Senin tanggal 26
September 2016, saya ikut diskusi tentang pendidikan vokasi di Balitbang Dikbud
Jakarta. Saya antusian mengikuti, karena
inilah momen yang tepat untuk melakukan “reformasi” pendidikan vokasi di Indonesia. Mumpung pemimpin tertinggi di negara ini,
Presiden Jokowi sedang gandrung dengan pendidikan vokasi. Oleh karena itu, walaupun hari Minggu saya
bertugas di Samarinda, saya memerlukan terbang dari Kaltim ke Jakarta, baru
sorenya pulang ke Surabaya.
Ketika memasuki ruang
rapat, peserta sudah banyak. Tampak
tokoh-tokoh penting, antara lain Dr. Ananta Kusuma-staf ahli Mendikbud, Dr.
Harris Iskandar-Dirjen Paud Dikmas, Ketua BSNP berserta beberapa anggota, wakil
dari BNSP Kemnakertrans, Dr. Hendarman-Kepala Pusat Peneltian Kebijakan
dan beberapa stafnya, Dr. Junus dan Dr.
Bahrun dari Direktorat PMK, Wakil dari Univ Ahmad Dahlan-Yogyakarta yang konon
mendapat tugas khusus dari Mendikbud untuk melakukan kajian Pendididikan
Vokasi. Pada hal saya masuk bersama Dr.
Boediono-mantan Ka Balitbang Dibud dan Prof Zamroni dari UNY serta Dr. Totok
Suprajitno-Ka Balitbang Dikbud saat ini.
Pak Totok mengantar
diskusi dengan menjelaskan bahwa diskusi ini baru pertama dan akan dilakukan
secara periodk untuk menggali gagasan untuk menemukan model pendidikan vokasi
yang cocok di Indonesia. Jadi diskusi lebih merupakan brainstroming dan tidak
dimaksudnya untuk mengambil simpulan.
Setelah itu, Pak Ananta-staf ahli Mendikbud yang ditugasi sebagai Ketua
Pokja Pendidikan Vokasi menyampaikan inti pengarahan Presiden, pengarahan
Mendikbud dan apa-apa yang sudah dikerjakan oleh Pokja. Pak Harris yang mendapat giliran berikutnya
menyampaikan keluhan karena kursus “tidak dianggap” sebagai bagian pendidikan
vokasi. Pada hal, menurut beliau, kursus
memegang peran penting, misalnya kursus bahasa Inggris dan sebagainya. Semua peserta diundang untuk mengajukan
gagasan.
Dalam diskusi semacam
itu, semua peserta harus berpikiran terbuka, mengurangi ego sektoral dan
berpikir ke depan. Pengalaman
menunjukkan ketika kita ingin melakukan perubahan, banyak orang yang tidak
ingin berubah, banyak orang yang “merasa apa yang selama ini dilakukan itulah
yang benar”, banyak orang yang tidak ingin “rumahnya” dikotak-katik, apalagi
“dimasuki” orang lain. Sebelum “ketertutupan”
seperti itu dapat diatasi akan sulit untuk melakukan perubahan.
Saya sangat gembira
karena dugaan saya tersebut salah.
Memang masih terasa banyak peserta yang defensif dengan mengatakan sudah
melakukan ini-itu, sudah mencapai ini-itu serta dengan bangga memiliki banyak
capaian, namun hampir semua terbuka untuk melakukan perubahan. Hampir semua peserta merasa bahwa
perkembangan iptek telah bergitu masif, sehingga semua harus berubah termasuk
pendidikan vokasi.
Gagasan “warung
padang” dalam pendidikan vokasi ternyata direspons cukup baik oleh
peserta. Maksud saya, ke depan dunia
kerja itu seperti penggemar warung padang, yang masuk warung dengan keinginan
sangat bervariasi. Ada yang ingin
disajikan lauk lengkap, namun juga banyak yang datang ingin makan dengan lauk
tertentu saja. Dalam konteks
masak-memasak (tata boga), mungkin ada orang yang ingin belajar memasak semua
jenis masakan. Namun mungkin juga ada
yang hanya ingin memasak masakan jenis tertentu, karena hanya itu yang
diperlukan dunia kerja yang akan dimasuki.
Memaksa orang seperti itu belajar memasak seluruh jenis masakan akan
merupakan pemborosan uang dan umur siswa.
Karena peserta tampak
terbuka dengan gagasan yang berbeda dengan yang selama ini kita lakukan dan Pak
Totok menambahi, jika memang apa yang ingin kita lakukan tidak sesuai dengan
undang-undang, justru undang-undangnya yang kita ubah. Mumpung, kita sedang ingin menyempurbakan
Undang-undang Sisdiknas. Oleh karena itu
semua peserta “harus keluar dari cangkang”, artinya saat diskusi seperti ini
kita keluar dari “rumah/tupoksi” masing-masing agar dapat melihat masalah degan
lebih jernih dan tidak bias oleh kepentingan diri atau lebih kebih kepentingan
eksistensi lembaga tempat kerja. Ada
metapora “jangan bertanya tentang air kepada ikan”. Karena selama ini ikan berada di dalam air,
ikan menganggap semua yang seperti itu.
Agar dapat melihat air dengan jernih, ikan harus keluar dari air.
Seperti disampaikan
Pak Totok diskusi tidak akan mengambil simpulan. Namun disepakati perlunya dua hal. Pertama, perlunya grand design pendidikan vokasi
yang dibuat secara utuh, lintas lembaga yang cocok untuk menatap masa
depan. Bagian ini yang lebih tepat
menjadi tugas Balitbang Dikbud. Kedua,
perlu juga program yang sifatnya quich yield (segera tampak hasilnya) dan ini
lebih cocok dikerjakan oleh Pokja yang diketuai oleh Pak Ananta. Tentu keduanya dapat saling menjadi
masukan. Prinsip “keluar cangkang” harus
tetap dipegang, apalagi saat menyusun grand designnya. Semoga.