Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan baru, Prof Muhadjir Effendi ingin merevitalisasi pendidikan vokasi. Konon itu merupakan amanah dari Presiden
Jokowi yang memang memiliki perhatian terhadap pendidikan vokasi sebagai
penyiapan tenaga kerja terampil tingkat menengah. Itu terbukti, ketika beliau melawat ke
Jerman, salah satu oleh-olehnya adalah kerjasama dalam pendidikan vokasi. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk iur
pemikiran terhadap program tersebut.
Sebenarnya istilah
baku dalam UU Sisdiknas untuk vocational education and training (VET) tingkat
menengah itu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan pelatihan kejuruan (Kursus
Keterampilan). Istilah pendidikan vokasi
digunakan untuk post secondary education
(pendidikan atau latihan bagi lulusan sekolah menengah), misalnya politeknik
dan akademi komunitas. Saya menduga,
Presiden tidak tahu penggunaan istilah itu, sehingga walaupun yang ingin
direvitalisasi itu SMK dan Kursus, beliau menggunakan istilah pendidikan
vokasi. Atau mungkin juga yang akan
direvitalisasi tidak hanya SMK dan Kursus Keterampilan tetapi juga politeknik
dan akademi komunitas.
Jujur, saya tidak tahu
sejarah penggunaan istilah itu, karena sejauh yang saya tahu dalam bahasa
Inggris hanya dikenal satu istilah, yaitu VET atau TVET (Technical and
Vocational Education and Training) di Eropa, TAFE (Teachnical and Further
Education) di Australia dan Vocational Training di Amerika Serikat. Oleh karena itu, kita sering bingung saat
harus menterjemahkan SMK dan Kursus Keterampilan ke dalam bahasa Inggris. Ketika ditunjuk sebagai ketua delegasi ke
Korea Selatan 31 Agustus s.d 5 September 2016, saya terpaksa bertanya kepada
Ibu Puji, Kasubdit di Direktorat PSMK, tentang istilah baku Dit PSMK dalam
bahasa Inggris. Ternyata “Directorate of Techninal and Vocational
Education and Training”. Jadi SMK
diterjemahkan menjadi TVET, seperti istilah yang biasa digunakan di Eropa.
Secara konsep,
pendidikan vokasi itu menyiapkan siswa/peserta didik untuk memasuki lapangan
kerja bidang tertentu. Oleh karena itu
kesesuain kompetensi yang dihasilkan (supply)
dan kompetensi yang diperlukan oleh dunia kerja (demand) sangat penting. Tidak hanya jenis, tetapi juga level
(tingkat), jumlah dan kualitas.
Ketidaksesuaian antara supply
dan demand, akan membuat lulusannya
menjadi korban. Mengapa begitu? Lulusan
SMK dan Kurus Keterapilan itu sudah diberi label khusus yang terkait dengan kejuruan/
keterampilannya, sehingga idealnya harus berkerja sesuai dengan bidang kejuruan
itu.
Ada baiknya kita
melakukan tracer kecil-kecilan lulusan SMK.
Misalnya berapa persen lulusan SMK Tata Boga yang berkerja di bidang
yang relevan. Sisanya bekerja di mana
dan mengapa tidak bekerja di bidang yang relevan. Jika sebagian lulusan bekerja
di bidang yang relevan, secara sederhana kita dapat mengatakan pendidikan di
SMK itu efektif. Apalagi jika
penghasilan lulusan yang bekerja di bidang kejuruan yang relevan itu bagus,
sehingga secara pendidikan kejuruan dapat dikatakan efisien. Sebaliknya jika hanya sedikit yang bekerja
yang relevan dan apalagi berarti tidak efektif dan tidak efisien. SMK adalah “sekolah mahal”, sehingga sayang
kalau banyak lulusanya tidak bekerja pada bidang kejuruan yang relevan.
Dalam diskursus
perencanaan pendidikan, pola pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia
menerapkan manpower planning approch, sehingga pertanyaan berikut ini menjadi
pertanyaan dasar yang harus diperoleh jawabannya. Berapa jumlah tenaga kerja
untuk kejuruan itu dan seperti apa kompetensi yang harus dimiliki untuk bekerja
di bidang kejuruan itu? Tanpa jawaban terhadap
pertanyaan, rancangan pendidikan kejuruan sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, kerjasama sinergis antara
dunia kerja dan dunia pendidikan sangat penting. Dan ternyata mudah dilakukan, sehingga
memerlukan kerja keras untuk melakukannya.
Di Indonesia, penyiapan
tenaga kerja terampil tingkat menengah dilakukan oleh SMK, Kursus Keterampilan
di bawah Pendidikan Masyarakat dan Kursus Keterampilan di bawah Kementerian
Tenaga Kerja. Ketiganya perlu dikoordinasikan
dan disinergikan agar memiliki standar kompetesi yang sama dan berbagi peran
agar tidak tumpang tindih.
Belajar dari Korea
Selatan, di sama dibentuk KRIVET (Korea Research Institute for Vocational
Education and Training), sebuah lembaga riset di bawah Kantor Perdana
Menteri. Krivetlah yang merancang
pendidikan dan latihan vokasi di Korea Selatan. SMK dan kurus keterampilan
wajib menggunakan rancangan Krivet sehingga, jumlah, jenis dan kualitas lulusan
pendidikan dan latihan kejuruan standar, sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Terkait dengan
kompetensi yang diperlukan, ada beberapa pengalaman menarik. Sekitar bulan Juni 2016, BSNP (Badan Standar
Nasional Pendidikan) mengundang orang dunia industri (DUDI) untuk memberi
masukan tentang SKL (standar kompetensi lulusan). Hadir 2 orang, yaitu dari Astra mewakili DUDI
bidang rekayasa dan dari Carefour mewakili DUDI bidang bisnis. Pendapat
keduanya sangat menarik dan hampir sama.
Keduanya mengatakan, jika total kompetensi yang diperlukan karyawan itu
100, proporsi sikap kerja 70, keterampilan 30.
Jika karyawan memililiki sikap kerja bagus dan mau belajar, melatihkan
keterampilan tidak perlu lama.
Pendapat tersebut
mirip dengan pendapat HRD sebuah perusahaan besar di Bontang yang mengatakan, ketika
merekrut calon karyawan yang dipentingkan sikap dan kemampuan dasar (kemampuan bernalar). Dengan sikap dan kemampuan yang bagus,
karyawan baru akan diberi pelatihan keterampilan dan itu tidak perlu waktu
lama. Seingat saya, Prof Boediono, waktu itu sebagai Wakil Presiden, pernah berpidato
di UWA-Perth Australia, mengatakan bahwa salah satu kelemahan pendidikan kita
adalag generic skills, yang isinya
sikap dan kemampuan dasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar