Senin, 26 Agustus 2013

IISY DAN SOFT DIPLOMACY

Saya ke Myanmar tanggal 24-26 Agustus 2013 diundang oleh KBRI Yangon untuk menyampaikan pemikiran tentang pendidikan masa depan di depan para pejabat diplomatik, guru dan masyarakat Indonesia yang tinggal di Myanmar.  Acara dilaksanakan pada hari Minggu pukul 10-13 di KBRI dan dibuka oleh Dubes RI, Jenderal Sebatianus Sumarsono.  Pesertanya cukup banyak dan hadir juga beberapa orang Myanmar.

Sebelum ke tempat acara, Pak Gufron (Drs. Sirdjanul Gufron, M.Ed, kepala sekolah Indonesia di Yangon) mengajak saya mampir melihat kondisi sekolahnya.  Setelah itu, sesuai aturan protokoler, saya diajak bertemu Pak Dubes dan Bu Dubes.  Jenderal Sumarsono, orang Sragen teman seangkatan pak SBY, ternyata sangat ramah.  Kami sempat diskusi tentang berbagai hal sekitar 30 menit.  Tentu topik yang paling banyak didiskusikan adalah pendidikan, yang kemudian merembet tentang sekolah Indonesia di Yangon.

KBRI Yangon memiliki sekolah dengan nama IISY (Indonesian International School Yangon).  Jumlah siswanya 499 orang dan diantara itu hanya 51 anak Indonesia.  Yang 448 orang berkewarganegaraan macam-macam.  Tentu yang banyak anak Myanmar (436 orang), Malaysia (1 orang), Korea Utara (1 orang), Korea Selatan 4 orang), China (2 orang), Filipina (1 orang), Singapura (1 orang)  dan Vietnam (1 orang).  Sejauh yang saya ketahui hanya di Yangon, sekolah Indonesia memiliki siswa warga negara lain.

Siswa non Indonesia itu hanya mengikuti pendidikan sampai kelas 10 dan diakhiri dengan  ujian O Level (model Cambridge), setelah itu mengikuti jenjang A (A Level) atau Foundation di negara lain, misalnya Singapura, Autralia atau negara lain.  Salah satu orang Myanmar yang ikut hadir dalam diskusi juga alumni IISY yang kini menjadi kapten pilot.  Menurut Pak Gufron, siswa IISY non Indonesia pada umumnya anak dari masyarakat terdidik dan kaya, yang nanti ingin melanjutkan pendidikan di luar Myanmar.

Membaca data dan mendengar informasi tentang IISY, saya memberanikan diri mengajukan pemikiran kepada Pak Dubes, di sela-sela makan siang.   Intinya bagaimana kalau IISY dijadikan wahana soft diplomacy.  Anak-anak Myanmar yang sekolah di IISY berasal dari keluarga terdidik dan nantinya akan melanjutkan ke luar Myanmar.  Sangat mungkin mereka itu pada saatnya akan menjadi orang penting di Myanmar atau negara asalnya.  Nah, kalau mereka bersekolah di IISY selama 10 tahun pasti akan mengenal Indonesia dengan baik dan sangat mungkin dalam hatinya akan terpateri rasa berhutang budi kepada IISY dan Indonesia, karena telah ikut mengantarkan menjadi “orang sukses”.

Bukahkah salah satu tugas diplomasi adalah menumbuhkan kesan positif pada Indonesia bagi orang-orang dimana para diplomat itu bertugas?  Nah, dengan melaksanakan pendidikan yang tentu ada muatan keindonesiaan, sebenarnya IISY juga melakukan fungsi itu.  Walaupun untuk anak-anak yang hasilnya baru dapat dipetik setelah mereka dewasa.  Namun dengan jumlah siswa non Indonesia sebanyak 448 untuk 10 jenjang, berarti rata-rata IISY meluluskan sekitar 45 orang siswa yang sangat potensial menjadi “duta Indonesia” di negaranya.
Saya jadi teringat ketika bulan Desember 2011 menghadiri Confucius International (CI) Conference di Beijing. Setiap Desember pemerintah China mengundang rektor dan direktur CI dari seluruh dunia.  Jumlahnya yang hadir sekitar 1.000 orang dan berasal dari seluruh penjuru dunia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Asia dan Afrika.  Unesa merupakan salah satu universitas yang punya Confucius Institute sehingga selalu diundang. Selama 3 hari, undangan dijamu gratis, termasuk hotelnya.  Selama 3 hari itu, undangan disuguhi berbagai acara yang semuanya berbahasa Mandarin, kecuali ketika seminar. Dua kali ikut acara itu saya berpikir, itu mungkin cara China melakukan soft diplomacy.   Ratusan universitas dibantu untuk mendirikan CI dan setelah itu setiap tahun diundang ke Beijing untuk mengenal China dengan lebih dekat. 
  
Soft diplomacy sebenarnya sudah lama dilakukan negara maju.  Mereka memberi beasiswa, umumnya S2 dan S3, untuk belajar ke negaranya. Setelah lulus, penerima beasiswa itu tentu ada perasaan hutang budi dan sekaligus menjadi corong bagi negara pemberi beasiswa.  Ada juga beasiswa non gelar, misalnya untuk para pimpinan organisasi pemuda.  Akhir-akhir ini Taiwan sangat gencar melakukan hal itu.  Mungkin untuk mengimbangi China.

Apa yang perlu dilakukan agar IISY dapat menjadi wahana soft diplomacy?   Menurut saya, tiga aspek.  Pertama, mutu IISY harus benar-benar bertaraf internasional.  Dengan begitu, siswa (termasuk non Indonesia) akan bangga menjadi siswa dan alumni IISY.  Jika nanti sudah dewasa dan sukses, kebanggaan itu akan menjadi kenangan positif dan tentu berdampak kepada kenangan positif kepada Indonesia.

Kedua, sebaiknya IISY segera menyelenggarakan program A Level atau pre-university.  Dengan begitu lulusan O Level dapat meneruskan di IISY dan mengikuti ujian A Level.  Tentu dengan mutu yang bagus, sehingga siswanya dapat lulus ujian A Level dengan  baik.  Dengan cara itu, lulusannya benar-benar merasa alumni IISY sampai siap masuk universitas.  Di samping itu dengan punya program  A Level, gengsi IISY juga akan menjadi lebih baik.

Ketiga, IISY tidak boleh bersifat komersial.  Artinya uang sekolah cukup untuk mengoperasionalkan IISY saja.  Malah jika perlu pemerintah Indonesia memberikan subsidi.  Menutut P Gufron bercerita mengapa IISY banyak peminat orang non Indonesia, karena uang sekolahnya lebih murah dibanding sekolah internasional lain yang pada umumnya dikelola swasta.  Anggap saja subsidi tersebut sebagai bentuk biaya diplomasi.  Semoga.

Tidak ada komentar: