Sabtu, 24 Agustus 2013

UNIVERSAL TIDAK PERNAH SATU, LANTAS?

Dalam perjalanan Jakarta-Myanmar pada tanggal 24 Agustus 2013 saya membaca Tempo Edisi 19-25 Agustus 2013.  Ketika transit di bandara Singapura, sambil menuggu gate dibuka saya menyempatkan membaca Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad dengan pelan-pelan.  Menurut  saya, Catatan Pinggir Tempo selalu penuh makna namun tidak mudah difahami.  Oleh karena itu biasanya saya membaca sampai beberapa kali untuk dapat memahaminya.

Judul Catatan Pinggir edisi ini adalah Mesir.  Dengan menggunakan setting kejadian di Mesir sejak tumbangnya Husni Mubarak sampai tersingkirnya Mohamad Mursi, Goenawan Mohamad mengajukan tesis bahwa universal itu tidak pernah satu.  Mengutip pendapat Laclau, Goenawan menyebut bahwa universal itu pada dasarnya merupakan tafsiran seseorang atau satu kelompok tertentu. Tafsir seperti itu selalu dipersaingkan dan bahkan dipertentangkan.  Pada satu saat mungkin saja sebuah tafsir memegang posisi yang menentukan, tetapi hegemoni itu tidak akan dapat total dan selama-lamanya.

Mencoba mencerna tesis Goenawan Mohamad itu, saya menjadi ingat ungkapan Cak Nur (Nurcholis Majid) sekian tahun lalu.  Seingat saya Cak Nur mengingatkan bahwa tafsir selalu berkembang.  Bahkan tafsir seseorang akan selalu berkembang , seiring dengan pengalaman hidupnya.  Tafsir seseorang terhadap sebuah konsep atau sebuah peristiwa saat ini sangat mungkin berbeda dengan tafsir yang bersangkutan sepuluh tahun lalu.  Walaupun konsep atau peristiwa yang dimaknai sama.

Mengapa demikian?  Mungkin konsep skema berpikir dari bidang psikologi dapat dipakai untuk menjelaskan.  Tafsir seseorang sangat dipengaruhi frame of thinking dan frame of thinking itu sangat dipengaruhi pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki sebagai referensi.  Karena setiap saat orang selalu belajar dari apapun yang dilihat, didengar dan dibaca, maka frame of thinking yang bersangkutan juga akan selalu berubah.  Akibatnya tafsirnya terhadap sesuatu juga akan berubah.

Karena tidak ada dua orang yang memiliki pengalaman hidup yang tepat sama, tentu tidak ada dua orang yang memiliki tafsir yang tepat sama terhadap sebuah fenomena.  Masing-masing orang memiliki tafsir yang berbeda.  Beberapa orang atau satu kelompok orang mungkin saja memiliki tafsir yang mirip terhadap sebuah fenomena, karena frame of thinking-nya mirip, dan itu disebabkan pengalaman hidup  (apa yang dialami, dilihat, didengar dan dilihat) juga mirip.

Dengan menggunakan alur pemikiran di atas, muncul pertanyaan: Bagaimana menjaga keharmonisan jika setiap orang dan setiap kelompok memiliki tafsir yang berbeda?  Bukankah tafsir atau pemaknaan terhadap suatu fenomena akan menentukan respons yang bersangkutan?  Jika tafsirnya berbeda secara diametral sangat mungkin responsya juga berbeda secara diametral.  Dan jika itu terjadi respons-respons seperti akan “bertabrakan” atau paling tidak, tidak akan bersinergi. 

Memang keanekaragaman itu harmoni kehidupan.  Musik dan gamelan terdengar indah, karena terdiri dari berbagai jenis instrumen.  Sesuatu yang sama seringkali menimbulkan kebosanan.  Sesuatu yang terjadi terus menerus akan menjadi monoton.  Mengemudi mobil dengan jalan yang lurus dan sepi dapat membuat mengantuk.

Namun musik dan gamelan terdengar indah, karena beranekaragam instrumen dipadukan oleh lagu yang dimainkan.  Masing-masing instrumen mengeluarkan suara yang berbeda, tetapi terpandu oleh irama lagu yang dimainkan.  Instrumen-instrumen itu saling mengiri dan berpadu menghasilkan irama yang merdu.

Jadi untuk menghindari respons yang tabrakan akibat tafsir yang berbeda, maka keharmonian antara pemilik tafsir yang perlu diupayakan.  Masing-masing perlu memahami apa situasi kondisi yang dihapai dan masing-masing perlu memahami peran yang seharusnya dilakukan.  Sekaligus memahami peran teman lain dalam situasi seperti itu.  Mungkin ini makna toleransi, saling menghargai, sekaligus bertanggung jawab atas peran diri. 


Mungkin itu makna ungkapan bahwa dunia bukan milik diri sendiri tetapi milik bersama.  Dengan begitu tidak harus keinginan diri menjadi kenyataan.  Kenyataan adalah resultan dari tafsir orang banyak, yang jika harmoni akan menjadi kenyataan yang indah. Semoga.

Tidak ada komentar: