Saya
sudah cukup lama mengenal teman ini. Namanya Abdurrahman Ginting. Saya tidak
ingat kapan pertama kali bertemu, tetapi kira-kira semenjak terlibat di kegitan
SMK. Seingat saya ketika pertama bertemu
beliau sudah sebagai pejabat di P4TK dan menurut informasi sebelumnya di Dit
Pembinaan SMK (saat itu bernama Dit Dikmenjur).
Sekarang sudah beralih menjadi dosen di suatu PTS di Bandung dan sudah
menjadi profesor.
Walaupun sudah lama di
Jawa, ciri khas sebagai orang Tapanuli masih kental. Sebenarnya logat Bataknya sudah tidak terlalu
kental, tetapi kerasnya dalam berbicara masih sangat terasa. Orangnya periang dan banyak sekali punya
jokes yang membuat pertemuan dengan beliau menjadi segar. Yang menarik, walaupun orang Batak Pak Abdor-begitu
beliau biasa dipanggil-sering membuat jokes tentang orang Batak. Ada-ada saja jokesnya.
Akhir-akhir ini saya
sering bekerja bareng beliau, khususnya ketika ada kegiatan yang terkait dengan
guru SMK. Nah beberapa hari lalu, saya
dan Pak Abdor terlibat dalam mereview Standar Kompetensi Guru (SKG) SMK yang
baru, untuk menggantikan SKG tahun 2007. SKG ini sudah lama ditunggu dan bahkan
sebenarnya sudah terlambat, karena kedahuluan terbitnya Standar Pendidikan Guru
(SPG). Pada hal logikanya, SKG lahir
dulu baru disusul dengan SPG. Bukankah
SPG merupakan panduan bagaimana mendidik calon guru agar kompetensinya seperti yang
diminta oleh SKG. Lha, kalau SKG belum
ada lantas apa landasan menyusun SPG?
Tetapi, ya sudahlah. Konon
penyusunan SPG memang berjalan lebih dahulu dibanding penyusunan SKG. Kok bisa begitu? Konon karena penyusunan SPG itu “wilayah Badan
Sandar Nasional Pendidikan (BSNP) bersama Kemenristek Dikti”, sedangkan
penyusunan SKG itu “wilayah BSNP bersama Kemendikbud”. Kemenristek Dikti segera memerlukan SPG untuk
landasan melaksanakan PPG, sehingga tidak dapat menunggu SKG.
Ketika mereview draft
SKG untuk SMK, kami terlibat dalam diskusi yang lucu dan menarik. Sebagaimana
diketahui salah satu hal baru dalam SKG (masih draft) adalah adanya
penjenjangan untuk membedakan kompetensi guru pertama, guru muda, guru madya
dan guru utama. Kira-kira sama dengan
dosen yang memiliki jenjang asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar.
Nah ketika mendiskusikan beda kompetensi setiap jenjang itulah tejadi kelucuan
tetapi sebenarnya serius.
Pada draft yang ada
pada intinya ke-empat jenjang jabatan buru dibedakan sebagai berikut. Guru
pertama “mampu melaksanakan sesuatu”, guru muda “mampu mengevaluasi pelaksanaan
yang dilakukan oleh guru pertama”, guru madya mampu “mengembangkan instrumen
evaluasi yang dilakukan oleh guru muda”, guru utama “mampu membimbing
pengembangan instrumen yang dilakukan oleh guru madya”. Seingat saya, kerangka pikir itu merupakan
kesepakatan pada beberapa kali rapat terdahulu.
Ketika pertemuan
beberapa hali lalu, saya mempertanyakan “kalau rumusan seperti itu berarti
kompetensi bidang keahlian guru tentang materi ajar (dalam UU Guru dan Dosen
disebut kompetensi profesional) tidak meningkat lagi sejak menjadi guru
muda”. Memang orang yang mampu
mengevaluasi pekerjaan orang lain, tentu memiliki kemampuan lebih tinggi
dibanding yang dievaluasi. Jadi kompetensi
profesional guru muda lebih tinggi dibanding guru pertama. Jadi rumusan pada draft itu sudah cocok.
Namun rumusan kemampuan guru madya tidak secara jelas harus lebih tinggi
dibanding guru muda. Mengapa? Karena kemampuan menyusun instrumen evaluasi
itu tidak secara jelas menggambarkan kemampuan tentang bidang keahlian yang
dievaluasi. Yang jelas lebih tinggi
adalah kemampuan tentang “teori/konsep” pengukuran atau pengembangan instrumen.
Ahli menyusun instrumen kinerja membubut tidak otomatis memiliki kemampuan
membubut yang lebih tinggi dari mereka yang tugasnya menggunakan instrumen
itu. Yang pasti yang bersangkutan
memiliki keahlian measurement yang lebih tinggi, tetapi tidak otomatis memiliki
keahlian membubut lebih tinggi.
Mendengar pertanyaan
itu, dengan gaya dan suara khasnya Pak Abdor menjelaskan bahwa “sudah menjadi
kesepakatan bahwa kemampuan bidang studi (dalam bahasa UU Guru disebut
kompetensi profesional) guru pertama, guru muda, guru madya dan guru utama itu
sama. Yang berbeda adalah kemampuan
sebagai guru (mungkin yang dimaksudkan kompetensi pedagogik dalam UU Guru). Ketika saya kejar, “apakah logika itu
betul?”. “Bukankah seharusnya yang meningkat tidak hanya kompetesi pedagogik
tetapi juga kompetensi profesional?”.
Terhadapat pertanyaan
itu, reaksi Pak Abdor sangat lucu.
Sambil berdiri dan tertawa lebar beliau mengatakan “lho itu kan yang
saya tanyakan saat pertemuan dahulu”. Tetapi kan saya dijawab: “Bang sudah
sejak pagi kita sudah membahas itu dan sudah sepakat bahwa sejak pertama
diangkat kemampuan bidang studnya tetap sampai pensiun. Yang bertambah adalah
kompetensi sebagai guru”. Saya kejar
lagi: “Jadi kalau menggunakan terminologi UU Guru dan Dosen yang meningkat
kompetensi pedagogik saja, sedangkan kompetensi profesional tidak?”. “Hahaha dahulu pas saya dibabat oleh Pak
XXXX, tidak ada teman yang membela”.
Perdebatan terus
berlansung dengan riang dan penuh tawa.
Akhirnya kami, Pak Abdor, saya, Pak Sajidan, Pak Dedi dan teman lain
sepakat bahwa sebenarnya kompetensi profesional juga harus meningkat seiring
dengan peningkatan jenjang guru. Pak
Abdor dengan gaya kocaknya memberi contoh, ibarat tukang las pada guru pertama
hanya dapat mengelas begini (dengan tangan ke depan) tetapi ketika menjadi guru
muda, guru madya, guru utama, yang bersangkutan dapat mengelas dengan
begini-begini (Pak Abdor memeragakan mengelas dengan tangannya dibawah kami, di
belakang badan dan sebagainya). “Ya kita
sudah sepakat, namun harus mencari istilah yang dapat menampung keinginan kita”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar