Tanggal 6 September
Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres no. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK). Dengan Perpres
ini polemik tentang lima hari sekolah dapat diselesaikan dengan elegan. Pasal 9
ayat (1) dan (2) pada Perpres tersebut meyebutkan hari sekolah diserahkan
kepada Sekolah bersama-sama dengan Komite Sekolah/Madrasah. Dengan demikian sekolah dapat memilih jumlah
hari sekolah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami. Pemberian kewenangan seperti itu sekaligus
menguatkan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana diamanatkan
UU Sisdiknas, pasal 51 ayat (1), yang juga disebut pada pasal 6 ayat (3) Perpres no. 87/2017 tersebut.
Istilah penguatan
dalam perpres tersebut sangat tepat, karena sebenarnya keinginan untuk
memasukkan karakter sebagai bgaian penting dan ruh pendidikan sudah tertuang
dalam UU Sisdiknas maupun kurikulum yang selama ini digunakan. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa
pendidikan di Indonesia ingin menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Nah, kalau dicermati dari delapan ciri
manusia yang dicita-citakan itu, lima diantaranya merupakan aspek
karakter. Jadi bahwa pendidikan di
Indonesia ingin menghasilkan manusia berkarakter, sudah memiliki landasan hukum
yang kokoh.
Apakah ciri manusia
yang ingin dihasilkan tersebut sudah tertuang dalam kurikulum? Kurikulum 13 (K-13) tampaknya sangat
memperhatikan itu, sehingga ada Kompetensi Inti 1 (KI-1) yaitu sikap spiritual
dan Kompetensi Inti (KI-2) yaitu sikap sosial.
Artinya, K13 sangat memperhatikan pengembangan karakter dengan wujud
sikap spiritual dan sikap sosial. Bahkan
kalau kita melihat Standar Kompetensi Lulusan, baik untu SD, SMP, SMA maupun
SMK penekanan pada karakter sangat kuat.
Sebagai contoh, pada Permendikbud no. 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) SD/MI memiliki 17 kompetensi yang ingin cicapai di
jenjang SD.MI. Dari 17 kompetensi itu, 10
diantaranya merupakan karakter. Jadi
dalam dokumen kurikulum penekanan karakter sudah ada.
Apakah keinginan untuk
menguatkan pendidikan karakter baru mucul sekarang? Seingat saya tidak. Tahun 2010 sudah muncul keinginan itu dan
bahkan melibatkan berbagai kementerian.
Dengan bantuan kantor Menko Kesejahteraan Sosial dan Kemdikcud sebagai
motornya, dilakukan serangkaian diskusi dan bahkan pernah dilakukan sarasehan
pendidikan karakter yang menghadirkan tokoh-tokoh, diantaranya Kyai Syukri
Zarkasi Ponpes Modern Gontor, Mario Teguh, Ary Ginanjar, Romo Muji Sutrisno dan
sebagainya. Dari serangkaian itu disusun buku induk Pendidikan Karakter, yang
saat itu dikenal dengan Buku Merah Putih, karena sampulnya berwarna merah dan
putih. Waktu itu juga dirancang untuk
menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah gerakan dan dicanangkan oleh
Presiden SBY. Sayang keinginan itu tidak
tercapai dan kita harus bersyukur, walapun mundur 7 tahun, keinginan itu dapat
terwujud di era Presiden Joko Widodo.
Apakah ada perbedaan
mendasar konsep pendidikan karakter yang dikonsep tahun 2010 dan Perpres
87/2017? Rasannya tidak. Itu suatu kebaikan, karena menjadikan
keduanya suatu kesinambungan. Namun
melalui tulisan singkat ini, saya ingin memberikan dua catatan. Pertama,
darii studi terhadap sekolah/lembaga pendidikan karakter yag berhasil menumbuh-kembangkan
karakter, ditemukan pendidikan karakter yang paling efektif melalui budaya
sekolah (school culture) yang dibarengi dengan keteladanan. Pembudayaan berbeda dengan pembiasaan. Jika pembiasaan itu dilakukan sehari-hari,
pembudayaan lebih dari itu, karena bersama dengan pembiasaan ditanaman alasan
mengapa perilaku itu dilakukan. Temuan
studi itu, seingat saya dibukukan dengan judul 10 Pengalaman Inspiratif dalam
Melaksanakan Pendidikan Karakter.
Keteladanan sangat
penting, karena anak punya kecenderungan meniru apa yang dilakukan orang dewasa
di sekitarnya. Oleh karena itu, semua
pimpinan sekolah, guru dan karyawan sekolah harus menjadi contoh dalam
melakukan karakter yang ditumbuhkan.
Kegagalan P4 di era Pak Harto, menurut saya bukan karena konsepnya
keliru, tetapi karena ketiadaan teladan dari para penatar. Peserta P4 sering mengerutu “kelakuan dia
sendiri seperti itu kok mengajari yang baik-baik”.
Kedua, ketika karakter ditekankan dalam pendidikan, maka harus sengaja
dimasukan dalam rancangan pembelajaran dan diukur hasilnya, baik pada
intrakurikuler maupun ko-kurikuler, Jadi
kalau dalam matapelajaran Matematika juga ditumbuhkan karakter, guru Matematika
harus merancang aspek karakter apa yang dtumbuhkan, bagaimana cara menumbuhkan
ketika anak belajar Matematika dan diukur hasilnya bersamaan dengan
ujian/ulangan/ penilaian keseharian di kelas.
Demikian juga untuk ko-kurikuler bahkan untuk ekstra kurikuler.
Dengan demikian,
laporan hasil pembelajaran setiap matapelajaran, kegiatan ko-kurikuler dan juga
ekstra kurikuler tidak hanya hal-hal yang terkait dengan substansi pengetahuan
dan keterampilan yang dipelajari tetapi juga aspek karakter. Kalau menggunakan taksonomo Bloom, ranah
afektif selalu masuk dalam setiap pembelajaran.
Kalau menggunakan K-13, KI-1 (sikap spiritual), KI-2 (sikap sosial),
KI-3 (pengetahuan) dan Ki-4 (keterampilan) harus selalu muncul dakan setiap
pembelajaran. Nah, inilah tantangan bagi
sekolah dan guru dalam implementasi Perpres 87/2017. Semoga berhasil.
2 komentar:
Assalamu'alaikum prof.
Isi blognya sangat bagus prof, saya sering berkunjung untuk membaca. Semoga bapak sehat selalu, sehingga bisa menulis lebih banyak lagi di media ini. :)
Saya arifin jurusan pgsd.
Terima kasih mas Arifin. Sukses nggih.
Posting Komentar