Tanggal 1-2 September
saya pulang kampung bersama isteri.
Sudah agak lama tidak pulang kampung, bahkann Idul Fitri yang lalu juga
batal pulang kampung karena cucu sedang rewel karena sariawan berat. Oleh karena itu, mumpung ada libur 3 hari dan
kebetulan tidak ada acara saya sepakat dengan isteri memanfaatkannya untuk
menengok keluarga di kampung dan nyekar ke makan almarhum bapak dan ibu.
Dua hari di kampung
halaman juga saya manfaatkan ketemu teman-teman di Yayasan Pendidikan
Sumoroto. Sebuah yayasan yang berdiri 37
tahun lalu dan pernah mengelola SMA swasta yang kemudian tutup karena berbagai
alasan. Gedung sederhana bekas SMA
tersebut sekarang digunakan untuk MIT Amaanatul Umah (MITAU) yang sangat
unik. Insya Allah akan saya ceritakan
pada tulisan berikutnya.
Sepertinya teman-teman
ingin bertemu engkap. Buktinya saya di-WA Kang Bari, bendahara yayasan, yang
mengirimkan undangan resmi. Saya
lihat undangan agak unik, karena yang
tanda tangan Ketua, Dik Wito, dan Wakil Ketuanya, Pak Djarot. Kang Bari juga memberitahu kalau Kang Min,
teman pensiunan BRI yang sekarang tinggal di REWIN Waru juga pulang. Dalam hati saya senang membayangkan akan
ketemu teman-teman lama.
Tanggal 2 pagi-pagi
Dik Wito ke rumah. Maksudnya ke rumah
keluarga saya di kampung dan bercerita lucu.
Katanya yang mengetik undangan Kang Bari. Teman pensiunan BRI Takengon Aceh ini dengan
gagah berani sanggup mengetik undangan, biar teman-teman lain datang. Nah, setelah undangan jadi dan akan
ditandatangani ternyata terulis rapat diadakan pada tanggal 31 September
2017. Lha, rapatnya kan tanggal 2 kok
ditulis tanggal 31. Dan lagi Septemer
kan hanya sampai tanggal 30. Ketika itu
disadari, muncul kelakar “yo ngene iki wong tuwek (ya begini ini orang sudah
tuwa)”. Ketika undangan dimintakan tanda
tangan ke Pak Djarot, dengan semangat beliau segera tanda tangan dengan
semangat. Lah, setelah selesai ternyata
Pak Djarot tanda tangan dengan ball point warna merah. Ketika sadar kalau keliru, kembali muncul
kelakar “wong tuwek ki orang isi mbedakno mangsi abang op ireng (orang tuwa
tidak dapat membedakan tinta merah apa hitam)”.
Saya ikut tertawa
mendengar cerita itu. Ya, kami memang
orang-orang tua yang 37 tahun lalu dengan semangat ingin mendirikan SMA, karena
saat itu di kecamatan kami belum ada SMA, baik negeri maupun swasta. Setelah itu, saya bertanya “kok sing teken
ketua karo wakil iku piye (kok yang tanda tangan ketua dengan sekretaris)”. Ternyata Dik Edi, sekretaris, meninggal
beberapa bulan lalu. Saya kaget, karena
tidak mendapat kabar dan Dik Edi jauh lebih muda, baru saja beliau pensiun dari
Pemda Ponorogo.
Setelah Dik Wito
pulang, saya dengan isteri segera ke makam almarhum bapak dan ibu. Selesai ke makan saya segera berangkat ke
rapat dan sungguh menyenangkan karena yang hadir cukup banyak. Pak Isdi dan Bu
Isdi, anggota yayasan yang dahulu memiliki lahan yang sekarang menjadi gedung
MITAU juga hadir. Juga hadir para “tokoh
muda” dibalik berdirinya MITAU, ustad
dan ustadzah, dan beberapa wali murid.
Rapatnya santai dan
tidak ada topik yang serius. Sepertinya
hanya ingin kangen-kangenan, sekaligus memperat persaudaraa antara teman-teman
laskar tua dengan tokoh-tokoh muda pengelola MTAU. Dik Wito yang memimpin rapat juga banyak
bercerita tentang riwayat yayasan. Dik
Widodo, yang mewakili generasi muda pejuang MITAU juga menceritakan awal
berdirinya MITAU sekaligus melaporkan perkembangannya.
Ketika Dik Wito
mengucapkan penghargaan yang sangat tinggi kepada Pak Isdi dan Bu Isdi, para
anak muda pejuang MITAU tampak geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, Pak Isdi bukanlah orang kaya
raya. Secara ekonomi memang cukup
lumayang untuk ukuran orang desa. Tetapi
tokoh yang saat ini berumur 85 tahun itu sangat unit cara beramalnya untuk
yayasan. Kebetulan, rumah beliau mepet
dengan lahan yayasan. Nah ketika yayasan
mulai membangun gedung dan tampak lahannya kurang memadai, beliau minta agar
membeli sebagian tanahnya yang mepet itu.
Namun, yayasan kan tidak punya uang.
Beliau yang usul, sertifikat tanah itu dipinjamkan kepada yayasan untuk
agunan meminjam uang ke bank. Nah
uangnya untuk membayar tanah itu.
Sungguh keiklasan yang luar biasa.
Kelucuan mulai terjadi
ketika Dik Wito mengajukan gagasan perlunya regenerasi yayasan. Beliau mulai dengan mengatakan kalau sudah
tidak sanggup rapat malam-malam seperti dulu, karena takut masuk angin. Saya menimpali hal yang sama, karena usia
saya sudah masuk 66 tahun dan 1 tahun lebih tua dibanding Dik Wito. Kang Bari yang duduk di sebelah saya tampak
tidak mau kalah, “lha aku wis 70 (lha, saya sudah 70 tahun). Pak Djarot seperti juga tidak mau kalan, “lha
aku wis 80 ning isih speda motoran deww (lha, saya sudah 80 tahun tetapi masih
naik motor sendiri)”. Jadi sangat bagus
ide Dik Wito, lha pengurus yayasan sudah tua-tua. Apalagi menurut Dik Wito perintis yayasan
yang dahulu berjumlah 39 orang saat ini tinggal 9 orang. Itupun beberapa orang sedang sakit.
Ketika rapat selesai,
kami makan siang dengan nasi krawu ala Sumorot, yaitu nasi dengan sayuran yang
dicampur dengan kelapa diparut. Sambil
makan dan mencoba membuat draf regenerasi kelakar terus bermunculan di sekiat “tuwek-tuwekan
(terkait dengan orang-orang tua)”. Siapa
saja yang sudah meninggal, termasuk Dik Edi yang sudah meninggal pada hal
tergolong yang “yunior” karena baru 60 tahun.
Namun juga ada
informasi menarik tentang Bu Diah, notaris yang membantu pengurusan sertifikat
lahan sekolah. Beliau memang putri Kang
Tutuko, salah seorang anggota yayasan yang juga hadir. Bu Diah tidak mau
dibayar dan bahkan ingin menjadi donatur tetap serta setiap bulan agar ada
petugas yang mengambil donasinya. Tidak hanya
itu, beliau tampaknya berhasil meyakinkan Kepala BPN agar “orang-orang tua”
yang sedang mengurun sertifikat diberi kemudahan. Konon ketika Pak Isdi dkk yang sudah “tuyuk-tuyuk”
itu datang mengurus sertifikat tanah yayasan, diminta ke ruang kepala BPN dan
disuguhi jajanan. Kalimat yang diucapkan
juga sungguh baik, “bapak-bapak sudah berbuat untuk anak bangsa, sementara kami
ini belum”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar