Sambutan sebagai promotor pada
penganugerahan gelar Doktor Honoriscausa kepada
Ir. Abdulkadir Baradja, tanggal 26
September 2017
Assalamu ‘alaikum ww.
Yang saya hormati
Rektor selaku Ketua Senat Universitas Negeri Surabaya dan seluruh anggota senat
yang hadir pada sidang hari ini,
Yang saya hormati
pimpinan universitas, fakultas, lembaga di lingkungan Unesa,
Yang saya hormati para
undangan lain yang mohon maaf tidak dapat sebut satu persatu.
Syukur alhamdulillah,
pagi ini kita dapat menyaksikan upacara penganugerahan gelar doktor
honoriscausa kepada Ir Abdulkadir Baradja. Hari ini, untuk pertama kalinya
Unesa memberikan gelar tersebut dan ternyata prosesnya sangat panjang atau
mungkin termasuk yang terpanjang di Indonesia ini. Surat Rektor tentang rencana pemberian itu
sudah terbit tanggal 7 Agustus 2015 dan baru hari ini 26 September 2017
terlaksana. Jadi perlu waktu 2 tahun
lebih untuk memproses gelar doktor honoriscausa Pak Kadir. Mungkin karena ini
yang pertama, sehingga Unesa dan khususnya Dikti hati-hati. Oleh karena itu, saya mengucapkan selamat
kepada Ir Abdulkadir Baradja berserta keluarga, kepada keluarga besar Al
Hikmah, dan juga kepada Unesa yang berhasil pecah telor dalam pemberian doktor
honoriscausa.
Hadirin yang saya
hormati,
jika kita percaya pada
trait theory pada leadership yang diajukan oleh Thomas
Carlyle pada akhir abad 19, saya ingin mengajukan juga ada trait theory untuk pendidikan atau keguruan. Artinya ada orang yang memang terlahir
sebagai pendidik atau guru. Ir.
Abdulkadir Baradja dapat menjadi salah satu contohnya. Yang saya tahu, Pak Kadir pernah mendaftar
masuk SPG Jl Teratai, tetapi tidak diterima dan akhirnya masuk SMA Kompleks,
kemudian masuk ke ITS Jurusan Elektro dan setelah lulus menjadi dosen di ITS. Mungkin
Pak Kadir berpikiran dosen kan juga guru. Seandainya dulu diterima di SPG
sangat mungkin Pak Kadir menjadi guru SD.
Walaupun sebagai dosen
ITS, toh aktivitas Pak Kadir lebih banyak terkait dengan persekolahan dan
perhatiannya tertuju pada guru. Oleh karena itu agak aneh, seorang Ir Elektro
dan dosen ITS, justru menginisiasi
pembelajaran jarak jauh bagi guru di pedesaan dan bahkan tahun 1984 merintis
asrama calon guru, yaitu mahasiswa IKIP Surabaya yang sekarang bermetamorfosa
menjadi Unesa.
Keyakinan Pak Kadir
bahwa guru merupakan kunci dalam proses pendidikan tampaknya mendahului
beberapa penelitian yang selama ini diacu banyak orang. Pak Kadir telah melakukan itu pada tahun
1980an, sementara John Hettie baru menemukan itu melalui meta analisis di New
Zeland pada tahun 2008, Moushed dkk menemukan di Amerikan Serikat pada tahun
2010 dan Pujiastuti dkk menemukan fenomena yang mirip di Kalimantan pada tahun
2012.
Walaupun memiliki
perhatian besar kepada pendidikan, khususnya guru, Pak Kadir jarang tampil di forum. Oleh karena itu sangat mungkin banyak hadirin
tidak mengenal Pak Kadir, bahkan ketika nama beliau pertama kali dibahas di
rapat Senat Unesa, beberapa anggota senat menanyakan siapa itu Kadir
Baradja. Jika menggunakan teori Erving
Goffman (1959) dalam bidang sosiologi, Pak Kadir termasuk “pemain di balik panggung” (back stage actor). Oleh karena itu Pak Kadir tidak banyak tampil
di depan publik.
Hadirin yang saya
hormati,
Karena doktor
honoriscausa yang dianugerahkan hari ini dalam bidang pendidikan, saya ingin
berbagi apa yang saya amati dan baca tentang pendidikan akhir-akhir ini. Gugatan Jim Clifton tahun lalu (Mei, 2016) tampaknya
perlu mendapat perhatian kita semua, khususnya yang ada di perguruan
tinggi. Melalui artikel pendek berjudul
“Universities: Disruption is Coming”, CEO Galup itu menunjukkan lulusan
universitas mulai tidak dipercaya oleh dunia kerja. Apakah itu mengejutkan? Menurut saya tidak. Dalam bukunya The Global Achiement Gap, Tonny
Wagner (2008) mempertanyakan mengapa sekolah terbaik di Amerika Serikat tidak
mampu memberi bekal untuk suskes di era teknologi. Jauh sebelum itu, tahun 1994 John Nasibitt
dalam bukunya yang sangat populer saat itu, Global Paradox, menengarai banyak
penelitian penting dihasilkan oleh dunia industri dan bukan universias,
sehingga dengan setengah mengejek Naisbitt mengatakan jangan-jangan besuk PhD
lahir dari R&D industri dan bukan dari universitas.
Kemajuan teknologi
yang sangat pesat menjadi penyebab fenomena yang diamati oleh Clifton tersebut.
Goldin dan Katz (2008) dalam bukunya The
Race between Education and Technology menyimpulkan pendidikan selalu kalah
dan keteteran ketika harus belomba dengan teknologi di dunia industri. Akibatnya apa yang apa yang diajarkan di
sekolah dan perguruan tinggi seringkali tertinggal dengan apa yang harus ditangani
mereka setelah lulus dan memasuki dunia kerja.
Pada hal, menurut Jorgen Moller (2011) dalam buku How Asia Can Shape the
World, pendidikan ke depan tidak penting apa namanya dan berapa lamanya, yang
penting kalau lulus mereka dapat melalukan apa.
Apa yang diungkapkan
di atas, bukan dimaksudkan bahwa sekolah/universitas itu tidak penting, seperti
yang diungkapkan oleh Ivan Illich melalui bukunya Deschooling Society tahun
1970an. Sekolah/universitas tetap
penting. Tetapi bagaimana merancang-ulang pendidikan agar sekolah dan
universitas dapat memberikan bekal untuk mengarungi kehidupan bagi
siswa/mahasiswanya. Di era digital ini,
sekolah/universitas harus menggandeng pihak lain, misalnya keluarga, dunia
industri, NGO dan lainnya untuk menangani pendidikan. Pendidikan ke depan
tampaknya beyond schooling. Apalagi jika dikaitkan dengan pendidikan
karakter, yang memerlukan waktu panjang dan teladan dalam kehidupan
sehari-hari. Lant Pritchet (2013)
menggunakan istilah Rebirth of Education untuk mendorong pentingnya menemukan
pola pendidikan di era teknologi ini.
Sebagai front liner
pendidikan, guru dan dosen akan menghadapi tantangan berat dari fenomena di
atas. Selama ini, peran guru dan dosen
sebagai sumber informasi telah diambil alih oleh Google. Bahkan Google juga mengambil alih peran guru,
instruktur dan dosen sebagai mentor pelatihan.
Banyak pembuat bom ternyata belajar dari Youtube. Dan kini peran
guru/sekolah/dosen/universias bahkan Pusat Kurikulum dalam memilih bahan ajar mulai
dipertanyakan. Nah, bagaimana menyiapkan
calon guru yang mampu memilih bahan ajar yang tepat dan mengajarkannya dengan
baik, sekaligus sebagai teladan berperilaku, hingga lulusannya memiliki kemampuan
untuk sukses di dunia kerja dan di masyarakat.
Itulah PR bagi
siapapun yang bergerak dalam bidang pendidikan, termasuk Ir Abdulkadir Baradja
yang sebentar lagi menerima gelar doktor honoriscausa bidang pendidikan. Sekali
lagi, selamat kepada Pak Kadir. Semoga
Allah swt memandu langkah panjenengan melanjutkan perjuangan ikut memajukan
pendidikan di Indonesia tercinta.
Terima kasih, mohon
maaf jika ada yang kurang berkenan.
Wassalamu ‘alaikum ww.