Sejujurnya saya awam
soal hukum dan etika. Namun kali ini
saya ingin menyampaikan apa yang saya lihat dan baca beberapa tahun belakangan
ini. Saya tidak ingin menyimpulkan ini
benar atau salah, baik atau buruk karena saya merasa tidak punya kapasitas
untuk itu. Saya hanya ingin berbagi
kerisauan saja, supaya tidak membuat pikiran saya keruh.
Beberapa waktu lalu,
saya naik pesawat dari Surabaya ke Jakarta dan kebetulan dapat pesawat besar,
sehingga penumpangnya banyak sekali. Ketika pesawat landing di Cengkareng,
pramugari mengumumkan kalau pesawat parkir di-remote sehingga penumpang turun
tidak menggunakan garbarata tetapi turun tangga. Nah waktu turun saya mengamati seorang ibu
sepuh yang sepertinya pergi bersama putranya, seorang wanita berumur 30-35an
yang sibuk dengan HP-nya. Ibu sepuh itu
berperawakan kecil dan mengenakan kain, sehingga saat turun kerepotan. Anak tangga pesawat memang cukup tinggi dan
curam, sehingga ibu sepuh itu harus turun pelan-pelan dengan berpegangan pipa
pegangan tangga. Anehnya, wanita muda yang saya duga putranya itu sama sekali
tidak membantu sang ibu, melainkan sibuk dengan HP-nya.
Ketika harus naik bus,
kembali ibu sepuh itu kerepotan dan ditolong oleh Bapak-bapak yang sudah ada di
dalam bus. Lagi-lagi putrinya yang
berada di belakang sang ibu tidak berbuat apa-apa. Ketika masuk bus, kebetulan
sudah penuh. Di dalam bus lantai yang
atas semua kursi sudah penuh. Di lantai
bawah ada empat kursi di pojok-pojok semua juga sudah diduduki orang. Sepertinya ibu sepuh itu capek, sehingga
duduk di tangga naik. Lelaki muda yang
duduk di kursi pojok di dekat ibu sepuh itu juga diam saja, tidak menawarkan
kursinya. Namun, ketika ada Bapak-bapak
naik dan dikenal oleh lelaki muda itu, justru lelaki muda itu menawarkan
kursinya kepada Bapak-bapak itu.
Saya juga pernah
mendengar atau membaca, ada Bupati/Walikota/Gubernur yang akan lengser kemudian
isterinya atau anaknya mencalokan diri untuk menggantikan. Saya juga pernah mendengar atau membaca
seorang dosen yang membimbing isterinya atau anaknya sendiri ketika menyusun
skripsi/tesis/disertasi. Saya juga
pernah mendengar atau membaca Bupati/walikota/Gubernur yang mengangkat suami
atau ayahnya menjadi penasehat atau tim ahli.
Saya juga pernah mendengar atau membaca ada presiden atau perdana
menteri yang mengangkat bapaknya atau anaknya menjadi menteri.
Saya juga pernah
membaca adanya judicial review terhadap undang-undang yang melarang
anak/isteri/menantu Bupati/Walikota/Gubernur yang menjabat mencalonkan diri
untuk menggantikan. Mahkamah Konstitusi
memenangkan gugatan itu, karena dinilai melanggar hak asasi seseorang. Jadi secara hal seperti yang saya sebutkan di
atas tidak melanggar hukum. Tidak ada
aturan yang melarang atau dilanggar.
Juga tidak ada aturan yang melarang seorang anak membiarkan ibunya yang
sudah sepuh “krekelan” turun tangga pesawat.
Tidak ada aturan yang mengharuskan orang muda yang duduk di suatu kursi
untuk memberikan tempat duduk itu kepada ibu sepuh.
Namun yang menjadi tanda
tanya di benak saya, apakah seperti etis ya?
Apakah etis seorang anak membiarkan ibunya yang sudah sepuh “krekelan”
turun tangga, sementara dia sendiri main HP?
Apakah etis anak muda yang duduk di kursi sebuah bus dan membiarkan ibu
sepuh duduk “nglesot” di tangga di sebelahnya?
Apakah etis seorang bupati mengangkat bapaknya menjadi penasehat dan
dibayar oleh APBD. Apakah etis seorang
dosen membimbing isterinya yang kebetulan menjadi mahasiswa. Saya pernah
menyampaikan hal itu kepada seorang kawan dan dia menjawab “lha kalau saya
satu-satunya profesor bidang X dan anak saya mengambil doktor bidang itu,
terpaksa saya harus menjadi promotornya”.
Betul juga. Namun, itu dalam
keadaan terpaksa.
Merenungkan fenomena
itu saya menduga, sekali lagi menduga, etika itu lebih banyak berkait dengan
hati nurani dan bukan akal/pikiran. Etika
lebih terkait dengan kepekaan rasa seseorang, dalam mempertimbangkan apa
sesuatu perbuatan itu pantas atau tidak.
Etika lebih terkait dengan pertanyaan “pantas atau tidak” dan bukan “salah
atau tidak”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar