Siang tanggal 26
Agustus 2014 pukul 12.30 saya menemani Kadiknas Surabaya bertemu rekan-rekan
wartawan, untuk menyampaikan rekruitmen calon Anggota Dewan Pendidikan Kota
Surabaya periode 2014-2018. Penyampaian
informasi berjalan lancer, karena memang materinya hanya memberitahuan bahwa
Walikota akan melakukan rekrutmen calon anggota Dewan Pendidikan, kriteria
calon sesuai dengan PP No. 17 Tahun 2010, mekanisme rekrutmen dan jadwal waktu.
Yang menarik adalah
kerika sesi tanya jawab. Menurut saya
ada tiga point yang menarik. Pertama, muncul pertanyaan, apakah sudah clear dengan
Dewan Pendidikan yang lama, sehingga nanti jika yang baru terpilih tidak
terjadi kepengurusan ganda. Kedua, ada rekan wartawan bertanya,
apakah reward yang diterima anggota Dewan Pendidikan. Penanya mengatakan kalau sebernarnya tidak
etis menanyakan masalah reward, tetapi dalam kenyataannya hal seperti itu
selalu menjadi ganjalan. Ketiga, status kelembagaan Dewan
Pendidikan, apakah mandiri atau di bawah Pemkot. Kata si penanya, selama ini fungsi Dewan
Pendidikan kan seperti “anjing penjaga” kebijakan dan pelaksanaan program
pendidikan, sehingga lebih banyak mengkritisi.
Mencermati ketiga
pertanyaan itu, saya agak mengerutkan kening.
Betulkah situasi itu? Kalau tidak
betul terjadi mengapa ditanyakan. Kalau
betul, mengapa itu terjadi? Menurut saya kalau itu benar-benar terjadi, sangat
mungkin disebabkan kurang jernihnya kita berpikir. Atau karena ada aturan yang “abu-abu”
sehingga menimbulkan salah tafsir.
Dalam PP 17 Tahun
2010, pasal 192 ayat (8) mengatakan bahwa masa jabatan Dewan Pendidikan selama
5 tahun dan dapat dipilih kembali dalam 1 kali masa jabatan. Artinya kalau kita berpikir jernih
mendasarkan pada pasal itu, Pemerintah Kota/Kabupaten tidak boleh menetapkan anggota
Dewan Pendidikan baru sebelum masa jabatan anggota Dewan Pendidikan lama
berakhir. Sebaliknya anggota Dewan
Pendidikan yang masa jabatannya sudah berakhir tentu tidak dapat lagi menyebut
dirinya sebagai anggota Dewan Pendidikan.
Saya tidak faham
mengapa pertanyaan pertama mucul.
Mungkin itu terjadi karena sebelum PP No. 17 Tahun 2010 terbit telah ada
kepengurusan Dewan Pendidikan Kota Surabaya.
Namun jika kita berpikir jernih, begitu terbit PP o. 17/2010, tentu
semua pihak harus menyesuaikan diri.
Saya sendiri tidak tahun kapan masa jabatan anggota Dewan Pendidikan
yang sekarang. Moga-moga sudah lima
tahun atau lebih sehingga memang sudah saatnya direkrut calon anggota yang
baru.
Masalah tersebut
terkait dengan pertanyaan ketiga, bagaimana status kelembagaan Dewan
Pendidikan. Pasal 188 ayat (5) dan pasal
192 ayat (2) PP No, 17/2010 menyebutkan bahwa Dewan Pendidikan merupakan wadah
peran masayarakat dalam aktivitas kependidikan, dengan fungsi memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan. Sedangkan status
kelembagaannya disebutkan pada pasal 192 ayat (3) bahwa Dewan Pendidikan
melaksanakan fungsinya secara mandiri dan profesional. Kemandirian juga ditunjang oleh pasal 192
ayat (5) yang mengatakan Dewan Pendidikan melaporkan pelaksanaan tugasnya
kepada masyarakat dan bukan kepada pemerintah.
Dengan status dan
fungsi itu, menurut saya Dewan Pendidikan dapat dan bahkan harus memberikan
saran tentang kebijakan pendidikan dan sekaligus mengawasi pelaksanaannya. Tentu keduanya harus dilakukan secara
seimbang dan secara profesional. Dengan
begitu maka Dewan Pendidikan tidak hanya mengkritisi kebijakan pendidikan,
tetapi juga sekaligus memberikan saran bagaimana seharusnya kebijakan itu
diambil dan dilaksanakan.
Tentu saran maupun
kritik itu harus dilakukan secara profesional.
Tidak boleh hanya asal setuju tetapi juga tidak asal mengritik. Harus dihindari Dewan Pendidikan menjadi “tukang
stempel” tetapi juga jangan sampai “waton suloyo/asal berbeda pendapat”. Harus dihindari pola piker mencari
popularitas dengan asal beda pendapat atau mencari koneksi dengan asal
mendukung. Disinilah diperlukannya
berpikir jernih, sebagai “komponen” masyarakat yang mendapat peran memberi
saran sekaligus mengawasi kebijakan pendidikan.
Pertanyaan kedua
tentang reward, sungguh menarik. Memang “nama”
Dewan Pendidikan seperti mirip dengan Dewan Perwakilan Rakyat, atau mungkin
juga ada yang menafsirkan Dewan Pendidikan itu mirip dengan Komisi yang sangat
banyak di Indonesia, seperti Komisi Pelayanan Publik, Komisi HAM dan sebagainya,
yang semuanya mendapatkan gaji. Apalagi pasal
192 ayat (13 menyebutkan bahwa salah satu sumber pendanaan Dewan Pendidikan
adalah dari pemerintah.
Hanya saja,
penjelasan Kadiknas maupun pengalaman selama ini pendanaan itu untuk
operasional dan tidak ada komponen gaji.
Dengan begitu sifat Dewan Pendidikan lebih merupakan volunteer, sehingga
memang tidak menerima gaji seperti anggota DPRD, dan berbagai komisi di
berbagai bidang. Jadi sejak awal sudah
jelas bahwa anggota Dewan Pendidikan tidak memperoleh gaji. Semoga banyak orang yang memeiliki kepedulian
kepada pendidikan yang bersedia menjadi anggota Dewan Pendidikan, walaupun
tidak memperoleh gaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar