Bahwa gedung milik
Yayasan Pendidikan Sumoroto yang dahulu dipakai SMA, sekarang dipakai Madrasah,
saya sudah tahun sejak tahun lalu.
Seingat saya Kang Min yang memberitahu dan meyakinkan saya untuk ikut
mendukung. Pertimbangan utama, agar amal
para perintis yang sebagian sudah “pulang ke zaman kelanggengan”, begitu Kang
Min menyebutnya, tidak mubazir. Namun
nama madrasah yaitu Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Amaanatul Umah (MITAU), saya
baru tahu saat pulang kampung awal bulan ini.
Saat Dik Wito datang
pagi-pagi sebelum rapat, saya menanyakan nama itu. Pertama istilah “terpadu”, karena biasanya
sekolah Islam terpadu digunakan oleh teman-teman yang berafilisasi dengan
partai tertentu. Saya juga pernah
beberapa kali diminta untuk memberikan pembekalan pada acara Jaringan Sekolah
Islam Terpadu (JSIT). Saya tanyakan
karena afiliasi Yayasan Pendidikan
Sumoroto adalah “partai merah putih”, meminjam istilah Dik Wito. Artinya tidak berafilisasi dengan partai atau
organisasi tertentu dan sejak awal ditujukan untuk ikut memajukan pendidikan di
eks Kawedanan Sumoroto.
Saya gembira saat
mendapat penjelasan bahwa MITAU tidak berafilisasi pada organisasi
tertentu. Istilah terpadu digunakan
semata-mata ingin memadukan pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan dengan
kesadaran pendidikan keagamaan di daerah itu memerlukan perhatian khusus. Itu sebabnya diterapkan pola full day. Anak MITAU masuk pukul 07.00 dan pulan
setelah sholat Ashar. Siang hari
anak-anak mendapat makan siang dan istirahat.
Setelah itu ada pelajaran lagi diakhiri dengan mandi, sholat Ashar
berjamaah baru pulang. Jadi anak-anak
pulang dalam keadaan sudah mandi sore dan sholat Ashar.
Pertanyaan kedua
adalah nama Amaanatul Umah. Setahu saya
nama itu sudah digunakan oleh sekolah di bawah asuhan Kyai Asep yang berlokasi
di Siwalankerto Surabaya dan kini memiliki “cabang besar” di Pacet. Saya gembira lagi ketika mendapat penjelasan
nama itu sudah mendapat ijin dari Kementerian Agama, karena berbeda lokasi dan
berbeda logo. Digunakan nama itu dengan maksud generasi muda perintis MITAU
ingin meneruskan amanah para pendiri yayasan.
Ketika mengunjungi
madrasah dan mengikuti penjelasan Pak Widodo, perintis MITAU, sungguh saya
terkesima. Ternyata mereka perintis
MITAU itu para guru MIN di desa Bogem, yang berjarak sekitar 5 km dari lokasi
MITAU. Memang mereka pada umumnya
bertempat tinggal di sekitar lokasi MITAU.
Nah, ketika melihat ada gedung cukup baik dan nganggur, muncul keinginan
untuk memanfaatkannya dengan bekal pengalaman mengelola MIN.
Di awal rapat, seperti
azimnya, ada bacaan ayat suci Al Qur’an.
Yang membacakan anak kelas 2 bernama Ines dengan menggunakan seragam
olahraga. Pak Widodo menjelaskan, semula
yang akan membaca Al Qur’an ustadzah, tetapi kebetulan yang bersangkutan “berhalangan
syar’i, sehingga Ines yang sedang olahraga dipanggil untuk menggantikan. Ines membaca surat Al Waqiah dengan cukup
baik. Sangat membanggakan, masih kelas 2
awal sudah mampu membaca Al Waqiah tanpa teks, dengan tajuit cukup baik, dengan
penampilan tatak (tidak takut dan tidak ragu-ragu). Menyimak itu, saya melihat suatu awal yang
baik bagi pendirian MITAU.
Setelah itu Pak Widodo
menjelaskan perjalanan MITAU selama 1 tahun 2 bulan. Tahun pertama mendapat murid 14 orang dan
tahun kedua mendapat murid 26 orang plus tambahan pindahan untuk kelas 2
sebanyak 2 orang. Dengan demikian jumlah
murid saat ini 42 orang. Karena full day
MITAU diasuh oleh 4 orang ustad/ustadzah.
Berapa SPPnya? Saya terkejut
ketika Pak Widodo menyebutkan tahun ini SPP tidak naik, tetap sama dengan tahun
lalu sebesar 25 ribu rupiah. Terbayang
di benak saya, berarti pendapatan MITAU hanya 1 juta rupiah per bulan dengan 4
pengasuh. Lantas berapa gaji
mereka? 300 rb/bulan, pada hal lulusan
S1 dan sekolahnya full day.
Di samping SPP, siswa
membayar 4 rb/per hari sekolah untuk makan siang dan snack. Luar biasa, para ustad/ustadzah dapat
mengatur uang 4 rb untuk snack setelah sholat duha dan makan siang setelah
sholat dhuhur. Bahkan menurut Dik Wito
yang mengintip catatan keuangan, masih ada sisa karena seringkali ada wali murid
yang menyumbang beras dan sayur.
Mendengar uraian itu,
Kang Tutuko segera mengajukan ide agar ada donatur tetap untuk mendukung
MITAU. Memang sudah ada kesepahaman
bahwa operasional madrasah harus dapat didukung oleh “penghasilan madrasah”,
tetapi dengan kondisi itu tentu tidak mampu menangani perawatan fasilitas
apalagi menambah ini dan itu. Oleh
karena itu, dana dari donatur itu yang akan dimanfaatkan untuk keperluan di
luar operasional madrasah. Di luar
dugaan, hampir semua peserta rapat mendukung gagasan itu. Bahkan seorang ibu wali murid ikut angkat
bicara mendukung dan akan ikut menjadi donatur plus mengajak orang lain.
Segera saja, Mas
Bangkit-putra Kang Brendil, salah satu pendiri yayasan, ditugasi untuk
menyiapkan ini dan itu terkait dengan penggalanagn donatur tetap. Karena ada kemungkinan donatur yang bertempat
tinggal di luar Sumoroto sehingga tidak dapat diambil, dirancang dapat langsung
mentrasfer ke rekening Yayasan dengan catatan mengirim sms agar dapat
diadministrasikan. Hal itu dimaksudkan
agar setiap bulan dapat dibuat laporan berapa dan dari mana saja dana donatur
diperoleh dan digunakan untuk apa saja.
Transparasi harus dijaga sejak awal.
Sepulang rapat dan
sempat mengunjungi Pak Fendi, salah satu pendiri yayasan yang sedang sakit,
saya merenung. Betapa gigihnya Pak
Widodo dan kawan-kawan dalam merintis MITAU. Betapa “senjangnya” sekolah
kita. MITAU dengan SPP 25 ribu tanpa
uang sumbangan lainnya, pada hal full day dan ustad/ustadzah bergaji 300 ribu
per bulan. Sementara itu di kota besar
banyak SD yang SPPnya lebih dari 1 juta per bulan dengan uang sumbangan awal
mencapai 15 juta. Moga-moga MITAU segera
mendapatkan BOS agar para ustad/ustadzah dapat hidup layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar