TV dan koran
memberitakan kalau toko-toko retail sepi pembeli dan bahkan ada toko retail
besar menutup beberapa outlet-nya. Di
lain pihak, sekarang jual-beli on line sangat marak. Rumah saya seringkali menerima paket,
ternyata itu barang yang dibeli anak-anak saya. Di mana-mana muncul warung kopi
(warkop) yang dipenuhi pengunjung.
Rata-rata warkop memasang spanduk berbunyi “free wifi”. Juga muncul
cafe-cafe yang juga dipenuhi pengunjung yang umumnya anak muda. Di dekat rumah
saya muncul cafe bernama Tanggal Toea yang selalu penuh mengunjung.
Melihat gejala yang
menurut saya agak aneh itu, saya mencoba bertanya kepada anak saya maupun
anak-anak muda lainnya. Saya juga
mencoba “menguping”, maksudnya ikut mendengarkan ketika anak-anak muda itu
bergerombol. Saya juga mencoba membaca
beberapa tulisan tentang fenomena anak muda zaman sekarang. Simpulan saya, tampaknya terjadi perubahan
gaya hidup. Gaya hidup generasi muda sekarang
ternyata berbeda dengan orangtuannya, seperti saya ini.
Bagi orang-orang
seusia saya ke warung atau restoran kalau lapar dan ingin makan. Anak-anak muda
sekarang ini ke warkop, cafe bukan untuk makan atau minum tetapi untuk ketemu
teman. Jika ingin bertemu dengan
teman-teman, orang seusia saya akan mengunjungi ke rumah mereka. Anak-anak sekarang tidak. Mereka tilpun atau wa, janjian bertemu di
warkop atau cafe. Di situ mereka ngobrol
berjam-jam, sambil main gaget. Jadi
tujuan utama ke warkop atau cafe bukan untuk minum atau makan, tetapi untuk
ketemu dan ngobrol dengan teman.
Semula saya agak sulit
memahami. Memang pola seperti itu biasa
bagi orang Barat. Namun mereka tidak
berkunjung ke rumah teman, karena rumah mereka (apartemen mereka) pada umumnya
kecil dan tidak memiliki ruang tamu atau ruang duduk yang memadai untuk
beberapa orang. Oleh karena itu mereka
lebih senang bertemu teman-teman di cafe.
Nah, apakah rumah anak-anak muda sekarang tidak memiliki ruang tamu yang
memadai? Saya kurang tahu. Tetapi itulah
yang saya amati dan dengar dari obrolan mereka.
Apakah betul mal-mal
menjadi sepi akibat anak-anak muda lebih senang berbelanja online? Ternyata tidak. Mereka tetap saja ke mall, tetapi bukan untuk
berbelanja. Mereka ke mal untuk
jalan-jalan dan melihat-lihat barang, tetapi kalau membeli melalui online. Setelah capek jalan-jalan ujung-unjungnya ke
food court. Itulah sebabnya sekarang
hampir semua mall punya food court yang selalu ramai. Beberapa kali saya ke food court untuk
mencari makan, selalu saja kesulitan untuk mendapatkan tempat duduk. Yang menyedihkan, anak-anak muda itu duduk di
food court sangat lama, sehingga beberapa kali saya membatalkan makan di situ
karena terlalu lama menunggu.
Beberapa bulan lalu, anak
bungsu saya yang tinggal di Jakarta tidak punya asisten rumah tangga. Pada hal anaknya baru berumur 2,5 tahun dan
dia sedang hamil. Suaminya selalu
berangkat kerja pagi-pagi dan pulang jam 21an malam. Dia sendiri juga punya kegiatan bisnis di
rumah. Lantas bagaimana dia memasak dan
memberesi rumah? Ternyata, untuk makan
dia dan suaminya pesan lewat “go food” dan hanya memasak untuk anaknya karena
ingin memastikan makanan anaknya bebas bumbu.
Untuk cuci mencuci juga ada yang mengambil pakain kotor da mengembalikan
dalam bentuk sudah seterikaan.
Sudah dua bulan ini
isteri saya tidak mau membawa mobil ke kampusnya. Dia memilih naik grab atau gocar atau
uber. Alasannya lebih simpel, lebih
mudah dan tidak capek. Apa betul begitu? Kalau naik grab dari rumah saya ke kampusnya
di derah Sutorejo, taribnya sekitar 15 ribuan atau sama dengan harga 2,5 liter
premium. Pada hal kalau membawa mobil
sendiri akan menghabiskan 2 literan premium.
Belum kalau kena macet. Toh
perjalanan dia hanya dari rumah ke kampus pergi pulang dan tidak punya urusan
lain.
Saya sering diolok-olok
anak saya kalau membeli sesuatu kemudian membayar dengan usang cash, apalagi
jika di mall atau toko cukup besar. Anak
saya menggoda, ayahnya “kuno” membawa uang cash cukup banyak karena akan
membeli sesuatu. Sarannya bayar saja
dengan kartu ATM atau e-money atau karti credit. Memang mereka seperti itu kalau membayar
sesuatu. Ketika makan bareng di restoran
atau food court saya tidak pernah melihat mereka membayar dengan uang cash
seperti ayahnya.
Kalau saya ikut rapat
dan antar peserta memerlukan file dari teman lain, sekarang tidak ada lagi
menyodorkan flash disk untuk minta file.
Walaupun sedang duduk jejer, file aka dikirim via email. Alasanya aman dari virus dan bisa mengirim
sekaligus untuk beberapa orang. Jika
file besar atau digunakan berkali-kali, file disimpan di web tertentu dan
peserta rapat dapa mengunduh jika memerlukan.
Lebih dari itu, saya diajari anak untuk menyimpan file di cloud atau
dropbox, sehingga setiap saat dimanapun dapat membukanya.
Tampaknya gaya hidup
masyarakat kita sedang berubah. Apakah
itu semua sekedar ikut era digital atau ingin lebih simpel? Apakah itu semua akan membuat pola hidup kita
lebih efisien dan produktif atau justru membuat kita makin malas? Apakah itu semua membuat hidup kita semakin
sehat atau justru mudah sakit karena kurang gerak? Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar