Pagi ini sekitar jam
7.50 saya naik taksi dari Bandara Soekarno Hatta ke Hotel Menara Peninsula di
daerah Slipi Jakarta. Biasanya saya naik
Uber, tetapi entah karena apa pagi ini saya ingin naik taksi. Oleh karena itu,
begitu keluar dari gedung bandara saya langsung menuju lokasi taksi. Agak berbeda seperti biasanya, hari ini taksi
antre dalam satu jalur tanpa membedakan persusahaan taksinya. Jadi penumpang
yang terdepan mendapat taksi yang antrenya paling depan. Saya mendapat taksi ekspres dengan sopir agak
tua benama Pak Sukamto.
Sambil berjalan, saya
mencoba mengamati Pak Sopir dari belakang.
Rambutnya sudah memutih, lebih banyak yang putih dibanding yang
hitam. Dugaan saya beliau bersia 60
tahunan. Saya bertanya, sudah berapa lama
membawa taksi expres, dijawab sudah 8 tahun.
Saya menanggapi dengan setengah bertanya, berarti sudah pernah
mendapatkan pembagian mobil bekas taksi.
Dijawab, sudah dan sudah dijual laku 50 juta.
Suara Pak Kamto cukup
jelas, tetapi agak pelan. Rambutnya yang memutih tampak acak-acaknya, sehingga
saya menduga sudah membawa taksi mulai semalam.
Saya tidak berani bertanya, kapan keluar pool. Toh cara mengemudi bagus
dan tidak tampak kalau beliau ngantuk. Saya mengajak ngobrol terus agar beliau
tidak mengantuk. Karena sampai Grogol lalu lintas lancar, taksi dapat melaju
dengan kecepatan sekitar 80 km/jam.
Menjelas fly over Slipi, seperti biasa lalu
lintas tersendat. Bahkan sesudah taksi
keluar dari jalan tol, lalu lintas cenderung sangat padat. Pak sopir dengan susah payah pindah jalur
dari kanan ke kiri. Beruntung Pak Kamto
sabar, sehingga tidak memotong-motong mobil lain. Namun tentu akibatnya taksi berjalan sangat
lambat, bahkan beberapa kali berhenti.
Menjelang perempatan
Slipi taksi berhenti beberapa kali karena lampu lalu lintas menyala merah. Saya melihat di depan taksi ekspres yang saya
naiki ada mobil mewah berwarna merah menyala.
Pintunya hanya dua, yang menunjukkan itu mobil sport. Walaupun saya tidak ingin menyebut merknya,
dugaan saya jumlah mobil seperti itu dapat dihitung dengan jari di
Jakarta. Mengapa? Karena konon harganya
selangit, sehingga hanya mereka yang superkaya yang dapat membelinya.
Nah, ketika lalu
lintas berhenti karena lampu merah tampak beberapa orang pengasong yang
menawarkan minuman atau makanan kecil sejenis tahu dan kacang. Dengan memanggul
dagangan mereka berjalan di sela-sela mobil yang berhenti. Pas ketika pedagang asongan yang memanggul
kacang, tahu dan makanan kecil lainnya berada di samping mobil mewah di depan
taksi yang saya naiki, pikiran saya mendadak tersentak. Pedagang asongan berkaos lusuh, bersandal
jepit, sedang memanggul dagangan sambil menghiba menawarkan dagangannya. Sementara di sebelahnya, ada mobil mewah yang
tentu yang naik adalah orang yang superkaya.
Memang saya tidak dapat melihat, siapa dan seperti apa pakaian si
pengendara mobil mewah itu, tetapi tentu saya menduga beliau berpakaian
perlente, memakai arloji berharga ratusan juga dan mungkin saja memakai minyak
wangi yang juga jutaan harganya.
Sambil melirik Pak
Kamto yang bolak-balik menghela napas panjang, saya juga ikut menghela napas
panjang. Saya tidak tahu mengapa Pak Kamto
menghela napas panjang. Kalau saya
menghela napas panjang karena menyaksikan sesuatu yang sangat kontas di depan
mata saya. Sama-sama warga bangsa ini,
yang satu berpakaian lusuh, mengais rejeki dengan memanggul minuman di
sela-sela mobil di jalan raya, sementara di sebelahnya melenggang mobil mewah
yang harganya entah berapa kali harga dagangan yang dipanggung di padagang
asongan.
Apakah memang harus
begitu ya? Bahwa si super mungkin sudah
bekerja keras dan atau cerdik pandai sehingga kaya saya dapat mengerti. Bahwa si pengasong mungkin tidak punya
keahlian dan berasal dari keluarga kurang mampu sehingga miskin, saya juga
faham. Namun, bukankah kerelaan
mengasong di jalan raya sudah merupakan dia mau bekerja keras? Mengapa sama-sama bekerja keras, kondisinya
demikian kontras?
Menerungkan itu, saya
jadi teringat cerita tentang lingkaran kemiskinan struktural. Atau mungkin ada lingkaran kekayaan
strutural. Karena orangtuanya miskin,
anaknya tidak sekolah atau sekolah di sekolah yang jelek, sehingga bodoh. Setelah itu bekerja seadanya tanpa modal dan
akhirnya miskin lagi. Sementara anak
orang kaya bersekolah di sekolah yang bagus dan sampai jenjang tinggi, sehingga
menjadi orang pandai. Pandai dan punya
modal, sehingga akhirnya kaya.
Apakah kondisi kontras
semacam itu yang menyebab gini ratio kita jelek? Tentu ada hitungan untuk menemukan gini
ratio, tetapi bukankah contoh kontras di jalanan Slipi itu indikator yang
jelas? Pertanyaannya, apa yang harus kita
lakukan? Bukankah tugas negara untuk mengurangi kesenjangan itu? Jujur saya tidak tahu jawabnya. Saya hanya dapat berdo’a semoga kesenjangan
seperti itu segera hilang, paling tidak segera berkurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar