Tekat Kemdibud untuk menyemai lahan subur budi pekerti
luhur (Jawa Pos, 26 Juli 2015) harus diapresiasi, karena sebagaimana kita
ketahui bersama problema serius bangsa ini sebenarnya bersumber dari rusaknya akhlak
atau budi pekerti atau karakter. Namun
demikian, peringatan Muhammad Zuhdi, jangan sampai program bagus tersebut
mengalami kegagalan seperti P4 di era Orde Baru juga harus mendapat perhatian
serius. Saya termasuk orang yang
beruntung, karena sebagai dosen muda saat itu sempat ikut penataran P4 dan
bahkan menjadi penatar bagi mahasiswa baru di kampus. Oleh karena itu saya ingin berbagi pendapat
mengapa penataran P4 yang diberlakukan secara masif bagi siswa baru, mahasiswa
baru dan PNS baru tersebut gagal.
Dilihat dari
konsep, struktur penataran dan biaya penyelanggaraan, penataran P4 cukup
bagus. Jika dicermati 37 butir P4 yang saat
itu harus dihafal dan difahami oleh peserta penataran merupakan jabaran yang
komprehensif dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Penataran P4 yang disertai dengan diskusi dan
bahkan penyusunan makalah juga merupakan pola penataran yang bagus. Para penatar juga diambilkan dari tokoh
masyarakat. Untuk dapat menjadi
manggala, sebutan penatar P4, seseorang harus lulus pelatihan khusus dengan
skor nilai tertentu. Apalagi penataran
P4 ditopang oleh kemaupuan politik pemerintah yang sangat kuat.
Lantas mengapa penataran P4 gagal? Menuut saya, karena tidak adanya contoh
nyata bagaimana penerapan P4 dalam kehidupan sehari-hari. Para tokoh di pemerintahan maupun di
masyarakat tidak dapat menjadi teladan penerapan butir-butir P4. Televisi juga sering menayangkan perilaku
tokoh yang tidak menggambarkan penerapan buit-butir P4. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, para
manggala juga bukan merupakan teladan yang baik. Tidak sedikit peserta penataran yang
bergunjing: “walah ngomong doang”. “Kelakuannya
sendiri begitu, kok sekarang menceramahi macam-macam”.
Kalau kita mengacu kepada penjelasan Lickona dalam
bukunya yang fenomenal Educating for
Character (1992), penataran P4 hanya sampai pada moral knowing dan tidak sampai pada moral feeling apalagi moral action. Peserta penataran faham dan hafal 37 butir
P4, tetapi mereka tidak merasa harus melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Mengapa? Karena perilaku
masyarakat di tempat mereka tinggal dan bahkan para tokoh yang mereka lihat
juga tidak menerapkannya. Ibarat pengemudi
yang suka menggunakan bahu jalan di jalan tol, karena setiap hari mereka
melihat banyak orang yang menggunakan bahu jalan. Bahkan di Jakarta para pejabat tinggi yang
dikawal oleh patwal juga sering menggunakan bahu jalan.
Lalu bagaimana strategi penyemaian budi pekerti luhur
agar tidak gagal seperti P4? Bukankah
perilaku banyak tokoh juga tidak berbeda dengan era Orde Baru? Belajar kepada sekolah yang sukses
mengembangkan karakter, program penyemaian budi pekerti harus dilakukan melalui
pembiasaan (habituasi) yang disambung dengan pembudayaan (pembudayaan) dan
disertasi dengan teladan yang baik.
Seperti disarankan oleh Linkona (1992) dan Nucci & Narvaez (2008)
sebaiknya program itu difokuskan kepada beberapa aspek budi pekerti sehingga
menjadi kebiasaan sehari-hari. Pembiasaan
harus dilakukan secara konsisten dan cukup lama, sehingga menjadi perilaku
keseharian di sekolah.
Setelah itu kebiasaan tersebut dicantolkan pada
nilai-nilai agama atau tradisi tertentu, sehingga siswa faham mengapa hal itu
harus dilakukan. Dengan demikian apa
yang dilakukan tidak hanya karena tradisi, tetapi menjadi budaya baru. Hal ini untuk menghindari perasaan siswa
yang melaksakan kebiasaan itu sebagai keterpaksaan, tetapi sebagai kebutuhan
karena merupakan bagian dari nilai-nilai agama atau tradisi yang diyakini
kebaikannya.
Lebih dari itu, pimpinan sekolah, guru dan karyawan
harus menjadi teladan yang baik bagi penyemaian budi pekerti. Seperti ceramah Dahlan Iskan pada acara Wisuda Unesa (2013) karakter itu
tidak dapat diajarkan, tetapi harus ditularkan.
Artinya, yang mengajarkan harus terlebih dahulu melakukan dan baru
setelah itu mengajarkannya. Seperti
kata-kata bijak, ordinary teacher tells,
good teacher shows and great teacher inspires.
Apakah kita punya tokoh yang dapat menjadi inspirasi
pengembangan budi pekerti luhur? Punya dan
banyak, hanya sebagian besar belum diketahui orang. Kita harus beterima kasih kepada Yudi Latif
yang melalui buku Mata Air Keteladanan Pancasila dan Perbuatan (2014) berhasil
menghimpun sederet orang, baik tokoh maupun orang kebanyakan yang sukses
menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupannya.