Saya
ke Myanmar tanggal 24-26 Agustus 2013 diundang oleh KBRI Yangon untuk
menyampaikan pemikiran tentang pendidikan masa depan di depan para pejabat
diplomatik, guru dan masyarakat Indonesia yang tinggal di Myanmar. Acara dilaksanakan pada hari Minggu pukul
10-13 di KBRI dan dibuka oleh Dubes RI, Jenderal Sebatianus Sumarsono. Pesertanya cukup banyak dan hadir juga
beberapa orang Myanmar.
Sebelum
ke tempat acara, Pak Gufron (Drs. Sirdjanul Gufron, M.Ed, kepala sekolah Indonesia
di Yangon) mengajak saya mampir melihat kondisi sekolahnya. Setelah itu, sesuai aturan protokoler, saya
diajak bertemu Pak Dubes dan Bu Dubes.
Jenderal Sumarsono, orang Sragen teman seangkatan pak SBY, ternyata
sangat ramah. Kami sempat diskusi tentang
berbagai hal sekitar 30 menit. Tentu
topik yang paling banyak didiskusikan adalah pendidikan, yang kemudian merembet
tentang sekolah Indonesia di Yangon.
KBRI
Yangon memiliki sekolah dengan nama IISY (Indonesian International School
Yangon). Jumlah siswanya 499 orang dan
diantara itu hanya 51 anak Indonesia.
Yang 448 orang berkewarganegaraan macam-macam. Tentu yang banyak anak Myanmar (436 orang),
Malaysia (1 orang), Korea Utara (1 orang), Korea Selatan 4 orang), China (2
orang), Filipina (1 orang), Singapura (1 orang)
dan Vietnam (1 orang). Sejauh yang
saya ketahui hanya di Yangon, sekolah Indonesia memiliki siswa warga negara
lain.
Siswa
non Indonesia itu hanya mengikuti pendidikan sampai kelas 10 dan diakhiri
dengan ujian O Level (model Cambridge), setelah itu mengikuti jenjang
A (A Level) atau Foundation di negara lain, misalnya Singapura, Autralia atau
negara lain. Salah satu orang Myanmar
yang ikut hadir dalam diskusi juga alumni IISY yang kini menjadi kapten pilot. Menurut Pak Gufron, siswa IISY non Indonesia
pada umumnya anak dari masyarakat terdidik dan kaya, yang nanti ingin
melanjutkan pendidikan di luar Myanmar.
Membaca
data dan mendengar informasi tentang IISY, saya memberanikan diri mengajukan
pemikiran kepada Pak Dubes, di sela-sela makan siang. Intinya bagaimana kalau IISY dijadikan
wahana soft diplomacy. Anak-anak Myanmar yang sekolah di IISY
berasal dari keluarga terdidik dan nantinya akan melanjutkan ke luar
Myanmar. Sangat mungkin mereka itu pada
saatnya akan menjadi orang penting di Myanmar atau negara asalnya. Nah, kalau mereka bersekolah di IISY selama
10 tahun pasti akan mengenal Indonesia dengan baik dan sangat mungkin dalam
hatinya akan terpateri rasa berhutang budi kepada IISY dan Indonesia, karena
telah ikut mengantarkan menjadi “orang sukses”.
Bukahkah
salah satu tugas diplomasi adalah menumbuhkan kesan positif pada Indonesia bagi
orang-orang dimana para diplomat itu bertugas?
Nah, dengan melaksanakan pendidikan yang tentu ada muatan keindonesiaan,
sebenarnya IISY juga melakukan fungsi itu.
Walaupun untuk anak-anak yang hasilnya baru dapat dipetik setelah mereka
dewasa. Namun dengan jumlah siswa non
Indonesia sebanyak 448 untuk 10 jenjang, berarti rata-rata IISY meluluskan
sekitar 45 orang siswa yang sangat potensial menjadi “duta Indonesia” di
negaranya.
Saya
jadi teringat ketika bulan Desember 2011 menghadiri Confucius International (CI) Conference di Beijing. Setiap Desember
pemerintah China mengundang rektor dan direktur CI dari seluruh dunia. Jumlahnya yang hadir sekitar 1.000 orang dan
berasal dari seluruh penjuru dunia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Asia
dan Afrika. Unesa merupakan salah satu
universitas yang punya Confucius Institute sehingga selalu diundang. Selama 3
hari, undangan dijamu gratis, termasuk hotelnya. Selama 3 hari itu, undangan disuguhi berbagai
acara yang semuanya berbahasa Mandarin, kecuali ketika seminar. Dua kali ikut
acara itu saya berpikir, itu mungkin cara China melakukan soft diplomacy. Ratusan
universitas dibantu untuk mendirikan CI dan setelah itu setiap tahun diundang
ke Beijing untuk mengenal China dengan lebih dekat.
Soft diplomacy sebenarnya sudah lama dilakukan negara maju. Mereka memberi beasiswa, umumnya S2 dan S3,
untuk belajar ke negaranya. Setelah lulus, penerima beasiswa itu tentu ada
perasaan hutang budi dan sekaligus menjadi corong bagi negara pemberi
beasiswa. Ada juga beasiswa non gelar,
misalnya untuk para pimpinan organisasi pemuda.
Akhir-akhir ini Taiwan sangat gencar melakukan hal itu. Mungkin untuk mengimbangi China.
Apa
yang perlu dilakukan agar IISY dapat menjadi wahana soft diplomacy? Menurut
saya, tiga aspek. Pertama, mutu IISY harus benar-benar bertaraf internasional. Dengan begitu, siswa (termasuk non Indonesia)
akan bangga menjadi siswa dan alumni IISY.
Jika nanti sudah dewasa dan sukses, kebanggaan itu akan menjadi kenangan
positif dan tentu berdampak kepada kenangan positif kepada Indonesia.
Kedua, sebaiknya IISY segera menyelenggarakan program A Level atau pre-university. Dengan begitu lulusan O Level dapat
meneruskan di IISY dan mengikuti ujian A Level.
Tentu dengan mutu yang bagus, sehingga siswanya dapat lulus ujian A
Level dengan baik. Dengan cara itu, lulusannya benar-benar
merasa alumni IISY sampai siap masuk universitas. Di samping itu dengan punya program A Level, gengsi IISY juga akan menjadi lebih
baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar