Siapa
Pak Budi Darma sudah saya ceritakan pada tulisan lalu. Kini saya ingin menambahkan tentang yang
lain. Setahu saya beliau PhD dari
Indiana University bidang creative writing.
Sampai sekarang sepertinya beliau
berkarir di bidang tulis menulis, cerita pendek, novel dan karya tulis
lainnya. Dengan bekal keilmuan,
ketekunan dan tentu saja kepandaiannya, kini sosok Budi Darma telah menjadi
tokoh budayawan tingkat dunia.
Namun
di balik itu, kesederhanaan beliau sangat kental. Seperti saya sebut kemarin, sehari-hari beliau berbaju warna putih atau telor asin dan
dimasukkan. Rambut tersisir rapi. Sampai saat ini masih tinggal di perumahan
kampus dengan kondisi rumah yang tidak jauh berbeda dengan rumah sekitarnya. Setahu saya beliau menggunakan mobil kijang.
Waktu beliau menjabat rektor IKIP Surabaya tidak mau mengusulkan guru
besar. Dan baru mau diusulkan setelah
tidak menjadi rektor lagi.
Apakah
beliau suka bercerita tentang karya tulisnya? Konon tidak pernah dan bahkan jika ditanya
tidak mau menjelaskan. Terkesan beliau
tidak mau atau tidak ingin menunjukkan apalagi menonjolkan karya tulisnya. Pada hal novelnya dikagumi banyak orang dan
cepennya memenangkan cerpen terbaik.
Konsisten pada “bidangnya”, produktif, santun dan sederhana adalah ciri
Pak Budi Darma yang saya kenal.
Saya
tidak begitu mengenal secara pribadi dengan Pak Dahlan Iskan. Walaupun sesama warga Surabaya, kami tidak
punya aktivitas bersama yang intens. Mungkin karena bidang pekerjaannya yang
berbeda. Pertemuan juga sangat jarang dan itu biasanya dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan. Seingat saya, saya baru dua
kali bertemu dan sempat ngobrol agak lama.
Pertama waktu beliau datang pada acara wisuda Unesa dan yang lain pas
makan siang yang saya lupa tempatnya.
Pengetahuan tentang sosok Pak Dahlan lebih banyak saya dapat dari alumni
Unesa yang bekerja di Jawa Pos atau karyawan Jawa Pos Group yang saya
kenal. Tentu juga lewat tulisannya di berbagai
media dan buku.
Pak
Dahlan Iskan, setahu saya “protolan IAIN” di Kalimantan yang tidak sempat lulus
karena keburu menjadi wartawan dan kemudian harus ke Surabaya untuk memimpin
Jawa Pos. Saya yakin beliau pebelajar
yang hebat, terbukti dengan bekal pendidikan seperti itu mampu memimpin dan
mengembangkan Jawa Pos, mulai dari koran yang hampir mati menjadi kelompok
usaha yang beraneka ragam. Dan akhirnya
menjadi Dirut PLN dan kemudian menjadi Meteri BUMN. Lulusan Madrasah Aliyah dan protolan IAIN
sukses memimpin peruasahaan dan menjadi Menteri BUMN.
Saya
mencoba mencermati dan menanyakan tahapan beliau mengembangkan Jawa Pos.
Ternyata sangat menarik. Konon, ketika
koran Jawa Pos sudah berkembang, mulailah membuat percetakan yang kemudian
menjadi penerbit. Mengapa karena
percetakan merupakan salah satu titik krusial dalam penerbitan koran. Setelah itu mulai membuat pabrik kertas,
karena kertas adalah bahan dasar koran.
Selanjutnya mendirikan power plant
(pembangkit listrik) sebagai sumber tenaga pabrik kertas. Selanjutnya membuat koran lokal (Radar dan
koran lokal di berbagai daerah) dan TV lokal.
Pemahaman saya beliau konsisten dengan usahanya dan mengembangkan usaha
pendukungnya.
Dalam
satu tulisannya, Pak Dahlan mengatakan salah satu kunci usaha adalah fokus pada
usahanya. Orang dikatakan fokus kalau
sudah bermimpi tentang usaha yang ditekuni.
Kalau belum berarti belum menyatu dengan denyut nadi perusahaan dan itu
artinya belum fokus. Begitu kira-kira nasehatnya. Pak Dahlan juga bercerita sering mengalami
kegagalan dalam menjalankan usahanya. Hanya
saja orang tidak tahu, sehingga yang tampak hanya yang berhasil saja.
Ketika
datang ke wisuda Unesa, beliau naik kijang dan ditemani seorang cucunya yang
kira-kira kelas 2 SD. Beliau cerita tadi
langsung dari Jakarta tetapi sudah sempat sarapan sate di Rungkut. Seperti biasa berbaju putih dengan lengan
digulung. Saya sempat merinding ketika Pak Dalan
tersendat pidatonya dan mengatakan terharu karena tidak sempat mengikuti wisuda
selama hidupnya. Pidatonya pendek,
tetapi sangat berisi untuk memotivasi wisudawan. Cerdas, penuh gagasan terobosan, gigih,
sederhana dan inspiratif. Itulah sosok
yang saya tangkap dari Pak Dahlan Iskan.
Saya
mengenal Pak Mohammad Nuh sejak awal tahun 1990an. Waktu itu Pak Nuh masih sebagai dosen muda di
PENS ITS (Politeknik Elektronika Negeri Surabaya). Saat beliu menjabat sebagai direktur PENS
saya sering datang dan biasanya setelah magrib.
Biasanya kita diskusi dengan pendidikan. Kebiasaan itu terus berlangsung saat Pak Nuh
menjadi rektor ITS dan menjabat sebagai Ketua ICMI Jawa Timur. Kalau diskusi tentang pendidikan, apalagi
tentang guru biasanya memanggil saya dan mengatakan kalau itu urusan Pak
Muchlas.
Pada
tahun 2009, hari Kamis minggu pertama setelah Idul Fitri Pak Nuh menilpun. Waktu itu beliau menjabat sebagai Menteri
Kominfo. Saya diminta datang ke Kominfo
besuknya untuk makan siang, karena Bu Nuh masih di Surabaya. Sehabis sholat Jum’at saya datang. Setelah makan siang, diajak ke ruang rapat
bersama Pak Son Kuswadi dan Pak Alkaf.
Kita diskusi tentang Pendidikan.
Sepertinya
beliau belum puas karena saya tidak membawa data. Oleh karena itu, minggu berikutnya saya
datang dan mengajak Pak Agus Sartono (waktu itu sebagai Kepala Biro PKLN,
sekarang menjadi Deputi di Menko Kesra).
Kami diskusi panjang lebar. Nah,
di akhir diskusi Pak Nuh mengatakan berguna alhamdulillah, paling tidak ini
penting untuk mengembangkan pendidkan di sekolah masing-masing.
Nah
begitu pak SBY mengumumkan susunan kabinet, ternyata Pak Nuh ditunjuk menjadi
Mendiknas. Saya kaget dan komentar, lha
kalau begitu kemarin itu “kulakan”.
Sayapun kontak Pak Agus Sartono dan menyampaikan komentar itu. Dan kami saling tertawa. Kami saling berkomentar, berarti saat itu Pak
Nuh sudah tahu kalau akan menjadi Mendiknas.
Dan saya gembira, walaupun beliau doktor Elektromedik, perhatiannya
lebih banyak tertuju pada pendidikan.
Karena
teman lama, saya sering bepergian dengan Pak Nuh. Kesan saya orangnya sangat sederhana. Kalau makan memilih ke warung biasa dan bukan
restoran besar. Beberapa tempat makan
favoritnya antara lain soto daging depan SMA 5 Surabaya, soto ayam Cak Har,
warung Ampel dekat Kotamadya, bebek Sinjai Bangkalan, warung Kaliutik Lamongan,
rumah makan Sederhana Mojokerto. Yang
juga menjadi favoritnya adalah ayam bakar Nayamul di desa Benciro. Senangnya duduk bersama pembeli lain dan
tidak mau ketika dipesankan di ruang khusus.
Kesan
saya setelah sekian lama bergaul dengan Pak Nuh, sederhana, istiqomah, cerdas
dan pebelajar yang baik. Suka menolong
dan sangat perhatian kepada orang lain.
Bekerja dengan penuh keikhlasan, sehingga seakan tidak memiliki
beban. Ketika ada “hantaman kiri kanan”
Pak Nuh memberi metaphora, nabi itu ada yang hidup terkenal dan dihormati
banyak orang seperti Nabi Sulaiman, tetapi juga ada yang penuh “penderitaan”
seperti Nabi Ayub. Kita jalani saja
dengan ikhlas, mungkin kita sedang berperan seperti Nabi Ayub.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar