Saya
gembira ketika baru-baru ini beberapa orangtua calon siswa protes terhadap
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Surabaya. Dinas Pendidikan Surabaya seharusnya juga
gembira. Bukan karena senang ada
keributan tetapi itu merupakan indikator penting dalam keberhasilan salah satu
program pendidikan, yaitu penyadaran masyarakat akan pentingnya mutu
pendidikan. Orang tua rela berbuat saja
agar anaknya mendapatkan sekolah yang baik, jika perlu bersengketa dengan
penguasa. Itulah hasil program Dinas
Pendidikan dalam menyosialisasikan pentingnya pendidikan bermutu untuk
menyiapkan generasi unggul. Mereka yang
protes itu adalah mereka yang ingin anaknya menjadi generasi unggul dan untuk itu
harus mendapatkan sekolah yang bermutu baik.
Kejadian
tersebut menguatkan fenomena beberapa akhir tahun terakhir, yaitu banyak
sekolah-sekolah negeri maupun swasta bermutu kebanjiran pendaftar, walaupun
menerapkan SPP yang mahal. Sebaliknya
banyak sekolah negeri atau swasta yang kurang bermutu kekurangan pendaftar,
walaupun sekolah tersebut SPPnya murah atau bahkan gratis. Fenomena itu terjadi, karena orangtua yang
sadar akan pentingnya mutu pendidikan akan berusaha menyekolahkan anaknya ke
sekolah yang diyakini baik mutunya. Berapapun SPPnya akan dibayar kalau memang
keuangannya memungkinkan. Jika di daerah
tempat tinggalnya tidak ada sekolah yang bermutu, anaknya akan dikirim ke
sekolah di kota lain. Oleh karena itu
kita tidak perlu heran pada SMA di Surabaya dan Malang, banyak anak-anak dari
luar Jawa.
Dalam
konteks itu, masyarakat dalam dikelompokan dalam empat katergori, yaitu: (1)
sadar akan pentingnya mutu pendidikan dan memiliki dana cukup, (2) sadar akan
pentingnya mutu pendidikan, tetapi tidak memiliki dana cukup, (3) memiliki dana
cukup tetapi tidak memahami pentingnya mutu pendidikan, dan (4) tidak faham
akan pentingnya mutu pendidikan dan juga tidak memiliki dana cukup.
Mereka
yang mengirim anaknya ke sekolah bermutu walaupun harus membayar mahal, adalah
mereka yang tergolong kategori pertama.
Mereka yang masuk katergori dua akan berebut masuk sekolah negeri,
karena relatif lebih murah. Mereka yang
masuk kategori empat itulah yang asal-asalan menyekolahkan anak, bahkan
seringkali enggan menyekolahkan mereka. Fenomena
protes terhadap PPDB menunjukan peningkatan mereka yang masuk kategori satu dan
dua.
Mengapa
hal itu penting? Mereka yang memiliki
kesadaran akan pentingnya mutu pendidikan akan mudah diajak berembuk oleh
sekolah untuk meningkatkan belajar anak-anaknya. Mereka akan memfasilitasi dan mengontrol
anak-anaknya dalam proses pembelajaran. Dengan demikian sinergi antara sekolah
dan rumah orangtua dapat tumbuh dengan baik. Seperti dituturkan oleh Friedman
(2013) mutu pendidikan di Shanghai meningkat cepat karena sekolah berhasil
mendorong orangtua agar aktif membantu anak-anaknya dalam belajar. Dorongan seperti itu akan mudah dilakukan,
ketika orangtua sadar akan pentingnya pendidikan bermutu. Itulah mengapa, walaupun studinya menunjukkan
pengaruh orangtua terhadap hasil belajar anaknya hanya 7%, John Hattie (2008)
tetap menyarankan faktor orangtua mendapat perhatian, karena memiliki pengaruh
tidak langsung melalui penyedian faslitas dan situasi belajar di rumah serta
dukungan terhadap program sekolah.
Di
negara maju dimana diterapkan sekolah rayon, sekolah yang bermutu bagus
berpengaruh terhadap harga rumah di sekitarnya.
Orangtua akan mendapatkan rumah di dekat sekolah bermutu, agar anaknya
dapat masuk di sekolah tersebut. Mereka
bersedia membayar harga rumah yang lebih mahal demi pendidikan anaknya. Mereka itu juga mudah diajak bekerjasama oleh
sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan anaknya.
Saya
yakin kesadaran masyarakat seperti itu akan terus tumbuh. Jumlah mereka akan terus bertambah dan
tuntutan akan mutu pendidikan juga akan terus naik. Tugas pemerintah adalah menambah jumlah sekolah
yang bermutu dan meningkatkan derajat mutu bagi sekolah yang sudah baik. Jika tidak, masyarakat akan kebingungan untuk
mendapatkan sekolah yang sesuai dengan keinginannya.
Itulah
yang kini menggejala dan ditangkap oleh sekolah di luar negeri. Mereka berusaha masuk dan membuka cabang di
Indonesia dengan berbagai cara, untuk menangkap masyarakat yang termasuk
kategori satu. Karea secara legal hal
itu belum diijinkan oleh undang-undang, mereka menggunakan berbagai atribut,
misalnya Sekolah Plus. Secara resmi disebut sekolah Indonesia, tetapi dalam
prakteknya menerapkan pola pendidikan dan kurikulum sekolah asalnya. Bahkan informasi ke masyarakatpun juga
disebutkan kalau sekolah itu menggunakan kurikulum negara asalnya dengan
bumbu-bumbu yang meyakinkan. Siswa juga
ikut ujian dan menerima ijasah layaknya sekolah di negara asal sekolah
itu. Jika perlu tidak ikut ujian
nasional dan memilih agar siswanya ikut ujian Paket C, toh dengan ijasah Paket
C lulusannya juga boleh mendaftar ke peguruan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar