Misi utama sekolah
kejuruan di Indonesia adalah menghasilkan tenaga kerja terampil tingkat
menengah. Tentu saja jenis tenaga kerja
itu harus sesuai dengan kebutuhan DUDI, baik pekerjaan sektor formal, informal
dan bahkan yang berwiraswasta. Jadi
ukuran keberhasilan pendirian sekolah kejuruan seharusnya diukur dari tingkat
kebekerjaan lulusannya. Tidak sekedar
bekerja, tetapi apakah pekerjaan yang ditekuni itu terkait dengan bidang
kejuruan yang dipelajari. Keberhasilan
pendirian SMK sebaiknya tidak dikaitkan dengan banyaknya peminat masuk, APK dan
persentase lulusan yang melanjutkan ke perguruan tinggi.
Jika logika di atas
digunakan maka pendirian SMK dapat dan bahkan seharusnya dikaitkan dengan
potensi unggulan daerah dan arah pengembangan industrinya. Seingat saya, Indonesia pernah menyusun MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) yang dapat menjadi
panduan pengembangan industri di wilayah Indonesia. Dapat juga setiap kabupaten/kota/propinsi
menyusun pengembangan industri di wilayahnya.
Nah, pendirian SMK sebaiknya dikaitkan itu, sehingga terjadi sinergi
antara DUDI dan SMK.
Misalnya di daerah
Papua Selatan akan diarahkan menjadi lumbung pangan untuk wilayah Indonesia
Timur, tentu di daerah itu akan tumbuh industri yang terkait dengan pertanian,
mungkin peternakan dan perikanan. Jika
benar di Maluku Utara akan dijadikan pusat perikanan, tentulah di daerah itu
akan tumbuh industri yang terkait dengan perikanan. Nah, sebaiknya SMK bidang
kejuruan itulah yang dikembangkan di Papua Selatan dan di Maluku Utara. Dengan
demikian, di satu sisi SMK akan mudah mendapatkan partner DUDI untuk
penyelarasan kurikulum dan juga pelaksanaan prakerin. Di lain pihak, DUDI juga akan mudah
mendapatkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang
diharapkan.
Pemikiran tersebut dapat
dikaitkan dengan amanat UU No. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pasal 50 ayat (5) yang
menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan
menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Amanat tersebut sangat cocok sebagai dasar
pengembangan SMK. Disebut
Kabupaten/Kota, karena pada saat UU Sisdiknas terbit, semua sekolah (dari TK
sampai dengan SMA/SMK) dibawah pengelolaan kabupaten/kota. Ketika sekarang pengelolaanya dibawah
propinsi, tentu saja amanat tersebut dapat dimaknasi bahwa pemerintah propinsi
berkuwajiban mengembangkan SMK berbasis keunggulan lokal di setiap kabupaten/kota.
Bagaimana dengan kabupaten/kota dengan banyak keunggulan, seperti
Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan sebagainya?
Tentu dipersilahkan memilih satu, dua atau beberapa bidang kejuruan
sesuai dengan potensi daerah, arah pengembangan industri serta kemampuan
propinsi/kabupaten/kota serta masyarakatnya.
Dapat dilakukan pembagian, siapa yang mengembangkan apa, dengan
melibatkan juga pihak DUDI dan masyarakat pada umumnya.
Apakah dengan demikian propinsi/kabupaten/kota/masyarakat tidak boleh
mengembangkan bidang kejuruan lain di SMK?
Bukankah merupakan hak seseorang untuk belajar tertentu, misalnya anak
Merauke tetapi ingin belajar multimedia yang merupakan unggulan daerah
Yogyakarta. Tentu saja boleh, namun yang
diamanatkan oleh UU Sisdiknas tentunya menjadi prioritas. Ibaratnya itulah yang hukumnya wajib,
sedangkan yang sunah apalagi mudah sebaiknya dilakukan setelah yang wajib
dilakukan. Jika anak Yogyakarta tetapi
ingin belajar perikanan dipersilahkan belajar ke daerah yang mengembangkan
bidang kejuruan itu.
Pola pengembangan itu akan mengarah kepada Commodity Based Vocational
School Development (CBVSD). Artinya
pengembangan SMK didasarkan pada komoditi yang dikembangkan di daerah setempat. SMK tidak merupakan entitas yang terpisah,
tetapi merupakan bagian dari pegembangan wilayah dan komoditas di wilayah
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar