Saya tidak tahu nama
lengkapnya, karena nama itu yang saya dengar ketika yang bersangkutan
mengenalkan diri kepada isteri saya.
Usianya sekitar 30 tahunan, perawakan kecil, berkulit hitam manis. Mbak Alfi adalah salah satu tukang potong
rambut, yang bekerja di suatu salon di mal dekat rumah saya. Mbak Alfi selalu memakai celana jin dan kaos berwarna
hitam yang ditutup dengan baju seragam salon.
Seperti itulah pakaian seragam petugas salon tersebut.
Saya bertemu pertama
dengan Mbak Alfi sekitar setahun lalu.
Waktu itu rambut saya sudah panjang dan ingin potong. Tukang potong rambut langganan saya, Pak
Muhsin, tidak buka. Pada hal besuknya
saya harus ke luar kota cukup lama.
Akhirnya isteri memaksa saya untuk potong rambut di salon dekat
rumah. Seumur-umur itulah pertama kali
saya potong rambut di salon.
Pekerjaan Mbak Alfi
sangat rapi. Saya sangat senang, walaupun agak risi ketika di dalam salon
karena ada beberapa ibu-ibu atau mbak-mbak yang juga sedang potong rambut atau
apa yang saya tidak tahu. Yang pasti
ibu-ibu atau mbak-mbak itu sudah dilayani (ditangani oleh petugas) tetapi
sampai saya pulang masin belum selesai.
Tampaknya memotong rambut atau menggerjakan rambut wanita sangat lama.
Karena cocok dengan
pekerjaannya, isteri saya meminta nomor HP Mbak Alfi dengan harapan suatu saat
potong rambut kepadanya lagi. Apalagi
infonya tukang potong rambut di salon juga dapat dipanggil untuk memotong ke
rumah, asal tidak jadwalnya dinas.
Sayangnya nomer HP itu hilang, sehingga kami tidak pernah dapat kontak
dengan Mbah Alfi. Apalagi Pak Muhsin
sudah kembali ke Surabaya dan aktif buka stan potong rambut di gang kecil
dengan rumah saya.
Hari ini pas liburan 1
Muharam saya ingin potong rambut.
Kebetulan rambut sudah panjang dan besuk sore akan keluar kota sampai
minggu. Oleh karena itu, isteri
menghubungi Pak Muhsin bertanya buka apa tidak potong rambutnya. Ternyata beliau sedang mudik ke Madura. Akhirnya, setelah sholat dhuhur dan makan
siang, saya bersama isteri menyusuri jalan di dekat rumah mencari tukang potong
rambuat yang buka. Ternyata tidak ada.
Tiga tempat poting rambut semuanya tutup.
Akhirnya diputuskan ke salon tempat Mbak Alfi bekerja dengan harapan
beliau pas tugas.
Ahamdulillah, begitu
isteri masuk Mbak Alfi menyamutnya dengan hangat. Seperti
ketika dahulu ketemu, Mbak Alfi mengenakan celana jin dan kaos
hitam. Rambutnya sekarang dipotong
pendek sekali, seperti laki-laki dan berkacamata. Ternyata isteri saya sudah pernah potong lagi
setelah dengan saya dulu, sehingga keduanya tampak akrab. Saya ditegur kok lama sekali tidak
potong. Tentu saya tidak bilang kalau
potong ke Pak Muhsin, tetapi dengan agak berkelakar saya bilang “lha kalau
kesini Mbak Alfi tidak ada”. Beliau
menjawab, mungkin pas giliran tugas sore hari.
Sambil memotong rambut
saya, Mbak Alfi bercerita kalau salon itu akan ditutup nanti bulan
Desember. Sepertinya karena pelanggannya
menurun. Saya bertanya “terus Mbak Alfi gimana”. Beliau ya akan dipindah ke cabang lain,
tetapi agak jauh. Dari suaranya tampak
sekali Mbak Alfi sedang gundah. Mau ikut
pindah ke cabang lain, jaraknya cukup jauh.
Mau ikut salon lain tidak mudah mendapatkannya. Mbah Alfi bertanya apakah saya tidak punya
ruang di depan rumah untuk membuka potong rambut.
Mendengar keluh kesah
Mbak Alfi saya menjadi bingung. Di satu
sisi saya kagum dengan dia, yang dengan membanting tulang menjadi tukang potong
rambut demi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Di sisi lain, kok nasib tukang potong rambut
sangat tergantung pada salon tempat kerjanya.
Apa yang terjadi jika Mbak Alfi tidak dapat kerjaan?
Ketika akan mengganti
asesoris gunting sorok, sepertinya Mbak Alfi kesulitan menemukan dan kemudian
membongkar tasnya. Melihat itu isteri
saya bertanya, perlengkapan potong seperti itu milik salon atau milik Mbak
Alfi. Mbak Alfi menjawab “semua milik
pribadi”. Saya kaget mendengar jawaban
itu. Berarti salon hanya menyediakan
tempat ya. Akhirnya saya beranikan diri
bertanya, apakah Mbah Alfi tidak membuat layanan potong rambut di rumah
pelanggan saja. Mirip gofood dan
go-massage-nya Gojek. Tampaknya Mbak
Alfi tertarik, karena sudah punya pelanggan seorang Bapak-bapak yang kebetulan
menggunakan kursi roda. Jadilah kami,
Mbak Alfi dan saya, tukan pikiran bagaimana agar keinginan membuka layanan
tukang potong rambut panggilan itu jalan dan Mbak Alfi tidak tetap dapat memperoleh
penghasilan demi menghidupi keluarganya.
Kita dapat belajar dari kegigihan Mbak Alfi dalam menjalani hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar