Sabtu, 03 Agustus 2013

IN SIDE THE BOX: Kreatif dapat disistematisasikan?

Sabtu tanggal 3 Agustus 2013 pagi saya di bandara Soekarno Hatta untuk pulang ke Surabaya.  Sebenarnya tiket saya untuk pukul 14.40.  Namun saya hanya memegang sms kode booking dari teman yang membelikan tiket.  Oleh karena itu sekitar pukul 8 saya sudah meluncur ke bandara.  Takut kalau ada masalah, karena hari itu orang berebut tiket untuk mudik.  Alhamdulillah, begitu saya menunjukkan sms tersebut ke petugas counter tiket, saya langsung dapat tiket.  Saya ingin memajukan penerbangan, tetapi seperti yang saya duga tiket sudah terjual habis.  Jadilah saya menunggu di bandara sekitar 5 jam.

Pada awalnya saya membaca dan melihat TV.  Namun lama-lama bosan juga.  Akhirnya, setelah sholat dhuhur saya jalan-jalan dan masuk ke toko buku.  Disitu saya melihat buku dengan judul IN SIDE THE BOX.  Kebetulan ada yang sudah terbuka (tidak dibungkus plastik), sehingga saya dapat membaca daftar isi dan sedikit introduction-nya.   Ternya buku tentang kreativitas.  Tertarik dan akhirnya saya beli.  Buku itu ditulis oleh Drew Boyd, seorang pensiunan dari pejabat penting di Johnson & Johnson, sedangkan dan Jacob Goldenberd adalah  profesor bidang Marketing di Columbia University.

Selama ini saya memahami dan mungkin juga banyak teman memahami bahwa untuk kreatif  kita harus berpikir out of the box.  Harus berpikir yang tidak seperti biasanya. Itulah sebabnya para seniman, yang konon kreatif, banyak berpakaian dan berperilaku “aneh”.  Kantor lembaga seni atau sejenisnya juga sering tidak seperti kantor pada umumnya.  Pokoknya selalu beda.  Mungkin metaphora “see what all see but think what nobody think” cocok indikator untuk orang kreatif.

Bahkan Stan Sigh, CEO dan pendiri computer ACER menulis buku dengan judul “Me Too Is Not My Style”.  Buku itu bercerita sejak kecil Stan Sigh berpikiran tidak lazim atau bahkan “bersebarangan” dengan pikiran pada umumnya.  Jika orang pada umumnya berpikiran “A”, dia menempuh jalan “B”.  Ketika perusahaan baru takut membuat brand sendiri, dia justru melakukan, yaitu ACER.  Pokoknya dengan pikiran yang berbeda dengan orang banyak akan menghasilkan suatu kreasi yang tidak dihasilkan orang lain.

Nah buku In Side the Box memberi bukti dan mengajarkan hal yang bertentangan.  Menurut buku itu, selain berpikir out of the box, untuk menjadi kretaif juga dapat dilakukan dengan berpikir in side the box.  Bahkan menurutnya sebagian besar penemuan yang selama ini kita kenal, misalnya remote control TV dan AC, penerbangan dengan harga murah (low cost carrier) tas punggung dan sebagainya ditemukan dengan pola pikir in side the box.  Berikut ini ringkasan (sangat ringkat dari buku tersebut, silahkan baca sendiri jika ingin yang lebih detail).

Buku itu mengenalkan metoda berpikir yang disebut Systematic Inventive Thinking (SIT).  Ada lima teknik dalam SIT, yaitu subtraction, division, multiplication, task unification dan attribute dependency.  Menurut buku itu, sebagian beras penemuan yang selama ini muncul melalui metoda itu.  Metoda substraction pada intinya mengurangi atau menghilangkan sesuatu bagian yang tidak penting, sehingga produk (benda atau layanan) menjadi lebih simpel, tanpa mengurangi hal-hal yang pokok.  Penerbangan murah yang diterapkan Air Asia merupakan contoh penerapan metoda itu.  Air Asia mengurangi jenis layangan yang tidak penting, misalnya minuman dan transfer bagasi.  Toh tidak banyak yang memerlukan. Hasilnya harga tike Air Asia menjadi murah. 

Mungkin (ini pendapat saya) pola budget hotel yang kini marak juga menerapkan prinsip substraction.  Budget hotel mengurangi beberapa layanan yang tidak penting dan diubah menjadi optional dengan tariff tambahan.  Harga dasar hanya mencakup kamar dengan fasilitas tertentu.  Kalau ingin tambahan layanan, misalnya tilpun kamar, TV, makan pagi dan sebagainya harus menambah.  Nah bagi yang tidak memerlukan, harga menjadi murah.

Metoda division pada intinya melepas fungsi tertentu dan dibuat berdiri sendiri.  Remote control TV dan AC merupakan hasil pemikiran itu.  Demikian pula external hard disk, flash disk dan drop box untuk penyimpakan file dokumen.  Mungkin (ini pendapat saya) layanan electronic ticket dan ATM untuk pengambilan uang juga merupakan produk pemikiran itu.

Metoda multiplication pada intinya meng-kopi komponen yang sudah ada untuk digunakan untuk keperluan lain yang penting.  Tambahan dua roda untuk sepeda yang digunakan akan kecil, agar tidak jatuh merupakan bentuk penggunaan pola pikir multiplication.  Roda yang asli dibuat tiruan kecil yang dipasangkan mengapit yang asli.  Kunci elektronik mobil mungkin juga seperti itu.

Metoda task unification pada intinya menggabungkan beberapa fungsi menjadi satu kesatuan sehingga menjadi lebih kompak dan simpel.  Tas punggung yang dapat digunakan untuk membawa buku, laptop dan sedikit baju merupakan penerapan pola pikir ini.  Mungkin juga (menutut saya) kopi mix, sampo yang sekaligus mengandung conditioner rambut merupakan produk pola pikir tas unification.

Metoda attribute dependency pada prinsipnya menggandengkan beberapa komponen menjadi satu kesatuan.  Penggabungan wiper mobil, penggabungan flash disk yang sekaligus untuk senter mungkin juga merupakan bentuk pola pikir tersebut.

Dengan mempelajari uraian buku itu, mungkin yang dimaksud dengan in side the box adalah memanfaatkan barang/komponen/fungsi yang ada untuk selanjutnya dikembangkan/ digabungkan/dikurangi dan sebagainya.  Jadi tidak selalu harus memulai dari yang sama sekali baru.  Jadi prinsip “penyempurnaan/pengembangan juga berlalu dalam mengembang kreativitas. Rasanya pada pendidik yang berkeinginan mengembangkan kreativitas anak didiknya, perlu mempelajari prinsip tersebut.  Syukur kalau dapat mengembangkan agar lebuh cocok dengan budaya Indonesia.  Semoga.

1 komentar:

Maharti Rn mengatakan...

in side the box : kreatifitas merupakan keberanian individu untuk berbeda dalam kepatutan (positif) berdampak manfaat serta keberanian menerima konsekuensi dampak keberbedaan yang terjadi,
buat wacana dan motivasi ijin share pak,terimakasih