilang. Kemampuan meneliti, kemampuan untuk mengeksplorasi,
kemampuan untuk bisa belajar secara mandiri.
Dengan persoalan yang sedimikian pelik,
pada akhirnya bisa dikatakan bahwa semua hal di sekolah sudah diajarkan,
kecuali hal yang sangat penting untuk bekal dalam kemandirian belajar. Artinya
anak hanya menelan apa yang diajarkan di sekolah, tapi jika dihadapkan dengan
persoalan yang berbeda, anak tersebut akan mengatakan, “Tidak tahu,” atau
“Tidak bisa.” Oleh sebab itu pada hakikatnya perlu konsep baru berkaitan dengan
pendidikan, terutama berkaitan dengan apa yang harus diajarkan kepada anak
didik.
Sebenarnya kebutuhan anak bukanlah
pengetahuan, atau bisa diibaratkan yang dibutuhkan bukanlah daging. Tapi yang
dibutuhkan bagaimana cara mendapatkan daging tersebut, atau bagaiama cara
mendapatkan pengetahuan tersebut. Kalau hanya diberikan daging saja, maka saat
daging tersebut habis, sang anak tidak tahu harus mencari ke mana.
Persoalannya, justru yang diberikan
selama 16 di sekolah adalah daging semua. Inilah kelemahan hingga kemudian
tidak tahu cara saat dihadapkan dengan medan yang baru. Artinya kebutuhan
sebenarnya hanyalah sebuah kunci untuk belajar, bahkan Prof. Buya Hamka
mempelajari sendiri segala sesuatu, tapi mampu melebihi yang duduk di bangku sekolah.
Untuk membentuk hal tersebut, maka
diperlukan sebuah konsep belajar dari dasar. Jenjang sekolah dasar sebenarnya
cukup dilatih bagaimana harus memahami inti segala sesuatu. Dimulai dari dua
tahun pertama memahami apa yang dibacanya. Contoh dari tulisan sederhana
tentang rumah besar, anak tersebut harus membaca, tapi yang diajarkan bukan
membacanya, tapi cara mendapatkan pokok pembahasan tentang rumah tersebut agar
bisa ditulis ulang.
Tahap kedua, sang anak jika sudah mampu
mendapatkan titik penting dari apa yang dia baca, perlahan berpindah kepada apa
yang dia dengar, inti dari apa yang dia dengar harus ditulis. Artinya kemampuan
untuk menyimpulkan, memahami pokok sebuah ajaran mulai ditekankan. Tidak perlu
muluk-muluk perkataan presiden, dimulai dari perkataan guru di sekolah. Inilah
tahap dua tahun kedua.
Selanjutnya tahap mengambil pokok inti
pelajaran dari apa yang dilihatnya, melatih pengamatan tidaklah mudah, tapi
sebenarnya setiap anak mampu. Contohnya dari film yang dilihat selalu saja anak
bisa bercerita ulang dengan sempurna, artinya sebenarnya bisa, hanya tidak
dilatih keberanian untuk menuliskannya.
Barulah di tahun terakhir anak belajar
untuk mengungkapkan hasil pengamatan dari apa yang dia baca, yang dia dengar,
bahkan apa yang dilihat. Dari sini ia akan memahami bahwa segala sesuatu di
depannya pada hakikatnya sebuah pelajaran jika pintar menarik satu sisi positif
yang ada di dalamnya. Hal ini pula yang sudah hilang dari anak sekarang hingga
mengambil sesuatu apa adanya, tanpa mampu memfilternya.
Kelulusan dari SD dengan sistem yang
seperti ini akan menghasilkan anak dalam banyak kompetensi dasar. Pertama,
kemampuan daya baca yang tinggi. Kemampuan ini sebagai landasan dalam mencari
ilmu. Kedua, kemampuan daya tangkap permasalahan. Artinya bahwa anak sedari
kecil sudah belajar untuk memilah mana yang penting dan mana yang tidak
penting, hal ini pula yang kemudian menjadikan anak memiliki daya fokus yang
tinggi. Terkhir, kemampuan untuk berani mengungkapkan apa yang ada di pikiran.
Kemampuan yang satu ini artinya sudah menjadi sebuah paket lengkap dari
pembelajaran anak.
Yang kurang dari apa yang sudah
diajarkan di sekolah dasar adalah kemampuan berbahasa. Ini wajib hukumnya. Jika
seseorang sudah pandai caranya untuk membaca, menulis, berbicara, tapi hanya
mampu dengan satu bahasa saja, maka itu sama saja mengurung diri dalam negeri
sendiri. Padahal dunia global sudah menanti, oleh sebab itu kemampuan
komunikasi berbahasa international, dalam hal ini arab dan inggris sangatlah
dibutuhkan. Dan sekolah menengah pertama adalah tempatnya.
Di sekolah menengah pertama setiap anak
tidak perlu diberikan materi kecuali dalam penguasaan dua bahasa, bahkan lebih,
mandarin, prancis, baik secara aktif maupun pasif. Latihan yang diberikan tentu
saja mengacu pada pola dasar yang diterapkan di SD, yaitu berlatih dari mulai
membaca, mengambil intisari, dan kemudian mengungkapkan. Artinya siswa yang
sudah lulus dari SMP dia mampu menelaah, dan meneliti buku-buku berhasa
international.
Barulah kemudian setelah anak tersebut
mulai banyak mengetahui pengetahuan, di sekolah menengah atas ditawarkan hendak
ke mana anak tersebut akan menggeluti sebuah bidang. Tugas guru dalam tingkat
ini adalah menuntun anak tersebut agar tidak tersesat arah. Jika ingin
mendalami ilmu kedokteran, maka sedari awal sudah belajar ilmu biologi,
dibimbing oleh guru biologi, dan seterusnya.
Komposisi ini tentu saja harus
dilaksanakan berurut, bukan diacak, baik secara tingkat, maupun secara materi.
Apa yang diajarkan di awal merupakan pondasi (SD), apa yang diajarkan
setelahnya merupakan alat (SMP), apa yang diberikan ketika sudah tingkat SMA
merupakan rumah yang ingin untuk dibuka dengan alat yang sudah dimilikinya. (dimuat dengan ijin penulis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar