Beberapa minggu lalu
saya terlibat dalam diskusi kecil yang tentang syarat untuk jabatan tertentu.
Ceritanya di suatu instansi pemerintah ada jabatan kosong dan menurut Undang-undang
ASN pengisian jabatan level itu harus dilakukan melalui “lelang terbuka”. Artinya harus dilakukan pendafataran secara
terbuka untuk mengisi jabatan tersebut.
Untuk itu diperlukan persyaratan apa saja bagi orang yang akan
mendaftar.
Ternyata diskusinya
sangat menarik, karena peserta diskusi berasal dari latar belakang yang
berbeda-beda. Seorang teman yang berasal
dari TNI menyarankan persayaratan yang rinci dengan diembel-embeli contoh di
TNI. Katanya di TNI sudah ada
persyaratan baku untuk menduduki jabatan tertentu. Persyaratan itu diketahui semua anggota TNI,
sehingga dapat mempersiapkan diri jika ingin menggapai jabatan itu. Beliau
memberi contoh, untuk menjabat “X”, seseorang harus memiliki pangkat minimal “A”,
pendidikan/pelatihan minimal “B” dan seterusnya.
Teman lain yang pernah
menjabat di lingkungan pemerintahan menyarankan, pelamar harus pernah memangku
jabatan satu level dibawah jabatan yang ditawarkan, minimal 2 tahun. Pelamar juga harus pernah mengelola bidang
yang sama dengan yang dilamar minimal 5 tahun.
Pelamar harus berpendidikan minimal S2, sudah mengikuti kursus
kepemimpinan “Y” dan usia maksimal “Z”
tahun. Teman tersebut juga memberikan
contoh, kalau di lingkungan beliau bekerja untuk menjabat eselon tertentu apa
pelatihan yang sesuai. Pada umumnya,
mereka yang potensial untuk dipromosikan akan diikutkan pelatihan tersebut,
sehingga pada saatnya siap dipromosilkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Teman berikutnya
berlatarbelakang swasta mengajukan gagasan yang berbeda. Beliau mengatakan yang penting itu
visinya. Menurut beliau, untuk jabatan
selevel itu keterampilan teknis tidak penting. Yang lebih penting adalah visi
ke depan, kemampuan manajerial dan kemampuan membuat terobosan. Teman dari swasta itu kemudian memberi beberapa
contoh, seorang direktur utama perusahaan bidang “X” kemudian pindah menjadi
direktur utama perusahaan bidang “Y” yang berbeda, dan ternyata sukses. Kemampuan teknis dapat diserahkan kepada
eselon di bawahnya.
Diskusi semakin seru
karena masing-masing teman mengajukan argumentasi, disertai dengan
contoh-contoh di tempat mereka bekerja.
Bahkan teman yang berlatarbelakang TNI menggambarkan bagaimana
kaderisasi di TNI. Beliau menjelaskan
sejak perwira pertama, TNI itu sudah dipetakan: siapa, memiliki potensi apa,
cocoknya menangani apa, kira-kira mencapai jenjang apa, dan untuk itu harus
ikut pendidikan apa serta memiliki pengalaman lapangan apa saja. Konon sejak TNI itu lulus Akademi dan mulai
berkarir pada level perwira pertama (letda-kapten) sudah dapat diprediksi
karier puncaknya, sehingga dukungan dapat diberikan sejak awal.
Mendengarkan diskusi
yang seru itu, saya jadi ingat pengalaman pribadi meniti karier sebagai dosen
yang kebetulan pernah menjabat sebagai birokrat. Jabatan struktural di perguruan tinggi itu
seperti mimpi semalam. Mengapa? Karena
di perguruan tinggi tidak dikenal pelatihan jabatan struktural bagi dosen. Syarat untuk jabatan struktural biasanya
berupa tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan jabatan akademik. Pada hal ketiganya tidak terkait langsung
dengan pengalaman manajerial. Seorang
menjadi lektor, lektor kepala atau profesor didasarkan atas karya tridarma
perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat) dan
bukan karena pengalaman menjabat struktural.
Dapat terjadi seorang menjadi profesional, tanpa pernah menjabat
struktural.
Ketika ada pemilihan
ketua jurusan, dekan, rektor dapat saja terjadi seseorang terpilih menjadi
dekan atau bahkan rektor walaupun sebelumnya tidak pernah menjabat jabatan
struktural. Yang bersangkutan juga belum
pernah mengikuti pelatihan manajemen dan atau kepemimpinan. Jadi karena mendapat suara terbanyak dalam
pemilihan, jadilah seseorang menjadi ketua jurusan, dekan atau bahkan
rektor. Jadi seperti mimpi saja.
Apakah artinya
penyiapan karier tidak terjadi di perguruan tinggi? Ada dan bahkan sangat baik, namun untuk
karier sebagai akademisi yang jenjangnya mulai dari asissten ahli, ke lektor, ke
lektor kepala dan ke profesor. Nah
pelatihan yang dilakukan juga terkait dengan ketiga kegiatan tersebut. Bukan dan bahkan jauh dari hal-hal yang
terkait dengan manajerial dan kepemimpinan. Lantas bagaimana mereka belajar mengelola
jurusan, fakultas dan universitas?
Umumnya mereka belajar dari pengalaman semata atau sebagian melalui
organisasi lain.
Nah karena kemampuan
pejabat struktural juga berpengaruh besar terhadap kemajuan perguruan tinggi,
sudah saatnya dipikirkan bagaimana menyiapkan pejabat tersebut. Mungkin perlu pelatihan manajemen dan
kepemimpinan bagi dosen yang berminat dan atau berpotensi untuk menjabat
struktural. Mungkin juga perlu
penjenjangan misalnya untuk menjadi dekan perlu pengalaman sebagai ketua jurusa
atau sejenisnya. Untuk menjadi rektor
perlu pengalaman menjadi dekan atau sejenisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar