Tanggal 25 Agustus
2014 saya diundang oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya untuk rapat Panitia
Seleksi (Pansel) anggota Dewan Pendidikan Surabaya. Walaupun akhirnya ditunjuk sebagai Ketuan
Pansel, secara jujur saya belum tahu landasan hokum pembenatukan Dewan
Pendidikan dan bagaimana prosedurnya.
Dalam rapat saya baru memahami kalau Dewan Pendidikan dibentuk
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
Pendidikan.
Karena ditunjuk
sebagai ketua, tentu saya ingin membaca PP tersebut agar tidak keliru dalam
melakukan tugas. Namun justru saya
menemukan sesuatu yang menarik, yaitu pasal 108 tentang Pendidikan Kecakapan
Hidup. Pasal 108 ayat (1) menyebutkan
bahwa “pendidikan kecakapan hidup
merupakan program pendidikan yang mempesiapkan peserta didik pendidikan non
formal dengan kecakapan personal, kecakapan social, kecakapan estetis,
kecakapan kinestetis, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional yang
diperlukan untuk bekerja, berusaha dan/atau hidup mandiri ditengah masyarakat.”
Saya kaget dan
bertanya-tanya membaca uraian dalam PP tersebut? Diambil dari mana kiranya pengertian PKH
tersebut? Pertanyaan yang segera muncul apakah yang memerlukanPendidikan
Kecakapan Hidup (PKH) hanya anak-anak pendidikan non formal? Apa sebenarnya makna hakiki pendidikan? Saya mencoba menelusuri untuk kita renungkan
bersama.
Pendidikan itu sudah
ada seiring dengan peradaban manusia. Setiap orang tua punya naluri mendidikan
anaknya. Misalnya mendidikan cara makan,
buang air, berpakaian, bercocok tanam, berperilaku dalam lingkungan dan
sebagainya. Intinya orang tua mendidik
anaknya bagaimana berkehidupan yang baik, sesuai dengan tata nilai yang berlaku
di komunitasnya. Pada awal kehidupan
anak belajar kepada orang tua atau orang-orang yang lebih dewasa di sekitarnya.
Nah ketika peradaban
makin maju dan hidup bermasyarakat makin tertata, mulailah dikenal “orang bijak
atau orang pandai atau tokoh” yang dipercaya oleh komunitasnya punya
kelebihan. Pada waktu itu, mulailah
orangtua “menitipkan anaknya” untuk dididik oleh orang bijak tersebut. Pola itu yang kemudian berkembang menjadi
pendidikan non formal semacam padepokan, pesantren dan sebagainya. Namun tujuannya tetap sama, yaitu mendidik
anak-anak agar mampu menjalankan kehidupan yang baik.
Ketika ilmu berkembang
dan muncul model persekolahan, apakah tujuan pendidikan berubah? Memang yang dipelajari di sekolah tidak hanya
tata nilai dan kecakapan yang terkait untuk bekerja. Di sekolah juga dipelajari atau bahkan
sekarang lebih menekankan kepada ilmu pengetahuan, tetapi apakah tujuan
berubah? Saya jadi ingat suatu ungkapan “Non
Scholae Sed Vitae Discimus”. Saya
sudah lupa dimana pertama ungkapan itu saya baca. Namun saya pernah minta penjelasan kepada Pak
Siswanto, anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur dan salah satu tokoh di SMA St
Louis Surabaya. Menurut beliau non
scholae sed vitae discimus artinya kita belajar bukan demi sekolah
(pengetahuan) semata, tetapi lebih-lebih demi kehidupan. Jadi, walapun pola pendidikan berevolusi
sampai saat ini berwujud sekolah, tujuannya tetap sama, yaitu untuk
mempersiapkan diri untuk kehidupan.
Pendidikan
sering dimaknai sebagai upaya membantu peserta didik untuk mengembangkan
potensinya demi menghadapi kehidupan di masa mendatang. Jadi apapun yang dipelajari sebenarnya semua
itu dimaksudkan untuk memberikan bekal agar anak didik dapat sukses dalam
kehidupannya setelah mereka dewasa. Nah, bukankah itu PKH?
Setahu
saya PKH itu terjemahan dari life skills.
Kata “skill” diterjemahkan menjadi “kecakapan” dan bukan keterampilan,
untuk menghindari salah pengertian keterampilan selalu bermakna hal-hal yang
manual. Ketika PKH dikembangkan di Indonesia, seingat saya tahun 2003. Depdikbud
saat itu juga menerbitkan buku berjudul Pendidikan Kecakapan Hidup.
Saat itu
dirumuskan bahwa PKH terdiri dari dua bagian, yaitu kecakapan hidup yang
bersifat generik/umum, yang diperlukan oleh siapa saja dan apapun
pekerjaannya. Bagian ini disekut
Kecakapan Generik (generic skills/soft skills).
Kecakapan Generik dibagi lagi menjadi dua, yaitu
Kecakapan
Personal (personal skills) dan Kecakapan Sosial (social skills).
Bagian kedua dari PKH disebut
Kecakapan Spesifik (specific skills atau hard skills), yaitu kecakapan yang
diperlukan oleh seseorang sesuai dengan pekerjaannya. Jadi kecakapan spesifik dokter tentu berbeda dengan
kecakapan spesifik seorang montir mobil.
Nah, Kecakapan Spesifik dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu kecakapan academik
(academic skills) dan kecakapan vokasional (vocational skills), yang lebih
bersifat keterampilan. Secara skemaik
dapat digambarkan sebagai berikut.
Kecakapan Personal
(PS) Kecakapan Hidup
Kecakapan Social Generik
|
Kecakapan Academik
(AS) Kecakapan
Hidup
Spesifik (SLS)
Kecakapan Vokational
(VS)
Mudah-mudahan, uraian pendek
ini dapat memberikan klarifikasi dari pasal 108 PP no. 17 Tahun 2010 dan juga
menjadi renungan kita bersama. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar