Empat hari di Yanggon
saya tidak sempat keliling kota, bahkan tidak sempat untuk sekedar mencari
oleh-oleh. Hari pertama saya datang sudah sore sekitar pukul 17 dan sampai di hotel
sudah sekitar pukul 18an. Karena capek saya segera istirahat dan bahkan makan
malampun enggan keluar hotel. Untunglah hotel
tempat saya menginap dikenal sebagai “hotel Muslim” yang menjaring tamu-tamu
asing. Hotel BAH (Business Alliance
Hotel) sebenarnya kecil belantai 4, tetapi letaknya di jalan raya. Lobi dan restorannya menyatu.
Ketika turun ke lantai
1 dan ke restoran saya menemui daftar menu yang menyantumkan nasi goreng. Betul-betul tertulis di daftar itu kata “nasi
goreng” bukan “fried rice”. Saya menduga
banyak tamu orang Melayu (Malaysia, Indonesia, Singapura dan Brunai), sehingga
hotel BAH sengaja memasang kata “nasi goreng” sebagai salah satu daya tarik
bagi tamu Melayu. Ya, akhirnya saya
memesan nasi goreng dengan jasmine tea.
Sekedar untuk mengisi perut agar bisa tidur nenyak.
Hari kedua jadwalnya
penuh. Acara di Seameo Chat sampai jam
16.30 dan sesudah itu diundang makan
malam di restoran House of Memories. Restoran yang bangunannya bekas kantor
presiden Aung San. Konon beliau pejuang
kemerdekaan Miyanmar. Mungkin seperti Soekarno bagi orang Indonesia. Gedungnya tua dari kayu dan dipeliharan baik,
yang tampaknya sengaja digunakan untuk menarik turis asing. Sore itu di ruangan besar restoran ada
sekitar 25 Bule yang makan bersama. Kami
ber-enam mendapatkan tempat di ruangan kecil dan pas bersebelahan dengan bekas
ruang kerja presiden Aung San.
Makanan yang pertama
keluar tampak seperti sesuatu yang digoreng.
Bentuknya cenderung bulat dan berwarna kehijauan. Dr. Myint Myint Ohn yang duduk di sebelah
saya mendorong untuk mencoba dengan berpromosi, itu enak sekali. Saya mencoba dan betul enak, sehingga saya bertanya
dibuat dari apa. Beliau menjelaskan
makanan itu dibuat dari water crest dicacah dan dicampur dengan sedikit tepung
dengan bumbu bawang putih. Segera saya
membuka kamus di HP untuk mencari terjemahan kata crest dalam bahasa
Indonesia. Yang saya temukan crest
artinya jambul. Lha apa yang jambul air
itu?
Terdorong rasa ingin
tahu, saya minta digambarkan seperti apa water crest. Merasa kesulitan, staf Seameo Chat minta
pelayan restoran membawa contoh water crest yang belum dicacah. Dan ternyata water crest itu kangkung. Segera saya foto gorengan daun kangkung dan
saya kirim ke WA Group keluarga. Anak
saya, Lala segera merespon, “nanti kita coba buat setelah ayah sampai
Surabaya”.
Selesai makan, saya
diajak masuk ke bekas ruang kerja Presiden Aung San. Sangat sederhana, dengan meja kayu kecil yang
diataskan terdapat mesin ketik. Tentu
semua tampak kuno, karena perlengkapan kerja di era tahun 1940an dan itupun
dalam situasi perang kemerdekaan. Di
dinding terpasang foto-foto Presiden Aung San bersama tokoh-tokoh dunia,
diantaranya Nehru, perdana menteri India di masa lalu.
Hari ketiga, acara di
Seameo juga sampai jam 17an, sehingga saya juga tidak sempat kemana-mana. Hari ke empat jam 7.45 sudah dijemput untuk
ke bandara dan pulang ke Surabaya.
Akhirnya saya hanya dapat mengamati kota Yangoon selama perjalanan
bandara-hotel dan hotel-kantor Seameo Chat.
Selebihnya hanya merupakan tanya jawab dan cerita beberapa teman Seameo
Chat.
Dari pengamatan
sepintas dan obrolan dengan teman-teman Seameo Chat, saya mendapat kesan
Miyanmar sedang menggeliat mengerjar ketertinggalan. Bandara diperluas, jalan-jalan diperlebar. Yang lebih mengesankan jalannya mulus dan
tampak bersih, termasuk trotoarnya. Saya
sempat berjalan kaki dari hotel ke restoran Thailand untuk makan malam pada
hari ketiga. Kita dapat berjalan nyaman
di trotoar, karena tidak ada kaki lima. Apalagi trotoarnya tertata cukup rapi
dan bersih.
Sepanjang jalan yang
saya lewati antara bandara-hotel-gedung Seameo Chat juga terdapat taman-taman
yang tertata baik dan bersih. Saya tidak
melihat sampah atau bekas bungkus makanan sebagaimana sering kita lihat di Surabaya
atau Jakarta. Ada penjaja koran dan
makanan di perempatan atau di kemacetan, persis di Jakarta dan Surabaya, tetapi
jumlahnya tidak banyak. Juga ada
peminta-minta, tetapi juga tidak banyak.
Jika kondisi kota
seperti itu dan sudah mulai muncul hotel berjejaring internasional seperti
Novotel, Ibis dan sebagainya, dan kata Dr. Myint Myint Ohn investasi asing
masuk dengan deras, saya menduga Miyanmar akan segera melaju dengan cepat. Banyaknya permintaan kursus bahasa Inggris
juga merupakan salah satu indikator.
Demikian pula kemacetan akibatnya banyaknya mobil.
Rasa percaya diri
orang Miyanmar juga tampak tinggi.
Mungkin mirip dengan orang Vietnam.
Kesan itu muncul ketika saya mengamati presentasi hasil penelitian tiga
dosen pada hari ketiga sore. Tampaknya
Dr. Myint Myint Ohn sengaja memanfaatkan tamunya untuk mereview hasil
penelitian dosen. Kesan saya, penelitian
ketika dosen muda itu masih “mentah” dan kualitasnya masih di bawah teman-teman
kita. Namun ketiganya dengan percaya diri menyampaikan di depan publik.
Penelitian ketiga yang
dipresentasikan tentang Indonesia, dengan judul Democracy Transition in
Indonesia from 1945 to 1999. Saya agak
kaget dan dalam hati mengatakan orang itu agak “bonek” karena berani melakukan
penelitian seperti itu hanya berdasar buku-buku dan bukan dari sumber data
primer. Apalagi yang bersangkutan tidak
dapat berbahasa Indonesia. Sekali lagi
dari perpekstif positif, orang Miyanmar punya rasa percaya diri tinggi dan setengahnya
nekat. Mungkin itu diperlukan untuk
mempercepat kemajuan Miyanmar yang relatif tertinggal dibanding negara lain di
Asean.
Saya juga terkesan
dengan sopir yang melayani kami selama di Yangoon. Sayang saya lupa tidak bertanya siapa
namanya. “Walaupun” sopir tetapi dapat
berbahasa Inggris cukup baik. Orangnya
juga sangat percaya diri, sehingga selalu mengajak ngobrol dan sekaligus
bertindak sebagai guide dengan menunjukkan ini dan itu selama perjalanan. Beliau juga dapat menjelaskan danau yang
cantik itu disebut Victoria Lake di era penjajahan Inggris dulu, tetapi sekarang
disebut danau............ (maaf saya lupa) karena memang itu nama aslinya dalam
bahasa Miyanmar. Beliau juga menunjukkan
rumah seorang konglomerat yang katanya kekayaannya tidak terhitung. Katanya orangnya sombong dan tidak mau
menyumbang ke masyarakat. Dia lebih
senang menggunakan uangnya untuk mengundang Tiger Wood untuk sekedar bermain
golf dengan yang uang saku sangat besar, dari pada mendonasikan untuk
masyarakat Miyanmar. Saya tidak tahu
kebenaran cerita itu, tetapi yang jelas Pak Sopir Seameo Chat itu percaya diri,
berpengetahuan cukup luas dan pandai berbahasa Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar