Sebagaimana
kebiasaan selama ini, Minggu tanggal 11 Agustus 2013 ICMI Orwil Jatim
mengadakan acara halal bil halal di Hotel Bumi Surabaya. Tema yang diangkat adalah Memaknai
Silaturahim untuk Kemajuan. Yang hadir
sekitar 250 orang dan banyak para senior, misalnya Pak Wawan Setiawan (Notaris
dan mantan Ketua INI), Pak Hanafi (pensiunan dosen ITS) dan Pak Fuad Amsyari
(dokter senior dan dosen Unair). Juga hadir teman-teman dari luar Surabaya,
misalnya dari Malang, Tulungagung, Bojonegoro dan sebagainya.
Tampil
memberi tausiah Prof Ahmad Jazidie, dosen ITS yang sekarang menjadi Dirjen
Pendidikan Menengah. Semula yang akan memberikan tausiah Prof. Mohammad Nuh,
mendikbud, namun beliau mendadak dipanggil presiden, sehingga digantikan oleh
Pak Jazidie. Setelah itu, seperti
tradisi ICMI, dilaksanakan dialog.
Tampil empat orang sebagai pembicara Pak Laitupa (dokter senior dari
Tulungagung), Pak Mohamad Taufiq (da’i dari Surabaya), Pak Misbahul Huda
(pengusaha muda dan bos Temprina), dan Pak Abdullah Sahab (dosen ITS). Dialog dipandu oleh Mas Ismail Nachu (Ketua
ICMI Orwil Jatim).
Sangat
menarik mengikuti dialog tersebut.
Setiap orang, baik pemberi tausiah, pembicara dan peserta menyampaikan
padangan yang tidak selalu sama. Bahkan
agak berbeda sudut pandang yang kalau kita tidak pandai mencerna seakan
bertentangan. Untungnya dialog
berlangsung segar, diselingi kelakar Pak Abdullah Sahab yang terkenal sangat
“kocak”. Perbedaan sudut pandang
menjadi seperti pameo orang buta mendeskripsikan gajah.
Perbedaan
padangan yang mencolok adalah memaknai kemajuan yang dikaitkan dengan
prinsip-prinsip Islam. Dr. Laitufa yang
pertama berbicara menyampaikan pengalamannya mengembangkan ICMI di
Tulungagung. Menurut beliau apa tiga
pilihan jalan untuk membangun masyarakat di Tulungagung, bidang kesehatan,
bidang pendidikan dan bidang ekonomi.
Setelah dikaji dengan saksama, bidang pendidikan dan kesehatan sudah
digarap dengan baik oleh organisasi keislaman lain, misalnya NU dan
Muhammadiyah. Oleh karena itu pilihan
yang diambil membangun masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi.
Dimulaikan
mendirikan BMT dengan modal 15 juta dan sekarang telah berkembang menjadi 90an
dengan asset tidak kurang dari 30 milyar rupiah. Walaupun beliau seorang dokter, pemilihan
bidang ekonomi diambil karena bidang itu
yang belum banyak dikerjakan. Dalam
dalam bidang ekonomi itulah pada umumnya kelemahan umat Islam.
Sebagai
pembicara kedua, Ustad Taufiq mengingatkan makna kemajuan yang tidak boleh
hanya dilihat dari aspek ekonomi. Beliau
memberi contoh, pengusaha di Timur Tengah yang mendirikan bank syariah dengan
nama Bank Barokah. Tidak memberi nama
Bank Islam, karena Islam dianggap terlalu besar untuk nama sebuah bank. Jangan sampai jika pertugas bank-nya kurang
baik, lantas ditafsirkan oleh pelanggan bahwa Islam kurang baik. Jika banknya kemudian tidak berkembang atau
bahkan bangkrut, lantas masyarakat menafsirkan Islam tidak cocok dengan
manajemen bank. Yang penting nilai-nilai
Islam harus menjadi ruh dari kemajuan.
Namun
Ustad Taufiq juga mengingatkan jangan sampai, kemajuan ditafsirkan sempit
dengan kemajuan teknologi dan kemakmuran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Jangan sampai ICMI terbius
“kemajuan barat” yang jauh dari nilai-nilai Islam. Jadi kemajuan harus dimaknai sebenar jauh
nilai-nilai Islam menjadi pembandu kemajuan tersebut.
Ir.
Misbahul Huda, tampil sebagai pembicara ketiga dengan menampilkan
tayangan. Karena beliau seorang
pengusaha, maka paparannya lebih banyak mendorong untuk terjun dalam dunia
usaha. Dalam bahasa sederhananya
mendorong untuk menjadi kaya. Sebagian
besar sahabat nabi juga pedagang dan kaya.
Dengan kaya kita dapat berzakat dan bahkan dapat “membeli” sorga. Karena ingin mendorong orang agar dapat
menjadi kaya, dengan sedikit seloroh beliau mengatakan “menjadi kaya itu wajib”.
Paparan
Pak Laitufa dan Pak Misbahul Huda yang “berbau ekonomi” tampaknya mengundang
adanya teman yang salah pengertian. Ada
teman yang dengan semangat mengingatkan agar tidak memaknai kemajuan hidup dari
aspek ekonomi semata. Sempat ada
ungkapan “kalau dengan kekayaan dapat membeli sorga” berarti para koruptor
masuk sorga karena mereka kaya. Masih
ada ungkapan lain, yang intinya kurang setuju dengan paparan Pak Misbahul Huda.
Untunglah
ada Pak Abdullah Sahab, doktor teknik mesin yang sekaligus da’i lucu. Dengan gaya khasnya, Ami Dullah (begitu kami biasa memanggil)
menjelaskan ketika kita mendorong orang menjadi kaya itu artinya urusan
keislaman sudah selesai. Tidak perlu
diragukan lagi keislamannya. Jadi jangan
dipertentangkan antara Islam dengan ekonomi (menjadi kaya). Yang didiskusikan, Islamnya bagus tetapi
miskin atau Islamnya bagus tetapi kaya.
Pasti kita memilih Islamnya bagus dan kaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar