Jumat, 31 Juli 2015

BELAJAR DARI KEGAGALAN P4



Tekat Kemdibud untuk menyemai lahan subur budi pekerti luhur (Jawa Pos, 26 Juli 2015) harus diapresiasi, karena sebagaimana kita ketahui bersama problema serius bangsa ini sebenarnya bersumber dari rusaknya akhlak atau budi pekerti atau karakter.  Namun demikian, peringatan Muhammad Zuhdi, jangan sampai program bagus tersebut mengalami kegagalan seperti P4 di era Orde Baru juga harus mendapat perhatian serius.  Saya termasuk orang yang beruntung, karena sebagai dosen muda saat itu sempat ikut penataran P4 dan bahkan menjadi penatar bagi mahasiswa baru di kampus.  Oleh karena itu saya ingin berbagi pendapat mengapa penataran P4 yang diberlakukan secara masif bagi siswa baru, mahasiswa baru dan PNS baru tersebut gagal.
 Dilihat dari konsep, struktur penataran dan biaya penyelanggaraan, penataran P4 cukup bagus.  Jika dicermati 37 butir P4 yang saat itu harus dihafal dan difahami oleh peserta penataran merupakan jabaran yang komprehensif dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.  Penataran P4 yang disertai dengan diskusi dan bahkan penyusunan makalah juga merupakan pola penataran yang bagus.  Para penatar juga diambilkan dari tokoh masyarakat.  Untuk dapat menjadi manggala, sebutan penatar P4, seseorang harus lulus pelatihan khusus dengan skor nilai tertentu.  Apalagi penataran P4 ditopang oleh kemaupuan politik pemerintah yang sangat kuat.
Lantas mengapa penataran P4 gagal?   Menuut saya, karena tidak adanya contoh nyata bagaimana penerapan P4 dalam kehidupan sehari-hari.  Para tokoh di pemerintahan maupun di masyarakat tidak dapat menjadi teladan penerapan butir-butir P4.  Televisi juga sering menayangkan perilaku tokoh yang tidak menggambarkan penerapan buit-butir P4.  Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, para manggala juga bukan merupakan teladan yang baik.  Tidak sedikit peserta penataran yang bergunjing: “walah ngomong doang”.  “Kelakuannya sendiri begitu, kok sekarang menceramahi macam-macam”.
Kalau kita mengacu kepada penjelasan Lickona dalam bukunya yang fenomenal Educating for Character (1992), penataran P4 hanya sampai pada moral knowing dan tidak sampai pada moral feeling apalagi moral action.  Peserta penataran faham dan hafal 37 butir P4, tetapi mereka tidak merasa harus melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.  Mengapa? Karena perilaku masyarakat di tempat mereka tinggal dan bahkan para tokoh yang mereka lihat juga tidak menerapkannya.  Ibarat pengemudi yang suka menggunakan bahu jalan di jalan tol, karena setiap hari mereka melihat banyak orang yang menggunakan bahu jalan.  Bahkan di Jakarta para pejabat tinggi yang dikawal oleh patwal juga sering menggunakan bahu jalan.
Lalu bagaimana strategi penyemaian budi pekerti luhur agar tidak gagal seperti P4?  Bukankah perilaku banyak tokoh juga tidak berbeda dengan era Orde Baru?   Belajar kepada sekolah yang sukses mengembangkan karakter, program penyemaian budi pekerti harus dilakukan melalui pembiasaan (habituasi) yang disambung dengan pembudayaan (pembudayaan) dan disertasi dengan teladan yang baik.   Seperti disarankan oleh Linkona (1992) dan Nucci & Narvaez (2008) sebaiknya program itu difokuskan kepada beberapa aspek budi pekerti sehingga menjadi kebiasaan sehari-hari.  Pembiasaan harus dilakukan secara konsisten dan cukup lama, sehingga menjadi perilaku keseharian di sekolah.
Setelah itu kebiasaan tersebut dicantolkan pada nilai-nilai agama atau tradisi tertentu, sehingga siswa faham mengapa hal itu harus dilakukan.  Dengan demikian apa yang dilakukan tidak hanya karena tradisi, tetapi menjadi budaya baru.   Hal ini untuk menghindari perasaan siswa yang melaksakan kebiasaan itu sebagai keterpaksaan, tetapi sebagai kebutuhan karena merupakan bagian dari nilai-nilai agama atau tradisi yang diyakini kebaikannya.
Lebih dari itu, pimpinan sekolah, guru dan karyawan harus menjadi teladan yang baik bagi penyemaian budi pekerti.  Seperti ceramah Dahlan Iskan  pada acara Wisuda Unesa (2013) karakter itu tidak dapat diajarkan, tetapi harus ditularkan.  Artinya, yang mengajarkan harus terlebih dahulu melakukan dan baru setelah itu mengajarkannya.  Seperti kata-kata bijak, ordinary teacher tells, good teacher shows and great teacher inspires.
Apakah kita punya tokoh yang dapat menjadi inspirasi pengembangan budi pekerti luhur?  Punya dan banyak, hanya sebagian besar belum diketahui orang.  Kita harus beterima kasih kepada Yudi Latif yang melalui buku Mata Air Keteladanan Pancasila dan Perbuatan (2014) berhasil menghimpun sederet orang, baik tokoh maupun orang kebanyakan yang sukses menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupannya.

Tidak ada komentar: