Seperti
saya sebutkan di tulisan terdahulu, Halal Bil Halal ICMI Jatim dihadiri oleh
250an orang yang kebanyakan para senior.
Mereka itu tidak hanya dari Surabaya, tetapi ada yang dari Malang,
Tulungagung, Bojonegoro dan sebagainya.
Mas Ismail Nachu menyebut mereka itu sebagai orang yang ikut melahirkan
atau mengikuti kelahiran ICMI sejak tahun 1990an. Karena sesame senior tentu
mereka sudah aling akrab satu dengan lainnya.
Oleh karena itu pertemuan menjadi gayeng, diselingi canda khas teman
lama.
Dari
situasi silaturahim dan kelakar yang banyak muncul, saya menangkap betapa
akrabnya mereka. Tampak sekali emosi
pertemanan diantara yang hadir. Oleh
karena itu muncul usulan hendaknya silaturahim dapat ditindaklanjuti dengan
kegiatan yang konkret. Misalnya dalam
bentuk pertemuan periodik untuk memikirkan hal-hal yang terkait dengan keumatan
maupun kebangsaan. Jika mungkin akan
lebih baik jika dapat ditransformasikan menjadi kegiatan-kegitan yang
nyata.
Mendengar
usulan itu, saya jadi teringat apa yang kami diskusikan pada saat berbuka puasa
bersama di rumah saya tahun lalu. Pada
saat itu hadir Pak Wawan Setiawan, notaris senior yang sudah pensiun dan yang
banyak teman-teman mudadi kalangan pengurus ICMI. Waktu itu terlontar gagasan bagaimana
memaknai konsep jama’ah yang tidak hanya dalam aktivitas sholat, tetapi juga
dalam kehidupan kemasyarakatan.
Karena
yang hadir waktu itu teman-teman muda dan ICMI sedang bersemangat mencetak
10.000 orang saudagar muslim, timbul gagasan bagaimana memadukan dua
karateristik anggota ICMI. Di ICMI
banyak teman profesional yang mapan, misalnya dokter, notaris, banker dan
sebagainya. Mereka itu sangat sibuk
dengan profesinya dan tentu memiliki penghasilan cukup baik. Kasarnya tentu teman-teman seperti punya simpanan
yang mungkin ditabung dalam berbagai bentuk.
Di pihak lain, banyak teman-teman muda yang baru merintis usaha,
sehingga memerlukan modal. Mungkinkah
dua potensi itu “disambungkan?”.
Anggota
ICMI memiliki profesi yang sangat beragam, misalnya dokter, insinyur, politisi,
guru/dosen, pengusaha, notaris, pengacara dan sebagainya. Mereka pada umumnya menjadi aktivis di
berbagai organisasi sosial. Jadi ICMI
seakan menjadi “jembatan” bagi mereka yang memiliki profesi berbeda dan atau aktif
di organisasi berbeda. Pertanyaannya
bagaimana “jembatan” itu tidak sekedar setahun sekali, tetapi menjadi “jembatan”
yang dapat dilewati setiap saat. Sekali
lagi itu memperluas konsep jama’ah yang tidak sekedar dalam arti sholat.
Untuk
memulai merintis penyambungan tersebut, pesan Mas Misbahul Huda perlu mendapat
perhatian. Dalam berbagai kesempatan,
termasuk saat menjadi pembicara saat halal bil halal ICMI Jatim, Misbahul Huda
menyebutkan bahwa integritas merupakan salah satu faktor penting dalam dunia
usaha. Menurut saya, tidak hanya dalam
bidang usaha, dalam segala bidang integritas sangat penting. Dengan integritas yang baik, orang akan dapat
dipercaya dan akan memegang amanah.
Keinginan
menyambungkan mereka yang saling memerlukan dan membuat jembatan penghubung
antar profesi dan atau bidang keahlian itulah yang menjadi pekerjaan rumah
pengurus ICMI Jatim. Hubungan emosional
yang masih “membara” harus dimanfaatkan sebagai momen. Jika sambungan dan jembatan itu dapat
dibentuk maka silaturahim yang selama bersifat di permukaan dapat berubah
menjadi jejaring yang kokoh. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar