Ini kaki kedua saya ke
Yangoon Miyanmar. Dua tahun lalu saya
juga ke Miyanmar, diundang oleh KBRI Yangoon untuk memberi ceramah tentang
Pendidikan Masa Depan kepada warga RI yang tinggal di sekitar Yangoon dan para orangtua
siswa YIIS maupun alumni YIIS.
Sebagaimana pernah saya tulis di blok ini, KBRi Yangoon punya YISS
(Yangoon Indonesia International School), sebuah Sekolah Indonesia di Luar
Negeri tetapi menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan sebagian
muridnya adalah anak-anak orang beken di Miyanmar.
Kali ini saya diundang
oleh Seameo Chat (South East Asia Ministry of Education Organization-Center of
History and Tradition) untuk memberi kuliah tentang Local Wisdom as Basis of
Character Education. Mungkin ada staf
Seameo Chat yang membaca makalah saya di Asaihl International Conference,
sehingga mengundang saya untuk memberi kuliah tentang itu bagi staf mereka dan
mahasiswa Pascasarjana dari beberapa universitas di sekitar kota Yangoon.
Saya tiba di bandara
Yangoon sekitar pukul 17 waktu setempat atau sekitar 17.30 WIB (waktu di
Yangoon 30 menit di belakang WIB) dan dijemput oleh Dr. Win Myat Aung, seorang
senior researcher officer. Sebagaimana
biasanya, beliau mengenakan sarung yang di Miyanmar disebur longji (moga-moga
ejaannya betul, karena istilah itu aslinya ditulis dengan huruf Miyanmar). Menurut Direktur Seameo Chat, Dr. Myint Myint
Ohn, sarung merupakan pakaian resmi di Miyanmar. Bahkan seragam siswa SMP adalah baju putih
dengan sarung warna hijau.
Saya mengamati Yangoon
mengalami perkembangan sangat cepat.
Bandaya sedang diperluas dan jalan-jalan menjadi lebih lebar dan
rapi. Di kiri-kanan jalan saya melihat
perkantoran modern, misalnya dealer BMW, Panasonic dan sebagainya. Tampaknya Miyanmar sedang menggeliat. Masuk akal, kalau Dr. Myint Myint Ohn
bercerita, kebutuhan kursus bahasa Inggris meningkat saya tajam. Kursus bahasa Inggris yang dilaksanakan di
Seameo Chat (ini terobosan baru, Senter untuk Sejarah dan Tradisi tetapi
membukan kursus bahasa Inggris) yang daya tampung maksimal hanya 200 orang,
pendaftarnya lebih 2.000 orang, sehingga mereka harus mengantri.
Lalu lintas menjadi
sangat macet, karena jumlah mobil meningkat tajam sementara jumlah jalan belum
banyak berubah. Memang jalan diperlebar
tetapi belum mampu mengimbangi peningkatan jumlah mobil. Jarak antara bandara dengan hotel tempat kami
menginap hanya sekitar 10 km tetapi itu ditempuh hampir satu jam. Itupun sopirnya sudah meliuk-liuk agar mobil
dapat melaju di sela-sela kemacetan.
Karena macet, saya
dapat mengamati mobil-mobil yang lalu lalang.
Hampir semua mobil Jepang dan Toyota yang paling banyak. Memang ada
mobil merek lain, seperti Mercy,BMW, VW, Honda dan lain-lainnya, tetapi tida
banyak. Mobil untuk menjemput saya juga
Toyota Crown mewah walaupun mungkin sudah agak tua.
Yang paling menarik
perhatian saya adalah mobil-mobil yang lalu lalang itu stir kanan seperti mobil
di Indonesia. Pada hal Miyanmar menganut
jalan jalur kanan seperti Amerika Serikat, Belanda dan Philippines. Lazimnya model jalan jalur kanan, mobilnya
stir kiri, sedangkan model jalur jalan kiri seperti Indonesia. Indonesia, Singapore dan Inggris menganut
jalan jalur kiri dengan mobil stir kanan. Belanda, Amerika Serikat dan
Philippines menganut jalan jalur kanan dengan mobil stir kiri. Nah, aneh bin ajaib, Miyanmar menganut jalan
jalur kanan tetapi mobilnya stir kanan juga.
Dr. Win Myat Aung
menjelaskan pada awalnya Miyanmar menganut jalan jalur kiri, tetapi sekitar 10 tahun
oleh pemerintah diubah menjadi jalur kanan.
Alasannya apa, Dr Win tidak dpat menjelaskan. Apa hanya karena benci
dengan Inggris yang pernah menjajah Miyanmar, sehingga model jalur jalan tidak
boleh sama dengan Inggris ya? Biarlah
itu menjadi urusan orang Miyanmar. Yang
menjadi pertanyaan saya apakah dari aspek keamanan, jalur jalan kanan dengan
mobil stir kanan itu aman? Mungkin ini
menjadi bahan kajian menarik bagi teman-teman yang mendalami ke-lalu lintasan
jalan raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar