Mungkin judul di atas
lebih tepat jika diubah sedikit menjadi “haruskan anak-anak kita dapat
berbahasa Inggris?”. Mengapa? Kalau
untuk kita mungkin sudah agak terlambat atau bahkan sudah sangat terlambat,
khususnya untuk generasi saya yang usianya di atas 60 tahun. Tetapi kalau untuk anak-anak kita yang
usianya di bawah 20 tahun, mungkin pertanyaan tersebut layak untuk
didiskusikan.
Pertanyaan itu saya
ajukan terkait dengan pengalaman dilayani oleh sopir Seameo Chat yang ternyata
bisa berbahasa Inggris cukup baik. Beliau
berpakaian seperti biasanya orang Myanmar, pakai sarung atau dalam bahasa
Miyanmar disebut longji. Bahkan pada hari kedua sore haru, beliau hanya memakai
celana pendek karena harus membersihkan mobil, mungkin maksudnya mencuci mobil,
sebelum menjemput kami. Beliau juga
makan sirih seperti biasanya orang laki-laki kebanyakan (bukan mereka yang
terpelajar) di Miyanmar. Jadi dari
penampilan tidak ada bedanya dengan sopir di Miyanmar.
Dalam pandangan saya,
kelebihan pokok beliau adalah dapat berbahasa Inggris. Dengan kemampuan itu, pak sopir mampu
berkomunikasi dengan tamunya dengan baik.
Dengan demikian tidak terjadi salah pengertian antara tamu yang dilayani
dengan pak sopir. Dengan kemampuan itu
tidak diperlukan lagi petugas lain untuk mengantar tamu kesana-kemari dan
bahkan pak sopir dapat merangkap sebagai guide.
Apalagi orangnya ramah.
Saya membayangkan,
jika Unesa memiliki sopir seperti beliau tentu sangat indah. Menjadi efisien
karena tidak diperlukan petugas lain untuk menjemput tamu asing. Unesa juga menjadi lebih keren karena
sopirnya saja dapat berbahasa Inggris.
Namun tampaknya saat ini masih sulit diterapkan. Jangankan sopir, mencari karyawan bahkan
dosen yang mampu berbahasa Inggris dengan baik, tidak mudah. Akibatnya jika ada tamu atau dosen dari
negara lain, seringkali Unesa kesulitan melayani.
Saya lantas
membayangkan ke masa depan. Konon per 31
Desember 2015 akan berlaku Asean Economic
Community atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Masyarakat Ekonomi
Asean. Jadi sejak itu barang dan jasa
bebas keluar masuk antara negara-negara Asean.
Jadi orang dan barang Indonesia bebas masuk ke Singapore, Malaysia dan
semua anggota Asean lainnya. Sebaliknya
barang dan orang dari negara anggota Asean bebas masuk Indonesia.
Kalau hal itu terjadi,
dan saya yakin akan terjadi, lantas bahasa apa sebagai alat komunikasi
utama? Jika orang Indonesia bekerja di
Thailand atau orang Philippines bekerja di Miyanmar, mereka menggunakan bahasa
apa ya? Mungkin ada yang menjawab
menggunakan bahasa tempat mereka bekerja.
Jawaban yang tidak salah, walaupun menurut saya tidak sepenuhnya benar.
Mari kita cermati
fenomenanya. Kalau kita ke bank untuk
mengambil uang, menabung atau mentransfer uang, coba kita cermati slip atau
blanko yang harus kita isi. Saya hampir
dapat memastikan blanko tersebut menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris. Mengapa? Karena sangat mungkin ada nasabah orang
asing, sehingga yang paling sederhana menggunakan bahasa Inggris. Kalau setiap
bangsa harus disediakan blanko khusus tentu tidak efisien. Atau mungkin pemilik bank tersebut, sebagian
atau sepenuhnya orang atau lembaga asing, sehingga harus dapat membaca laporan
dan data keuangannya. Bukankah sekarang
banyak bank yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan multinasional atau
perusahaan asing.
Rasanya tidak hanya
bank, banyak perusahaan lain yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan asing atau
perusahaan multinasional. Nah, pada
perusahaan seperti itu tentu data dan laporan resmi harus menggunakan bahasa
Inggris. Saya menduga fenomena seperti
itu semakin lama semakin banyak, sehingga keperluan berbahasa Inggris juga akan
semakin penting. Jangan-jangan besuk
orang itu akan punya tiga bahasa sekaligus, bahasa Ibu atau bahasa daerah,
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Saya pernah membaca
sebenarnya kehidupan kita ini sedang menuju apa yang disebut dengan global village. Ketika transportasi semakin mudah, jaringan
internet semakin mudah dan murah, mobilitas orang semakin tinggi, kepemilikan
suatu usaha semakin mudah berpindah tangan lintas negara, sebenarnya pelan
tetapi pasti komunitas di bumi ini
semakin menyatu. Jika di masa lalu,
orang Jawa hanya berbahasa Jawa dan tinggal di Jawa, orang Bali hanya tinggal
di Bali dan berbahasa Bali, sekarang kita melihat betapa banyaknya orang Jawa
yang bekerja dan tinggal di Bali dan sebaliknya banyak orang Bali yang bekerja
di Jawa dan pandai berbahasa Jawa.
Tetapi mereka umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
komuniasi.
Bukankah tidak mungkin
gejala itu akan meluas antar negara?
Bukankah sekarang banyak orang Indonesia yang bekerja dan tinggal di
negara lain? Artinya bukan tidak mungkin
di masa depan, banyak orang Indonesia yang bekerja dan tinggal di negara
lain. Sebaliknya banyak orang asing yang
bekerja dan tinggal di Indonesia. Mereka
akan tetap sebagai warga negara asal, tetap tinggal menetap di negara lain. Itulah yang dimaksud kita sedang menuju
global village.
Batas negara tetap
ada. Kewarganegaraan tetap ada. Tetapi itu akan menjadi sekedar catatan
administratif dan tidak terlalu bermakna dalam interaksi sosial maupun
pekerjaan. Maksudnya dalam lingkungan
masyarakat tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan sudah terbiasa berbaur
orang daru berbagai negara. Mereka tetap
memegang kewarganegaraan masing-masing, tetapi berbaur dalam kehidupan
keseharian. Mungkin itulah yang disebut sebagai “the end of nation state”.
Bukankah ketika
menjadi Dubes Indonesia di Amerika Serikat Dino Patti Jalal menggagas apa yang
disebut dengan Diaspora, yaitu menghimpun orang-orang Indonesia yang bekerja
dan tinggal di negara lain. Dan ternyata
jumlahnya ribuan dan banyak yang sukses menekuni berbagai profesi. Mereka banyak yang tetap sebagai warga negara
Indonesia dan ingin tetap menyumbangkan pemikirannya untuk Indonesia.
Apakah belajar bahasa
Inggris atau menggunakan bahasa Inggris dalam bekerja dan berinterkasi sosial
tidak mengurangi rasa nasionalisme? Bukankah konon salah satu keputusan
membubarkan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasinal) karena RSBI
menggunakan pengantar bahasa Inggris, khususnya untuk matapelajaran Matematika
dan IPA, sehingga ditakutkan menurunkan rasa nasionalisme siswa.
Jujur saya tidak tahu
jawabannya. Saya hanya dapat mengajukan
pertanyaan balik, apakah rasa nasionalisme Pak Habibie, Pak Anies Baswedan, Bu
Susi dan Pak Prabowo menurun karena beliau-beliau mampu berbahasa Inggris
sangat baik dan mungkin juga dalam kehidupan sehari-hari sering berhasa
Inggris. Konon banyak anak-anak para
pejabat tinggi dan konglomerat banyak yang sekolah di negara lain (baca negara
maju), sehingga sangat mungkin pandai berbahasa Inggris. Apa rasa nasionalisme mereka menurun ya?
Saya juga pernah
berdiskusi dengan mahasiswa tentang globalisasi. Beberapa mahasiswa mengatakan berpendapat
kita harus menggunakan bahasa Indonesia, karena itu bukti nasionalisme. Janganlah kita menggunakan bahwa asing atau
bahkan produk budaya asing, agar tidak mengikis rasa nasionalimen. Mungkin peringatan mahasiswa tadi benar. Namun saya juga ingin mengajukan pertanyaan,
pakaian celana panjang, kemeja dan jas yang banyak kita pakai itu budaya asli
Indonesia atau bukan ya? Bukankah di
waktu dulu kakek-kakek kita mengenakan sarung, jarit baju berkap dan
blangkon? Apakah makan dengan sendok itu
budaya asli kita ya? Bukankah nenek kita
dulu makan dengan tangan?
Sepanjang penerbangan
dari Yangoon sampai Surabaya terus memikirkan itu dan kemudian saya tuangkan
dalam tulisan ini. Jujur saya tidak tahu
jawabannya dengan pasti, sehingga berharap ada orang yang ahli tentang
nasionalisme dan pendidikan kebangsaan yang dapat menjawabnya. Namun dengan catatan tidak terjebak dalam
wawasan sempit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar