Sebenarnya saya sudah
jenuh mengurusi sertifikasi guru. Awal
tahun 2006 saya sudah ditunjuk Prof Sukamto, waktu itu Direktur di Dikti yang
mengurusi LPTK (saya sudah lupa nama direktoratnya), untuk mengetuai sebuah tim
yang bertugas menyiapkan konsep sertifikasi guru. Saya sudah lupa berapa anggota tim, yang
pasti sangat besar.
Pada awalnya,
sertifikasi guru diwujudkan dalam bentuk tes.
Namanya saja sertifikasi dan hasilnya pemberian sertifikat bagi yang
lulus. Oleh karena itu disiapkan sebuah
tes tulis yang dilanjutkan dengan tes kinerja bagi yang lulus. Penyusunan tes itulah yang melibatkan sangat
banyak orang. Seingat saya tiga orang
untuk setiap matapelajaran. Bahkan untuk
tes kinerja disiapkan oleh lima orang.
Tes tulis maupun tes kinerja sudah diujicoba dan tes tulis dikemas dalam
bentuk bateri tes.
Saya kedodoran dalam
memimpi tim, karena kemudian terpilih sebagai Pembantu Rektor IV Unesa. Beruntung, Prof Haris Supratno tidak
keberatan saya tetap memimpin tim nasional sertifikasi guru,yang hampir dua
minggu sekali harus rapat. Juga
beruntung Kasubdit yang menangani operasional tim itu, Drs. Siswanto Hadi,Msi.
mengijinkan sering-sering rapat tim dilakukan di Surabaya.
Tidak tahu apa
alasannya, kemudian saya ditunjuk Mendikbud untuk menggantikan Prof Sukamto dan
nama direktoratnya diubah menjadi Direktorat Ketenagaan. Oleh karena itu ketua tim diserahkan (kalau
tidak salah) kepada Prof. Mukadis dari Universitas Negeri Malang. Beliaulah yang mengomandasi tim sampai semua
perangkat tes untuk sertifikasi guru siap digunakan. Namun demikian tetap saja, sebagai Direktur
Ketenagaan saya yang harus bertanggung jawab pelaksanaan sertifikasi guru
secara nasional.
Pola sertifikasi guru
yang berbentuk tes ternyata ditolak oleh DPR dengan berbagai alasan. Seingat saya alasan yang menonjol, DPR khawatir
banyak guru yang tidak lulus. Pada hal
menurut DPR aspek utama sertifikasi adalah meningkatkan penghasilan guru,
melalui pemberian tunjangan profesi bagi guru yang sudah memiliki
sertifikat. Terjadilah perdebatan dan
tarik-menarik bagaimana bentuk sertifikasi guru. Di satu sisi harus ada tes untuk membuktikan
bahwa guru yang menerima sertifikat telah memenuhi kompetensi yang ditentukan,
di lain pihak harus ada upaya untuk membuat guru lulus tes tersebut. Akhirnya dicapai kesepakatan melaui
portofolio dan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) bagi mereka yang
tidak lulus portofolio.
Pola portofolio
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada guru-guru berprestasi dan atau guru
berpendidikan S2/S3 dan atau guru berpengalaman dapat lulus sertfikasi tanpa
mengikuti PLPG. Seingat saya waktu itu
digunakan analogi sopir bis. Sopir bis yang
sudah bertahun-tahun mengemudikan bis dan bagus, apa harus ikut pelatihan untuk
mendapatkan SIM. Bukankah portofolio merupakan bukti kinerja dalam waktu
panjang. Karena itu kesepakatan dengan
DPR, maka tim sertifikasi guru yang dipimpin Pak Mukadis terpaksa “melupakan
tes yang dikerjakan sangat lama” dan menyusun pola baru yang disebut portofolio
dan PLPG.
Pola itulah yang mulai
tahun 2007 sampai dengan tahun 2015.
Ketika Juni 2010 saya berhenti menjadi Direktur Ketenagaan dan menjadi
Rektor Unesa, saya agak “lepas” dari urusan sertifikasi guru secara nasional. Namun saya tetap mengikuti dari jauh, sebagai
tanggung jawab moral sebagai orang yang memulai.
Menurut saya ada
beberapa masalah yang ruwet di sertifikasi guru. Pertama,
untuk dapat ikut sertifikasi, guru harus berpendidikan S1 atau D4. Pada PP tentang guru, syarat itu sudah
diperlunak dengan sebuah afirmasi, guru boleh ikut sertifikasi tanpa harus
S1/D4 asalkan sudah bekerja selama sekian tahun. tahun dan golongannya sudah mencapai
level tertentu. Namun tetap saja banyak
guru yang tidak dapat ikut, karena golongan belum memenuhi syarat dan karena
berbagai kendala sulit mengikuti S1/D4.
Masa afirmasi itu sudah lewat, sehingga sejak tahun 2015 semua peserta
sertifikasi sudah harus berpendidikan S1/D4.
Kedua, kuota sertifikasi guru terkait dengan kemampuan anggaran negara. Bukan anggaran untuk melaksanakan PLPG,
tetapi anggaran untuk memberikan tunjangan profesi. Sebagaimana diketahui, begitu memiliki
sertifikasi guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali
gaji. Dapat dibayangkan jika pada tahun
X sertifikasi diikuti oleh 100.000 orang dan gaji rata-rata mereka sebesar 2,5
juta, maka pada tahun X+1 harus disediakan anggaran untuk tunjangan profesi
sebesar 100.000 x 12 x 2,5 juta atau 3,75 trilyun rupiah. Itulah sebabnya kuota sertifikasi selalu
dikendalikan, sesuai dengan kemampuan angaran negara. Konon pada akhir 2015 jumlah guru yang
bersertifikat sebanyak 1,3 juta sehingga anggaran per tahun untuk tunjangan profesi
kira-kira 1.300.000 x 12 x 3,5 juta atau 54,6 trilyun rupiah.
Ketiga, setiap tahun terjadi “tarik-menarik” tentang kelulusan
sertifikasi. Di satu sisi ingin
diterapkan standar yang ketat, agar guru yang memegang sertifikat benar-benar
profesiona, di lain pihak kita menyadari mutu guru kita memang kurang baik,
karena di masa lalu tidak banyak anak pandai mau menjadi guru. Akhirnya, seringkali standat kelulusan
diturunkan dengan argumentasi “kemanusiaan”.
Oleh karena itu tidak heran jika tidak ada perubahan kinerja guru antara
sebelum dan sesudah bersertifikat dan mendapat tunjangan profesi. Ibarat mobil, memang cc-nya kecil, walaupun
diberi bahan bakar pertamax plus kenaikkan kecepatan tidak signifikan.
Ke empat, dan ini yang paling serius sampai akhir tahun 2015 masih ada sekitar
500.000 guru yang belum ikut sertifikasi, walaupun mereka sudah menjadi guru
sebelum UU 14/2005 terbit. Pada hal
menurut UU 14/2005, mereka itu sudah harus S1/D4 dan memiliki sertifikat dalam
waktu 10 tahun. Jadi menurut UU 14/2015,
guru semacan itu tidak boleh lagi mengajar sejak awal tahu 2016. Celakanya guru seperti itu kebanyakan
bertugas di pedesaan atau bahkan daerah 3 T, yang gurunya sangat terbatas. Jika mereka tidak boleh mengajar tentu
kekurangan guru di daerah itu akan semakin parah. Belum lagi, belum ikutnya mereka juga bukan
semata-mata kesalahan pribadi. Mungkin
saja ada guru yang belum S1/D4, karena memang tidak memungkinkan menempuh itu
di tempat bertugas. Atau juga karena
kuota sertifikasi yang dibatasi, sehingga mereka belum dapat antrean.
Problem inilah yang
saat ini bagaiman jalan tak berujung.
Jika ketentuan itu tidak dilanjutkan pemerintah dapat dianggap melanggar
UU. Namun jika dilakukan akan banyak
sekolah, khususnya di daerah 3T yang kekurangan guru. Pada hal, UU 14/2005 juga mengamanatkan
pemerintah (pusat), propinsi, kabupaten/kota dan yayasan wajib memastikan agar
sekolah memiliki guru dalam jumlah, kualifikasi dan kompetensi yang baik. Jadi mirip dengan buah simalakama.
Belum lagi ketika
dicermati guru yang belum S1/D4 dan tinggal di daerah 3 T itu tidak mudah untuk
menempuh S1. Tentu tidak ada LPTK di
lokasi semacam itu. Seringkali tidak ada
listrik, tidak ada toko buku dan tentu tidak ada sinyal. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya menempuh
S1/D4 dengan kondisi seperti itu. Pada
hal tanpa ijasah S1/D4 tentu mereka tidak dapat ikut sertifikasi guru. Pada hal mereka itulah “pejuang pendidikan”
karena rela mengabdikan diri diaerah yang tidak banyak orang mau melakukan.
Ada gagasan untuk
menerbitkan Perpu untuk membatalkan pasal yang mengatakan bahwa dalam 10 tahun
guru harus memiliki ijasah S1/D4 dan sertifikat pendidik. Bahkan membatalakan
pasal yang mengatakan untuk ikut sertifikasi guru harus berpendidikan S1/D4.
Namun juga ada yang mempertanyakan apa alasan mendesak sampai menerbitkan
Perpu. Sampai sekarang, diskusi itu
terus berlanjut tanpa keputusan. Jadi tetap menggantung.
Repotnya, justru
ketika ada masalah tak berujung itu dan saya sudah selesai menjadi rektor, sejak
awal 2016 saya diminta lagi ikut dalam tim sertifikasi guru. Mau menolak tidak enak, karena yang sekarang
menangani operasional sertifikasi guru persis sama dengan yang memulainya pada
tahun 2007, walaupun posisi mereka naik.
Pak Nurzaman yang dahulu menjadi eselon II sekarang menjadi sekretaris
dirjen guru dan Mbak Santi yang dahulu eselon IV sekarang menjadi eselon III.
Problem bertambah
lagi, karena Ditjen Dikti sekarang lepas dari Kemdikbud dan bergabung degan
Kemenristek menjadi Kemenristek-Dikti.
LPTK yang menurut UU berhak melaksanakan sertifikasi guru berada di
bawah Kemenristek-Dikti, sementara Ditjen yang mengatur sertifikasi guru
(Ditjen GTK) berada di bawah Kemendikbud.
Walapun tampaknya sederhana dan orang-orangnya sudah saling akrap, pemisahan
tersebut membuat koordinasi lebih sulit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar