Pagi tanggal 14 Juli 2015
saya rapat kecil dengan Prof Lutfiah Nurlaela, Dr. Wahono dan Mas Dedi, di
kantor Prodi Pendidikan Sains Unesa.
Kami mendiskusikan desain penelitian kecil yang akan kami
laksanakan. Dalam penelitian ini, kami
yang merasa sudah “senior” memutuskan untuk mengajak teman-teman “yunior”. Saya mengajar Mas Wahyu Kurniawan, Mbak Santi
dan Mbak Yusti. Sayangnya, teman-teman
muda sudah pada mudik, kecuali Mas Dedi, sehingga yang rapat hanya yang
tua-tua.
Di tengah-tengah diskusi
dan topiknya tentang Tata Boga, pikiran kami “berbelok” untuk mempertanyakan
mengapa chef hotel biasanya laki-laki.
Pada hal siswa jurusan Tata Boga di SMK maupun mahasiswa Tata Boga di
Universitas mayoritas perempuan. Pak
Wahono bercerita kalau hal itu sudah pernah didiskusikan dengan Bu Lutfi sekian
tahun lalu dan konon itu disebabkan karena masalah kekuatan fisik. Untuk menjadi chef di hotel, seseorang harus
meniti karier dari bawah, misalnya dari cook atau bahkan pembantu dulu. Nah ketika menjadi cook itu memerlukan tenaga
yang kuat, karena harus mengangkat panci dan alat-alat masak lain yang
ukurannya besar-besar.
Mas Deni (asisten Bu
Lutfi) yang kebetulan dosen Tata Boga tampaknya membenarkan pendapat Bu
Lutfi. Menurut Mas Deni, dilihat dari
kemampuan maupun keterampilan dalam Tata Boga tidak ada perbedaan antara
mahasiswa laki-laki dan perempuan.
Tetapi memang ketika praktek masak dengan peralatan yang besar-besar
mahasiswa perempuan sering kerepotan dan meminta tolong temannya laki-laki. Mas Deni juga menunjuk beberapa ahli masak,
misalnya Farah Quin, yang jago masak.
Namun seingat saya mereka itu bukan chef tetapi ahli masak “rumahan”.
Diskusi bergeser ke
para ahli desainer baju. Sebagian besar
mereka bukanlah lulusan sekolah atau universitas (baca program studi) Tata
Busana. Pak Fariz, dosen Unesa yang
menjadi tokoh di balik Jember Fashion Carnafal (JFC) berlatar belakang
pendidikan Seni Rupa. Pak Wahono
menunjuk beberapa desainer terkenal yang ternyata tidak berlatar belakang pendidikan
Tata Busana. Pada umumnya mereka “hanya
belajar dari kursus-kursus” dan kemudian berlajar sendiri.
Diskusi bergeser lagi
ke guru-guru yang berlatar belakang bukan LPTK.
Pak Wahono menunjukkan guru-guru seperti itu justru kreatif dalam mengajar,
melebihi mereka yang lulusan LPTK. Saya
juga teringat saat awal-awal pendirian SAIMS (Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya)
guru yang sangat baik waktu itu lulusan Teknologi Pertanian. Ingatan bergeser lagi, penulis Novel Laskar
Pelangi, Andrea Hirata juga bukan lulusan program studi Sastra. Taufik Ismail, penyair senior kita justru
dokter hewan.
Mengapa begitu
ya? Diskusi menjadi lebih gayeng, ketika
saya menyodorkan data penelitian tahun lalu tentang pengembangan kreativitas
mahasiswa. Penelitian itu menunjukkan
aspek yang paling lemah dalam pengembangan kreativitas adalah
originalitas. Penelurusan secara
mendalam menemukan, kelemahan itu terjadi karena mahasiswa terpaku oleh
rambu-rambu yang ada dalam buku teks dan penjelasan dosen. Keterpakuan itu menyebabkan mereka tidak
berani keluar dari patren yang seakan-akan baku. Ternyata Pak Wahono juga menemukan simpulan
serupa ketika melakukan penelitian di FMIPA.
Diskusi itu
memunculkan pertanyaan “apakah pendidikan kita mengerangkeng siswa/mahasiswa,
sehingga daya kreativitasnya mandeg?”.
Pada hal justru kreativitas itu yang saat ini, di era digital ini, yang
sangat diperlukan. Pekerjaan yang
berulang, perhitungan yang rumit sekarang dapat dilakukan oleh robot dan
komputer. Tetapi robot dan komputer
tidak dapat melakukan kreativitas, sehingga harus manusia yang mengerjakannya. Berbagai studi juga mendukung pentingnya
kreativitas dalam kehidupan.
Pertanyaannya, apakah
betul pendidikan kita yang menyebabkan siswa/mahasiswa tidak kreatif? Kelakar bahwa ketika diminta menggambar
pemandangan, siswa selalu menggambar dua gunung yang mengapit matahari,
merupakan contoh tumpulnya kreativitas siswa?
Mengapa itu terjadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar