Saya mendengar
pertamakali istilah discontinuity
dari Dr. Boedino pada awal tahun 1990an, saat itu beliau sebagai Kepala
Balitbang Dikbud. Dalam kamus Bahasa
Inggris-Indonesia susunan John Echols, discontinuity diartikan sebagai keadaan
yang terputus, keadaan yang tidak bersambung. Kalau menggunakan istilah sekarang
mungkin, ketidaksinambungan.
Pada waktu itu beliau
menjelaskan ketidaksinambungan iptek atau konsep karena ada temuan baru yang
memiliki nature dengan teknologi sebelumnya.
Karena beliau ekonom, tentu memberi
contoh dalam bidang ekonomi. Waktu itu
saya mecoba memahami dengan cara menganalogikan contoh yang beliau berikat
dengan bidang saya. Misalnya penemuan
mesin pembakaran dalam (internal
combustion engine) yang kemudian menghilangkan mesin uap. Pompa sentrifugal, yang walaupun fungsinya
sama tetapi sangat berbeda dan menggusur pompa plunyer.
Akhir-akhir ini saya
mengamati discontinuity juga terjadi
pada program pemerintah, instansi, organisasi ketika pergantian pimpinan. Istilah yang sering mucul di lapangan adalah
“ganti pimpinan ganti kebijakan”. Sebenarnya tidak ada yang salah, karena
seiring dengan perjalanan waktu sangat mungkin terjadi perubahan tantangan,
sehingga pemimpin yan baru perlu mengubah kebijakan yang mungkin sudah tidak
sesuai lagi.
Namun yang kadang-kadang
terjadi dan merisaukan adalah perubahan kebijakan itu terasa tanpa dilandasi
kajian yang memadai. Meminjam referensi
pada Policy Analysis, perubahan kebijakan itu tidak dilandasi agenda setting dan policy research yang memadai.
Ada kesan, policy itu muncul dari keinginan pemimpin dan bukan kebutuhan
lapangan. Bahkan terasa, adanya pemimpin
yang kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Robin Sarma yaitu yang “link leadership to legacy”, keinginan
untuk meninggalkan warisan sebagai penciri setelah lengser. Seringkali program belum tuntas ditinggal dan
berpindah ke program baru tanpa adanya kesinambungan.
Dalam referensi tentang
tentang organisasi, memang disebutkan kalau sistem di organisasi sudah mapan,
maka pergantian pemimpin tidak akan mengubah kebijakan secara drastis, sehingga
pemimpin tidak tampak menonjol. Sebaliknya jika sistem di organisasi itu belum
mapan, pergantian pemimpin akan menyebabkan terjadinya perubahan kebijakan yang
menonjol. Dengan bahasa lain, jika
organisasinya mapan, yang menonjol sistemnya bukan pemimpinnya. Sebaliknya jika organisasinya belum mapan,
yang menonjol pemimpinannya dan bukan sistemnya.
Apakah organisasi di
Indonesia banyak yang belum mapan sistemnya?
Itulah pertanyaan yang mengganjal benak saya beberapa hari ini. Bukankah kita sudah merdeka 71 tahun? Bukankah banyak lembaga yang dipimpin para
cerdik cendikia? Bukankah banyak ahli
manajemen organisasi yang kita miliki?
Bukankah para pemimpin di pemerintahan pada umumnya sudah mengikuti
kursus kepemimpinan?
Apakah fenomena
discontinuity hanya terjadi di organisasi kecil? Ternyata tidak. Bahkan di organisasi pemerintahan juga banyak
terjadi. Saya kira munculnya gagasan
untuk menghidupkan lagi GBHN juga tidak terlepas adanya fenomena discontinuity. GHBN dianggap mampu sebagai pengikat,
siapapun pemimpinannya harus menggunakannya dan diharapkan itu merupakan
program jangka panjang yang saling sinambung.
Fenomena discontunity rasanya perlu segera
dicarikan jalan keluar, karena dampaknya cukup serius. Seringkali perkembangan organisasi/lembaga
hanya melngkar-lingkar tanpa banyak bergerak, karena pemimpin yang baru selalu
memuliai hal yang baru dan meninggalkan apa yang telah dimulai oleh pemimpin
sebelumnya. Nah, karena masa jabatan
pemimpin yang pada umumnya tidak lama, semua inovasi atau pogram tidak selesai
dengan tuntas. Jadinya semua menjadi
setengah-setengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar