Kali ini saya ke
Miyanmar dengan naik SQ (Singapore Ariline) disambung dengan MI (Silk
Air). Sebenarnya saya ingin naik Garuda,
biar duitnya balik ke BUMN Indonesia.
Tetapi tidak ada penerbangan Garuda ke Yangoon. Yang ada ke Bangkok dan itupun dari Jakarta. Jadi saya harus transit dua kali,
Surabaya-Jakarta, Jakarta-Bangkok dan Bangkok-Yangoon. Jadi pilih SQ disambung MI, Surabaya-Singapore
naik SQ dan Singapore-Yangoon naik MI.
Memang ada penerbangan
lain, misalnya dengan MH (Malaysia Airlines) dan masih ada lainnya. Tetapi kalau tidak ada Garuda, yang milih
yang nyaman dan itu pilihannya SQ. MI
adalah anak perusahaan SQ, seperti Garuda punya anak perusahaan Citylink.
Induknya untuk penerbangan jauh dan anaknya untuk penerbangan jarak
pendek. Enaknya antara SQ da MI itu
dapat check in satu kali, langsung dapat boarding pass SQ untuk
Surabaya-Singapore dan juga boarding pass MI untuk Singapore-Yangoon. Jadi nampak kalau keduanya satu holding
company.
Seperti saya tulis di
judul Soto Cak Tohir, saya sudah sarapan sebelum berangkat dari Surabaya. Tetapi di pesawat ke Singapore, dengan ramah pramugari
SQ menanyakan “are you muslim”. “do you order muslim food”. Saya jadi tidak enak untuk menjawab sudah
kenyang, akhirnya saya jawab. “yes” untuk pertanyaan “are you muslim” dan “sure”
untuk pertanyaan “do you order muslim food”.
Tidak lama pramugari
tadi datang membawa makan siang, nasi briyani dengan gulai ikan plus terong
yang dimasak seperti balado. Seperti
biasanya ada salad dan roti plus sepotong kecil keju. Sampai saya selesai makan, penumpang lain
belum dapat makanan. Sepertinya
penumpang muslim atau mungkin yang pesan makanan khusus diberi lebih dahulu.
Ketika saya sudah
selesai makan dan ditawari minuman hangat saya pesan teh. Nah ketika secangkir teh disodorkan, saya
bertanya “do you have sugar”. Biasanya
orang Surabaya tidak puas kalau minum teh tanpa gula. Pramugari dengan
tersenyum menjawab “itu pak yang dibungkus panjang”. Saya jadi malu, pertama “koyo iyo-iyo-o”, bertanya
dalam bahasa Inggris pada hal pramugarinya ternyata orang Indonesia, kedua
tidak faham kalau di nampan saya sudah ada gula yang tadi diberikan bareng roti
dan keju.
Jadinya saya bisa
menjawab “maaf mbak, terima kasih”, sambil memandangi pramugari tadi. Wajahnya memang wajah Melayu tetapi bukankah
banyak pramugari SQ berwajah Melayu yang ternyata orang Singapore atau
Malaysia atu Thailand atau Brunai. Jadilah saya mengamati
beberapa pramugari yang lalu lalang melayani makan siang penumpang. Mereka
tinggi-tinggi, berbaju seragam SQ yang terkenal itu dan dengan senyum ramah
selalu mengembang. Saya menduga, SQ
memang mendidik mereka berpenampilan ramah dan menarik, serta sudah memilih
mereka yang secara fisik menarik pula.
Waktu turun dan
tertahan di lorong pesawat, saya sempat ngobrol pendek pramugari tadi, dengan
membuka pertanyaan “sudah berapa trip mbak” dan dijawab “dua trip pak”. Saya sambung dengan pertanyaan “terus mau
terbang kemana lagi”, karena setahu saya pramugari itu punya jatah terbang 3
sampai 4 trip sehari. Namun mbak tadi
menjawab “sudah pak, ini sudah selesai”.
Saya komentari “waduh enak sekali ya pramugari SQ, gajinya gede hanya
kuwajiban 2 trip”. Di luar dugaan, dia
menjawab “nggak enak pak, sebenarnya saya pengin bekerja di Indonesia”. “Bosan
di sini”.
Jadilah obrolan ala
orang Indonesia. Saya bertanya “asli dari mana” dan dijawab dari “Bekasi”. Dia
terus bercerita bahwa dia lulusan Teknologi Pangan Swiss German University yang
kampusnya di BSD. Waktu lulus ditawari
pekerjaan di Jakarta tetapi gajinya kecil dan iseng-iseng melamar pramugari SQ
diterima. Komentar akhir sungguh mengharukan
saya “saya nyesel pak, teman-teman yang dulu menerima tawaran itu sekarang
gajinya sudah gede juga”. “Sekarang saya
sedang ngelamar-ngelamar kerjaan di tanah air, kalau diterima ya cabut dari SQ”. “Enakan kerja di negeri sendiri”.
Ketika berjalan turun dari
pesawat menuju ruang tunggu di bandara Changi saya merenungkan ungkapan mbak
pramugari tadi. “Saya nyesel, enakan
kerja di negeri sendiri”. Apa iya begitu?
Pada hal pramugari SQ itu terkenal berpenampilan chik, konon bergaji
besar dan termasuk bergengsi di dunia penerbangan. Apa ungkapan “hujan emas di negeri orang,
masih enak hujan batu di negeri sendiri” berlaku buat mbak pramugari tadi?
Karena masih terbayang
pramugari dengan ungkapan khas tadi, maka begitu boarding ke Yangoon dengan
pesawat MI, yang saya perhatikan pramugarinya.
Kok sangat berbeda ya. Secara
fisik sangat menyolok perbedaannya.
Pramugari MI lebih kecil (atau pendek) dengan kulit lebih gelap. Seragamnya juga jauh berbeda kelas. Mereka mengenakan rok hitam dengan blus biru
toska. Sepintas mirip petugas yang
melayani pembeli di Tunjungan Plaza.
Senyumnya juga mahal, tidak selalu mengembang pada pramugari SQ. Ketika ada penumpang ingin ke kamar kecil dan
minta jalan, seorang pramugari menjawab dengan bahasa Inggris khas Singapore “can
not-can not”. Sebuah dialek yang tidak
lazim saya dengar dari pramugasi kelas internasional.
Mengapa begitu
ya? Apakah induk perusahaan SQ dan MI
memang sengaja membedakan kelas kedua penerbangan itu, seperti Cak Tohir
membedakan soto daging di Terminal 1 dan Terminal 2 Juanda? Apakah karena MI dianggap kelas lebih
rendah, sehingga tidak perlu dilayani pramugari sekelas di SQ? Apakah standar gaji pramugari MI lebih kecil,
sehingga tida dapat memperoleh mereka yang seperti di SQ? Apakah pramugasi MI tidak dididik atau
dipersiapkan seperti pramugari SQ ya?
Sederet pertanyaan itu
masih menggantung dan saya belum mendapatkan jawaban. Mungkin orang dalam perusahaan tersebut yang
dapat menjelaskan. Ya, untuk sementara
saya hanya punya jawaban ala tukang becak Madura “numpak MI murah njaluk apik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar