Tanggal 16 September
2017 ini saya memenuhi janji dengan Universitas Katolik Atmajaya Jakarta untuk
mengisi seminar Pendidikan Karakter.
Sebenarnya hari itu saya cukup sibuk minggu ini. Jum’at 15 September
pagi memandu acara Ditjen GTK sampau sholat Jum’at dilanjutkan dengan mengajar
di Pascasarjana Unesa sampai sholat magrib. Bahkan semestinya selesai magriban
saya harus ikut rombongan ke Bojonegoro untuk memberikan pelatihan PTK bagi
guru-guru. Namun apa daya sudah janji
dengan Atmajaya, sehingga saya akan menyusul ke Bojonegoro hari Minggu pagi 17
September.
Agar tidak terlambat
di acara, saya memutuskan terbang ke Jakarta tanggal 15 September dengan
pesawat Citilink terakhir pukul 21.00.
Pihak Atmajaya yang mengatur tiketnya, sehingga saya tinggal
berangkat. Alhamdulillah pesawat take
off on time. Saya sempat tidur saat pesawat take off dan baru bangun sekitar
pukul 21.30an. Ketika turun dari pesawat
dan keluar dari bandara saya agak ragu-ragu.
Begitu banyak orang di bandara.
Ketika sampai di tempat taksi dan bus bandara, saya lebih kaget. Begitu banyak orang, pada hal sudah pukul
22.40an.
Semula saya ingin naik
bus. Toh, oleh Atmajaya saya diinapkan
di hotel Aryaduta Semanggi, sehingga mudah mencari bus. Namun sesampai tempat menunggu bus, saya
ragu-ragu karena jumlah orang yang menunggu begitu banyak. Mau naik Uber dan Grab, saya takut karena
pernah dapat informasi ada sopir Grab yang dipukuli sopir taksi karena
mengangkut penumpang dari Bandara Jakarta Terminal 1. Akhirnya saya memutuskan
naik taksi dan memilih taksi Non Bluebird agar taksi selain Bluebird juga
berkembang.
Antrean cukup
panjang. Namun tidak ada pilihan lain,
sehingga saya sabar saja antre. Sekitar 30 menit saya sudah ada di kelompok
depan antrean dan tinggal dua orang di depan saya. Pas ada taksi Gading datang, dua orang di
depan saya justru memilih taksi Express yang ada di belakangnya. Jadilah saya yang disilahkan petugas untuk
naik taksi Gading.
Begitu masuk taksi
saya ragu-ragu. Sopirnya sudah beruban
dan rambutnya tampak acak-acakan. Ketika
saya naik, beliau malah turun seperti membetulkan sesuatu. Ketika taksi mulai start saya mengatakan
“bang ke Senayan” dan beliau menjawab “ya”.
Taksi mulai berjalan tetapi tiba-tiba mengerem mendadak karena ada taksi
di depannya berhenti. Kembali saya
ragu-ragu, jangan-jangan ada apa-apa dengan pak sopir. Dari kaca spion saya
melihat muka pak sopir seperti tidak fresh.
Ya saya berdo’a saja, toh sudah berada di dalam taksi, mau apa lagi.
Ketika taksi mulai
keluar bandara dan berjalan agak cepat, saya merasa ada angin. Kok aneh ya.
Nah, ketika saya perhatikan ternyata kaca pintu sebelah kanan sopir
dibuka dan pak sopir meletakan tangan di pintu itu. Oleh karena itu saya mengatakan “tolong pak
kacanya ditutup debunya masuk”. Dan pak
sopir segera menutup kaca pintu mobil.
Namun setelah itu, mobil berjalan lebih pelan dan beberapa kali
diklakson oleh mobil lain yang di belakang taksi. Saya mulai tambah ragu-ragu, apalagi saya
dengar beberapa kali Pak sopir menarik napas panjang seperti aga sesak napas. Apakah pak sopir “mabuk” atau sesak
napas? Saya tidak berani bertanya, takut
beliau tersinggung.
Ketika sampai di dekat
pluit, pas akan masuk flyover persimpangan arah ke Priok dan ke Grogol, saya
melihat hal yang aneh kok taksi mengarah ke Priok. Oleh karena itu saya agak teriak, ini mau
kemana pak? Kita ke Senayan. Dengan terburu-buru, pak sopir membanting
stir ke kiri agar masuk ke jalur flyover arah Grogol. Terpaksan taksi melintas di atas markah,
karena terlanjur di lajur ke Priok. Saya
tambah ragu-ragu. Pastilah sopir tahun
arah ke Senayan, kan aneh sopir di Jakarta tidak tahu lajur bandara-Senayan. Apakah pak sopir sengaja salah jalan, agar
argonya banyak? Apakah sopir mabuk
sehingga tidak konsentrasi? Atau hal
lain? Di perjalanan saya merasakan taksi
berjalan tidak stabil. Kadang-kadang
pelan tetapi kadang-kadang ngebut. Oleh karena itu say memasang kewaspadaan.
Sampai di Slipi, saya
bertanya “bang, tahu hotel Aryaduta di Jl. Garnisun Dalam?”. Pak sopir tidak tahu. Ketika saya usulkan keluar tol di dekat
Semanggi, pak sopir ingin keluar di DPR.
Akhirnya saya putuskan turun di jalan dan meminta taksi segera keluar
tol dan berhenti di dekat takasi-taksi berhenti. Ketika taksi berhenti, pak sopir mengatakan
ada charge bandara. Saya agak kaget,
karena charge seperti itu sudah dihapus di bandara Soetta. Ketika saya
menyebutkan di kartu yang diberikan oleh petugas, sudah tidak ada charge, pak
sopir ngotot bahwa charge ada. Ketika saya tanya kenapa tadi taksi mengarah ke
Priok, pak sopir tampak bingung dan mengatakan belum tahu Senayan. Ya sudah, saya segera membayar dan keluar
dari taksi untuk mencari taksi lain.
Sambil naik taksi
lain, saya merenungkan mengapa pak sopir taksi Gading. Apakah beliau mabuk atau
kurang sehat? Apakah beliau memang tidak
tahu jalan arah Senayan atau pura-pura bingung agar argonya banyak? Atau pak
sopir mengira saya orang luar Jakarta sehingga tidak tahu jalan dan dapat
dibohongi. Atau mengira saya tidak tahu
kalau charge bandara sudah dihapus? Ya
sudahlah, mungkin memang Allah swt memberi pelajaran kepada saya agar perilaku
seperti itu tidak ditiru.
3 komentar:
Barusannnnnnn bgtttt hari ini tgl 5 juli 2019 jam 23.00 saya turun dari taksi gading dengan ciri2 supir yg sama dan minta charge bandara juga. Bawa mobil 120km /jam ambil jalur kiri, di kasih tau marah2. Nomor pintu 537...
Baru saja saya juga kejadian yang sama. Naik dari Mangga Dua Square dan turun di Mangga Dua Mall. Argo ga dinyalain, tiba2 langsung minta 50rb. Infonya minimum pembayaran jarak dekat kena biaya 50rb. Blue bird aja minimum 25rb. Saya sempat foto plat mobil dan nomor taksi. Ternyata nomor taksi yg sama, 537 dan platnya B 1137 EX
Sangat mengecewakan,,
Posting Komentar