Beberapa hari ini, di salah
satu grup WA yang saya ikuti terjadi diskusi virtual yang ramai sekali tentang
Perpres 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Sebagian besar anggota grup WA itu memang
para tokoh yang dahulu malang melintang di dunia pendidikan, baik sebagai
birokrat maupun akademisi. Bahkan
sebagian masih eksis sampai saat ini.
Diskusi itu dipicu
oleh pertanyaan salah seorang anggota grup “bukankah substansi Perpres itu
sudah ada di Kurikulum 2013?”. “Mengapa tidak
memperkuat saja implementasi Kurikulum 2013?”.
Seperti kebiasaan diskusi virtual, kemudian muncul berbagai pendapat,
ada yang mendukung, ada yang mempertanyakan, ada yang konsisten berbicara pada
topik itu, dan ada pula yang pembicaraannya bergesera kemana-mana.
Saya tidak mungkin
menceritakan isi diskusi virtual yang seru itu, satu demi satu. Saya sudah menjelaskan bahwa pendidikan
karakter memiliki landasan yuridis yang sangat kuat, karena tertuang dalam UU Sisdiknas,
SKL dan Kurikulum 2013. Juga memiliki landasan teori yang sangat kuat. Konsep Ki Hajar Dewantara yang dicetuskan
pada tahun 1930 menyebutkan tidak titik
penting pendidikan yaitu karakter, intelektual dan fisik. Konsep serupa diajukan oleh Bloom pada tahun
1956 yang dikenal dengan taksonomi Bloom, yaitu afektif, kognitif dan
psikomotor. Pada tulisan singkat ini,
saya ingin berbagi yang melandasi pemikiran Ki Hajar dan Bloom itu, sehingga
pendidikan karakter dapat ditempatkan dalam konteks pendidikan secara
utuh.
Kalau kita runut, proses
pendidikan itu sudah ada sejak ada manusia di bumi ini. Ketika kehidupan masih sederhana, belum ada
sekolah, belum ada pondok pesantren, belum ada padepokan, belum ada lembaga
seperti itu, maka anak-anak didik oleh orangtuanya sendiri dan atau oleh orang
dewasa di sekitarnya. Apa isi pendidikan
saat itu? Paling tidak dua aspek, yaitu
tentang bagaimana bertahan hidup dan bagaimana menjadi anggota keluarga/ masyarakat
yang baik. Aspek pertama berwujud
belajar mencari makan, baik berburu maupun bercocok tanam dan menjaga
keselamatan diri, baik dari binatang buas ataupun serbuan kelompok masyarakat
lain. Aspek yang kedua berwujud
norma-norma kehidupan bersama, baik dalam keluarga maupun masyarakat
(kelompok). Kedua aspek itu harus ada,
dengan prinsip ini dan itu secara seimbang.
Mengapa? Karena keduanya diperlukan dalam kehidupan dan karena kehidupan
selalu utuh berisi kedua aspek tersebut.
Apakah konsep
pendidikan kuno itu masih relevan di era digital sekarang? Sangat relevan. Mari kita tengok konsep 4-C yang diyakini
banyak ahli merupakan kompetensi abad 21, yaitu critical thinking, creativity,
communication, dan collaboration. Studi
majalah The Economist dengan sponsor Google juga menemukan hal serupa, yaitu
problem solving, communication, collaboration, critical thinking dan
creativity. Bukankah keempat kompetensi
dalam 4-C dan kelima kompetensi dalam studi The Econominst menunjukkan
pentingnya karakter? Tentu untuk mampu
berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain diperlukan karakter yang
baik.
Seperti catatan yang
disampaikan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan karakter, intelektual dan fisik
tidak boleh dipisahkan karena penyatuan ketiganya akan membentuk kesempurnaan
hidup anak, maka ke 4 C dan kelima kompetensi ala The Economist tersebut harus
dimaknai sebagai suatu kesatuan, karena masalah kehidupan yang dihadapi manusia
tidak pernah parasial, tetapi holistik. Menyelesaikan selokan buntu di depan rumah
saja diperlukan berbagai kemampuan, karena harus dapat berkomunikasi dan
bekerjasama dengan orang lain, paling tidak tetangga di kiri kanan rumah. Diperlukan kemampuan menganalisis kenapa
selokan menjadi buntu dan bagaimana dapat diatasi secara kreatif.
Nah, kemampuan
menyatukan 4-C atau 5 kompetensi ala The Economist, tiga titik penting ala Ki
Hajar, dan tiga ranah ala Blooom itu seharusnya diajarkan sejak dini. Itulah maksud pembelajaran tematik di SD pada
Kurikulum 2013. Matapelajaran harus difahami sebagai seperangkat alat, yang
penggunaanya disesuiakan dengan kebutuhan yang seringkali secara berbarengan
atau saling menguatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar