Pas lagi ngobrol
sebelum acara dimulai, beberapa teman mendikusikan informasi bahwa Presiden
Jokowi akan menerbitkan Inpres untuk mencegah para menteri berbeda pendapat
dihadapan publik. Dan memang saya juga
pernah membaca itu di koran, baik yang tercetak maun yang digital. Biasanya saya membaca dan lewat begitu saja,
karena memang sering tidak faham substansinya.
Nah, ketika
mendengarkan obrolan teman-teman itu saya jadi tertarik untuk bisa sedikit
memahami. Apalagi ada seorang teman yang
membandingkan dengan jaman Pak Harto.
Katanya jaman Pak Harto perbedaan pendapat antar menteri tidak pernah
terjadi. Katanya, hanya ada dua menteri
yang biasanya menjadi juru bicara tentang kebijakan pemerintah yaitu Pak
Harmoko sebagai menteri penerangan dan Pak Murdiono sebagai menteri sekretaris
negara. Teman yang lain mengatakan kepemimpinan Pak Harto sangat efektif. Dengan mengutip teori tertentu, teman itu
menjelaskan walaupun Pak Harto bukan ahli ekonomi, tetapi dengan kepemiminan
yang efektif, beliau mampu mengelola (mungkin juga mengendalikan) banyak ekonom
dalam satu pandangan dan langkah.
Apakah perbedaan
pandangan dan ungkapan ke publik seperti itu hanya terjadi di kabinet? Menurut saya tidak. Itu juga terjadi di beberapa organisasi.
Bahkan di beberapa lembaga lebih serius, misalnya antar unit tidak saling koordinasi
sehingga programnya “tabrakan” atau saling tumpang tindih. Kadang-kadang satu dengan yang lain seakan
berlomba mendahului. Hanya saja mungkin
lembaganya kecil, sehingga tidak terungkap ke publik.
Apakah benar kata
teman tadi bahwa fenomena seperti itu akibat kepemimpinan yang kurang
efektif? Mungkin saja. Namun menurut saya ada satu sebab lain yang
tidak kalah penting, yaitu tidak ada grand design (apapun namannya, misalnya
program induk) pengembangan organisasi itu yang memandu setiap unit menyusun
program jabarannya. Akibatnya setiap
unit menyusun program masing-masing, strategi implementasi masing-masing,
sehingga terjadi ovelaping bahkan tabrakan.
Dalam skala besar, mungkin usulan beberapa pakar sebaiknya negara
memiliki GBHN atau bahkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), patut
dipertimbangkan. Tidak usah malu kalau
kita meniru jaman Pak Harto yang memiliki GBHN dan Rencana Pembanguan Jangka
Panjang 25 Tahun.
Namun kalau organisasi
memiliki GBHN atau RPJP, diperlukan keikhlasan setiap pemimpin
mengikutinya. Harus dihindari pemimpin
yang baru melupakan GBHN atau RPJP yang disusun pada masa kepemimpinan
sebelumnya, yang mungkin beda visi.
Harus dipastikan setiap unit dalam organisasi menggunakan BGHN atau RPJP
itu sebagau acuan dalam menyusun programnya.
Dengan begitu fungsi pemimpin puncak adalah mengharmoniskan program dari
setiap unit kerja, baik dalam penyusunan maupun implementasinya. Ibarat orchestra, fungsi pemimpin puncak
adalah sebagai conductor. Ibarat pembagunan
gedung besar, fungsi pemimpin puncak adalah sebagai contruction manager.
Apakah GHBN dan RPJP
tidak dapat diubah atau disempurnakan agar sesuai dengan tuntutan zaman? Tentu saja boleh dan bahkan secara periodik
perlu dilihat dan ditinjau untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman yang sangat
cepat berubah. Namun, perubahan itu harus tetap dalam wujud kesinambungan
dengan yang lama dan bukan menghilangkan atau melupakan yang lama dan
menggantikan dengan yang baru sama sekali.
Ibarat membangun
sebuah gedung atau pabrik yang besar, desain induk atau masten plan harus ada
dahulu. Desain itulah yang kemudian
dibuat desain detailnya yang mungkin nanti setiap bagian dilaksanakan oleh
orang/kontraktor yang berbeda dibawah koordinasi contruction manager. Jika kemudian ada perubahan desain detail
suatu bagian, maka harus dilihat kompatibilitas dengan bagian lain. Mengapa?
Sangat mungkin perubahan desain suatu bagian akan berakibat pada bagian
lain. Nah, harmoniasi antar bagian tetap
harus dijaga dalam melakukan perubahan tersebut.
Apa hubungannya dengan
fenomena yang disebutkan di awal? Saya
tidak punya kapasitas untuk memastikan.
Namun saya ingat perkataan seorang teman. Pak Jokowi itu repot ya. Dengan adanya menteri berasal dari berbagai
partai, sehingga dapat terjadi menteri itu “punya dua pimpinan”, yaitu presiden
dan partainya. Mungkin juga pada suatu
saat ada menteri lebih tunduk kepada kebijakan partainya dibanding dengan
kebijakan presiden. Apalagi Pak Jokowi
bukan pimpinan partai. Apakah itu yang
menjadi sumbernya? Saya tidak tahu. Apakah karena sekarang tidakada GBHN sehingga
masing-masing kementerian membuat programnya masing-masing? Saya juga tidak tahu. Silahkan para pakar yang relevan yang
menjelaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar