Selasa, 13 Agustus 2013

ERA DIGITAL DAN TANTANGAN PENDIDIKAN

Harian Kompas tanggal 13 Agustus 2013, halaman 9 memuat  tulisan berjudul Ensiklopedia Tidak Lagi Menjadi Pilihan. Dijelaskan bahwa menurut pedagang buku Pasar Senin Jakarta, Ensiklopedi yang dahulu memiliki segmen pembeli khusus, kini ditinggalkan orang, karena banyak informasi di Ensiklopedia kini dapat diperoleh di Wikipedia atau situs lain di internet.  Namun demikian, kamus masih banyak dibeli orang, khususnya kamus Inggris-Indonesia.  Oleh karena itu Wakil Ketua Ikatan Penerbit

Era digital yang kini telah menjadi bagian kehidupan keseharian masyarakat, khususnya generasi muda memang akan mengubah pola kehidupan.  Termasuk pola belajar dan pola penyebaran informasi.  Saya meyakini, era kertas pelan tetapi pasti akan tergeser.  Ketika kamus digital dapat diperoleh dengan mudah dan murah, misalnya dapat dimasuk ke dalam HP, maka kamus tercetak akan terancam.  Saya sendiri sekarang sudah jarang memegang kamus.  Jika memerlukan terjemahan dapat membuka “Pocket Dict” di HP.  Baru jika tidak memadai kemudian mencari kamus tercetak.

Seiring dengan kemajuan teknologi, ketika kemampuan HP semakin baik dan jenis kamus digital makin lengkap, maka pocket dict akan menjelma menjadi semacam kamus bahasa Inggris Hassan Shadily yang sekarang banyak dipakai, namun dalam versi digital.  Jika itu terjadi, saya yakin tidak banyak lagi orang memerlukan kamus bahasa tercetak.  Bukankah kamus digital lebih murah dan lebih fleksibel penggunaanya.

Tidak hanya itu.  Setahap demi setahap, jurnal, majalah, buku dan bahkan koran juga akan digeser oleh versi digital.  Jurnal ilmiah yang biasanya mahal karena jumlah cetakannya tidak banyak, kini sudah mulai beralih ke bentuk digital.  Perpustakaan dengan senang berlangganan jurnal online karena murah dan tidak memakan tempat.  Hampir semua koran sekarang sudah punya versi online.  Dan buku teks juga sudah mulai masih ke versi digital.   Jika itu terjadi, maka penyebaran informasi benar-benar melalui versi baru yaitu digitalisasi informasi.

Saya iadi teringat ketika anak saya yang kuliah di Australia menyusun tesis bidang Agriculture Robotic.  Dia mengunduh ratusan jurnal online yang dilanggan universitasnya dan juga buku digital dari perpustakaan.  Dibaca, dianalisis dan dirangkum.  Ketika konsultasi dengan supervisornya juga hanya mengirimkan draft tesisnya lewat email.  Dan koreksi oleh supervisor juga melalui email.  Walaupun setiap minggu diwajibkan menghadap untuk sekedar lapor.  Ketika memerlukan proved reading untuk menyempurnakan bahasa Inggris-nya, naskah juga dikirim via email dan oleh yang melakukan proved reading juga dikembalikan via email. Jadi semuanya dilakukan dengan pola digital.

Apa dampaknya pada pendidikan?  Sangat besar.  Bahkan sangat-sangat besar, sehingga akan mengubah secara total pola pembelajaran dan pola pendidikan.  Itulah tantangan yang kini harus dipikirkan oleh setiap orang yang merasa sebagai ahli dan pemerhati pendidikan.  Pendidikan yang menggunakan era digital sebagai wahana pendidikan.

Saya membayangkan, anak-anak SD sudah pandai membuka internet, mencari informasi yang dibahas bersama guru dan teman sekelasnya.  Informasi itu dibandingkan, dikategorikan dan dianalisis kemudian diambil kesimpulan.  Misalnya anak kelas 3 SD sedang membahas “burung merpati”.  Mereka mengunduh berbagai informasi tentang burung merpati, jenisnya, ukurannya, makanannya, bagaimana bisa terbang dan sebagainya.  Berbagai informasi itu kemudian dibanding-bandingkan, dikategorikan, dianalsisis dan disimpulkan.

Mereka bekerja secara kelompok dengan dibimbing oleh guru.  Guru memberikan panduan, berupa pertanyaan pengungkit (probing question) untuk mendorong siswa berpikir dan mencari jawabannya.  Peran guru tidak memberi informasi tetapi mendampingi dan mengarahkan bagai siswa mencari informasi.  Ketika siswa harus membandingan dan mengkategorikan informasi, peran guru mendampingi dan mengatakan “apa harus begitu?”  “apa tidak ada cara lain?”  “apa tidak boleh begini?” Dan seterusnya, sampai siswa menemukan jawaban dan dia mengatakan “ya saya menemukan jawabannya”.

Secara bertahap, topik yang dipelajari dapat diarahkan untuk memecahkan masalah.  Misalnya bagaimana menemukan cara menyilang anggrek agar bunganya bagus.  Bagaimana menemukan rute jalan Surabaya-Semarang yang tercepat kalau naik mobil pribadi.  Bagaimana mengatur agar sampah di sekitar sekolah dapat diubah menjadi uang.  Dan sebagainya.  Intinya memecahkan masalah kehidupan sehari-hari dengan menerapkan pengetahuan pada level sekolah yang di tempuh.


Bukankah pola kerja seperti itu yang dilakukan orang dewasa saat bekerja?  Bukankah pola pikir seperti itu yang diterapkan para ilmuwan saat melakukan penelitian?  Jadi dengan pola belajar seperti di atas, sebenarnya siswa sedang belajar bagaimana cara belajar/bekerja yang baik. Itulah yang mungkin disebut dengan problem based learning.  Authentic problem based learning. Learning how to learn.  Learning how to work effectively.  Belajar dan bekerja yang efektif di era digital.  Dan itulah sebenarnya belajar kehidupan yang diperlukan di era mendatang. Semoga.

Tidak ada komentar: