Sebenarnya sudah lama
saya mendengar istilah duren ucok.
Seingat saya, setiap ke Medan atau akan ke Medan, beberapa teman selalu
bilang jangan lupa duren ucok. Bahkan
ketika beberapa minggu lalu, Prof Syawal Gultom, rektor Unimed, datang ke Surabaya
dan kami ajak makan di restoran Bu Rudi dan si empunya restoran itu menemui
kami, beliau juga menyebut duren ucok.
Sepertinya duren ucok sudah menjadi trade mark kota Medan, seperti rujak
cinggur menjadi trade mark kota Surabaya.
Oleh karena itu ketika
baru-baru ini ada acara ke Medan dan Pak Syawal menawari ke duren ucok,
langsung saja saya mengiyakan. Jadilah,
setelah makan malam di restoran sea food Beringin kami rame-rame ke duren
ucok. Kebetulan saya satu mobil dengan
Pak Sofyan-Kepala LPMP Medan, Pak Pranata-Dirjen GTK, dan Pak Hamid-guru besar
UPI. Ketika mendekati lokasi, Pak Sofyan
bercerita bagaimana awalnya duren ucok.
Saat itu, saya baru
tahu kalau “ucok” bukanlah jenis duren seperti yang selama ini saya duga. Ternyata “ucok” itu nama orang-si pemilik
toko/restoran penjual duren itu. Pak Sofyan bercerita, pada awalnya Pak Ucok
adalah penjual duren di pinggir jalan, tetapi memiliki keahlian memilih duren
yang bagus. Hanya duren yang bagus yang dijual, sehingga laris karena ada
jaminan kalau membeli duren ke Pak Ucok pastilah bagus.
Ketika mulai
berkembang Pak Ucok membeli rumah yang konon banyak hantunya dan tidak laku
dijual. Lebih berkembang lagi, Pak Ucok memberi sederet ruko yang lokasinya
tepat di depan “rumah hantu” itu. Saya hitung setara dengan lima ruko yang
konon dibeli Pak Ucok seharga 5 milyar rupiah.
Kami datang pas
hujan. Pak Ucok sudah menyiapkan petugas
pembawa payung untuk menjemput pengunjung yang turun dari mobil. Ternyata di
depan ruko dipasang tenda besar sebagai perluasan dan disitulah pada umumnya
pembeli makan duren. Toko aslinya,
bagian dalam dimanfaatkan, untuk pembeli yang ingin ruangan ber-AC dan sebagian
untuk jualan macam-macam. Jadi sekarang
“duren ucok” tidak hanya melayani orang yang ingin makan duren, tetapi juga
restoran, toko pakaian dan sebagainya.
Pak Syawal menjanjikan
kami untuk bertemu dengan Pak Ucok dan kesampaian. Bahkan kami sempat berfoto dan berdialog
pendek. Orangnya berkulit sawo matang,
sedikit pendek dan sangat ramah. Saat
itu beliau mengenakan baju warna oranye dan tangan kirinya memakai sarung
tangan. Tampaknya iu digunakan untuk memegang duren.
Dari dialog pendek,
mengamati gerak-geriknya dan informasi yang saya terima dari Pak Sofyan maupun
Pak Syawal, saya menyimpulkan ada beberapa yang menarik untuk dijadikan
pelajaran. Pertama, Pak Ucok memiliki
keahlian khusus dalam memilih duren dan terus mengasah keahliannya itu. Pak
Syawal maupun Pak Sofyan bercerita ketika datang truk membawa duren, Pak Ucok
langsung dapat mengatakan mana yang diturunkan-maksudnya ok, dan mana yang
tidak diturunkan-maksudnya ditolak. Beberapa
anak buahnya akan yang meniru tetapi belum seahli Pak Ucok. Keahlian itulah yang konon dipelajari
bertahun-tahun sejak jualan di tepi jalan dan terus diasahnya sampai
sekarang. Oleh karena itu, walaupun
sudah menjadi orang kaya, Pak Ucok tetap saja menjalankan perannya memilih
duren yang baik. Sarung tangan yang dipakai di tangan kiri itulah salah satu
tandanya.
Kedua, Pak Ucok pandai berinovasi dalam dagang duren. Di samping melayani orang yang ingin makan
duren di tempat, Pak Ucok juga melayani orang yang ingin membawa pulan
duren. Tidak hanya berupa duren “glundungan-utuh”,
tetapi sudah dimasukkan dalam taper ware dan dimasukkan lagi ke dalam kota yang
memungkinkan dibawa dalam pesawat.
Beberapa teman di rombongan kami juga memberi duren kotakan itu. Sudah ada tarip sesuai dengan ukuran
kotaknya.
Ketiga, Pak Ucok selalu menjaga mutu duren. Tentu ketika duren dibuka, tidak
semua baik. Nah yang kurang baik, tidak disajikan pada pembeli yang ingin makan
di tempat dan juga tidak dimasukkan dalam kotak duren untuk dikirim. Bagaimana yang tersortir? Dibuang?
Ternyata tidak, tetapi dijadikan lempok.
Di pingir tenda, saya melihat petugas yang memecahi duren untuk
dimasukkan ke dalam kotak. Hanya yang
baik yang dimasukkan, sedangkan yang kurang baik ditampung di ember besar untuk
nanti diolah menjadi lempok.
Ke-empat, Pak Ucok sepertinya sudah menerapkan psikologi marketing yang
canggih. Dia tampak berusaha akarb
dengan pembeli. Dia berkeliling sambil
menyapa pembeli. Ketika rombongan kami
ingin berfoto dilayani dengan baik. Bahkan sambil menunjukkan gaya yang lucu.
Semoga banyak
Ucok-Ucok baru, tidak hanya untuk duren tetapi juga untuk produk lokal
lainnya. Tidak hanya di Medan tetapi
juga di kota-kota lainnya. Prinsipnya
banyak orang yang mampu mempopulerkan produk lokal kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar