Kamis, 15 Agustus 2013

BELAJAR DARI DIALOG SILATURAHIM ICMI (1)

Sebagaimana kebiasaan selama ini, Minggu tanggal 11 Agustus 2013 ICMI Orwil Jatim mengadakan acara halal bil halal di Hotel Bumi Surabaya.  Tema yang diangkat adalah Memaknai Silaturahim untuk Kemajuan.  Yang hadir sekitar 250 orang dan banyak para senior, misalnya Pak Wawan Setiawan (Notaris dan mantan Ketua INI), Pak Hanafi (pensiunan dosen ITS) dan Pak Fuad Amsyari (dokter senior dan dosen Unair). Juga hadir teman-teman dari luar Surabaya, misalnya dari Malang, Tulungagung, Bojonegoro dan sebagainya.

Tampil memberi tausiah Prof Ahmad Jazidie, dosen ITS yang sekarang menjadi Dirjen Pendidikan Menengah. Semula yang akan memberikan tausiah Prof. Mohammad Nuh, mendikbud, namun beliau mendadak dipanggil presiden, sehingga digantikan oleh Pak Jazidie.  Setelah itu, seperti tradisi ICMI, dilaksanakan dialog.  Tampil empat orang sebagai pembicara Pak Laitupa (dokter senior dari Tulungagung), Pak Mohamad Taufiq (da’i dari Surabaya), Pak Misbahul Huda (pengusaha muda dan bos Temprina), dan Pak Abdullah Sahab (dosen ITS).  Dialog dipandu oleh Mas Ismail Nachu (Ketua ICMI Orwil Jatim).

Sangat menarik mengikuti dialog tersebut.   Setiap orang, baik pemberi tausiah, pembicara dan peserta menyampaikan padangan yang tidak selalu sama.  Bahkan agak berbeda sudut pandang yang kalau kita tidak pandai mencerna seakan bertentangan.  Untungnya dialog berlangsung segar, diselingi kelakar Pak Abdullah Sahab yang terkenal sangat “kocak”.   Perbedaan sudut pandang menjadi seperti pameo orang buta mendeskripsikan gajah.

Perbedaan padangan yang mencolok adalah memaknai kemajuan yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip Islam.  Dr. Laitufa yang pertama berbicara menyampaikan pengalamannya mengembangkan ICMI di Tulungagung.  Menurut beliau apa tiga pilihan jalan untuk membangun masyarakat di Tulungagung, bidang kesehatan, bidang pendidikan dan bidang ekonomi.  Setelah dikaji dengan saksama, bidang pendidikan dan kesehatan sudah digarap dengan baik oleh organisasi keislaman lain, misalnya NU dan Muhammadiyah.  Oleh karena itu pilihan yang diambil membangun masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi.

Dimulaikan mendirikan BMT dengan modal 15 juta dan sekarang telah berkembang menjadi 90an dengan asset tidak kurang dari 30 milyar rupiah.  Walaupun beliau seorang dokter, pemilihan bidang ekonomi diambil karena  bidang itu yang belum banyak dikerjakan.  Dalam dalam bidang ekonomi itulah pada umumnya kelemahan umat Islam.

Sebagai pembicara kedua, Ustad Taufiq mengingatkan makna kemajuan yang tidak boleh hanya dilihat dari aspek ekonomi.  Beliau memberi contoh, pengusaha di Timur Tengah yang mendirikan bank syariah dengan nama Bank Barokah.  Tidak memberi nama Bank Islam, karena Islam dianggap terlalu besar untuk nama sebuah bank.  Jangan sampai jika pertugas bank-nya kurang baik, lantas ditafsirkan oleh pelanggan bahwa Islam kurang baik.  Jika banknya kemudian tidak berkembang atau bahkan bangkrut, lantas masyarakat menafsirkan Islam tidak cocok dengan manajemen bank.  Yang penting nilai-nilai Islam harus menjadi ruh dari kemajuan.

Namun Ustad Taufiq juga mengingatkan jangan sampai, kemajuan ditafsirkan sempit dengan kemajuan teknologi dan kemakmuran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.  Jangan sampai ICMI terbius “kemajuan barat” yang jauh dari nilai-nilai Islam.   Jadi kemajuan harus dimaknai sebenar jauh nilai-nilai Islam menjadi pembandu kemajuan tersebut.

Ir. Misbahul Huda, tampil sebagai pembicara ketiga dengan menampilkan tayangan.  Karena beliau seorang pengusaha, maka paparannya lebih banyak mendorong untuk terjun dalam dunia usaha.  Dalam bahasa sederhananya mendorong untuk menjadi kaya.  Sebagian besar sahabat nabi juga pedagang dan kaya.  Dengan kaya kita dapat berzakat dan bahkan dapat “membeli” sorga.  Karena ingin mendorong orang agar dapat menjadi kaya, dengan sedikit seloroh beliau mengatakan “menjadi kaya itu wajib”.

Paparan Pak Laitufa dan Pak Misbahul Huda yang “berbau ekonomi” tampaknya mengundang adanya teman yang salah pengertian.  Ada teman yang dengan semangat mengingatkan agar tidak memaknai kemajuan hidup dari aspek ekonomi semata.  Sempat ada ungkapan “kalau dengan kekayaan dapat membeli sorga” berarti para koruptor masuk sorga karena mereka kaya.  Masih ada ungkapan lain, yang intinya kurang setuju dengan paparan Pak Misbahul Huda.

Untunglah ada Pak Abdullah Sahab, doktor teknik mesin yang sekaligus da’i lucu.  Dengan  gaya khasnya,  Ami Dullah (begitu kami biasa memanggil) menjelaskan ketika kita mendorong orang menjadi kaya itu artinya urusan keislaman sudah selesai.  Tidak perlu diragukan lagi keislamannya.  Jadi jangan dipertentangkan antara Islam dengan ekonomi (menjadi kaya).  Yang didiskusikan, Islamnya bagus tetapi miskin atau Islamnya bagus tetapi kaya.  Pasti kita memilih Islamnya bagus dan kaya.

Mendengarkan diskusi yang dinamis dan gayeng penuh canda, saya jadi ingat buku Stephen Covey yang berjudul The Third Alternative.  Setiap orang akan punya pandangan masing-masing. Dan akan bagus kalau kita dapat menggabungkan dan mensinergikan berbagai pendapat tadi menjadi suatu keutuhan dna pasti lebih komprehensif.  Semoga.

Tidak ada komentar: