Senin tanggal 20
Nopember 2016 saya mengunjungi sebuah SMK di kota Malang dan sungguh sangat
terkejut. Sekolah itu memiliki Keahlian Kejuruan (dahulu disebut Paket Kejuruan
atau mirip program studi di perguruan tinggi) sebanyak 86 buah. Jumlahnya siswanya hampir 2.800 orang dan menurut
penjelasan Kelapa Sekolah dahulu jumlah siswa pernah mencapai 3.200an orang.
Tertarik dengan
informasi itu, saya mencoba mengamati kondisi sekolah tersebut. Apa lahannya sangat luas? Apakah gurunya sangat banyak? Apakah sarananya sangat bagus? Saya tidak mendapatkan informasi yang jelas
berapa luas lahannya. Namun yang jelas,
gedungnya mepet-mepet, jarak antara gedung dengan pagar juga mepet, ada
lapangan basket dan sepertinya juga digunakan sebagai lapangan futsal, dan itu
diapit oleh ruang kelas, kantor dan bengkel. Saya tidak menemukan laham kosong.
Bahkan karena kekurangan ruangan, konon
banyak bengkel/workshop yang juga digunakan sebagai kelas teori.
Lokasi sekolah itu
memang agak di luar kota, tetapi akan berada di dekat ujung jalan tol
Surabaya-Malang. Kepala Sekolah risau
sekali bagaimana jika jalan tol Surabaya-Malang sudah jadi, sehingga minta
hadap sekolah diubah agar tidak menghadap jalan yang besuk akan sangat ramai.
Ketika saya sarankan memekarnya lahan sekolah, ternyata sekolah tersebut berada
di hook (pojok), sebelah selatan merupakan jalan besar dan sebelah timur jalan
kembar yang nanti menjadi akses ke jalan tol.
Sebelah barat ternyata pasar, sedangkan sebelah utara rumah orang. Jadi praktis sulit untuk memekarkan lahan.
Bagaimana dengan
guru? Jumlah guru hampir 200 orang,
tetapi 80 orang lebih merupakan guru honorer.
Sudah lama sekolah kekurangan guru, khususnya guru produktif sehingga
terpaksa mengangkat guru honorer, walaupun menyedot banyak dana BOS. Kepala sekolah yang April tahun depan
pensiun mengeluh betapa harus pontang-pating membenahi sekolah, walaupun beliau
sangat optimis dapat menangani. Wakil
Kepala Sekolah yang masih muda, juga mengatakan betapa sulitnya mengelola
sekolah dengan murid yang sangat banyak.
Bagaimana dengan
sarana, khusunya workshop? Cukup baik,
dan sekolah memiliki kerjasama dengan DUDI.
Sekolah juga baru saja menerima sumbangan mesin mobil Ertiga dari
Suzuki. Sekolah itu juga memiliki
kerjasama dengan sebuah colege di Malaysia yang membantu siswa untuk
melaksanakan prakerin. Memang masih
tahap awal, sehingga belum tahu bagaimana dampaknya. Sekolah juga menerapkan disiplin, termasuk
rambut siswa pria harus 1-2-3, sehingga pas saya datang ada siswa potong
rambut.
Ternyata jumlah
sekolah yang begitu banyak bukankah rancangan awal. Keadaan itu dimulai ketika Kemdikbud memiliki
program SMK Besar dan ada dua sekolah di Malang yang dipilih untuk melaksanakan
program itu. Program itu ternyata hanya
untuk SMK, tidak untuk SMA maupun SMP.
Kepala sekolah maupun guru juga tidak tahu apa yang menjadi landasan
program tersebut. Karena terpilih yang
harus melaksanakan.
Sambil mendengarkan
penjelasan Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah dan juga diskusi dengan para
guru serta mahasiswa PPG sedang melaksanakan PPL, saya merenung apakah sekolah
besar seperti itu efektif ya? Jujur saya
belum tahu dan tidak berani menjawab.
Referesi yang pernah saya baca, menjelaskan bahwa ada rentang kendali
maksimal oleh kepala sekolah. Yang
pernah saya baca, seorang kepala sekolah itu dapat mengendalikan sekolah maksimal
36 rombel. Lebih dari itu, akan sulit
mengendalikan. Apakah ada pola
“manajemen baru” sehingga seorang kepala sekolah dapat mengendalikan 86 rombel
dengan 2.800 orang siswa. Jujur saya
tidak tahu.
Saya pernah
mengunjungi sebuah “sekolah besar” di Manila sekian tahun lalu. Saya tidak ingat berapa jumlah siswanya. Yang
jelas sangat banyak. Bahkan agar tidak
terlalu ramai saat istirahat, datang dan pulang. Waktu masuk, istirahat dan pulang, setiap
jenjang dibat berbeda dengan selisih 10 menit. Rute perjalanan antar gedung
juga dibuat searah agar tidak kacau.
Namun lahan sekolah itu sangat luas dan punya berbagai fasilitas
olaharga, seperti lapangan sepak bola dan sebagaianya. Taman diantara gedung sekolah juga tampak
luas dan terpelihara baik.
Mengingat dua “sekolah
besar” itu, saya menduga memang ada pola sekolah besar. Namun semestinya diperhitungkan dan dirancang
secara baik berdasar konsep/teori yang dapat dipertanggungjawabkan. Gedung dan berdempetan tentu tidak
sehat. Sekolah yang bising karena jumlah
siswa yang melebihi kapasitas normal dapat menyebabkan situasi pembelajaran
tidak kondusif. Jumlah guru dan siswa
yang besar dapat membuat manajemen sekolah tidak efektif. Jangan sampai
keinginan membuat sekolah besar tidak dibarengi dengan penyiapan
sarana-prasarana serta manajemen yang baik, sehingga sekolah yang semula dengan
ukuran “normal” dan bermutu baik, menjadi turun mutunya ketika “dinaikkan
kelasnya” menjadi sekolah besar.
Apakah sekolah besar
merupakan terobosan untuk meningkatkan daya tampung? Mungkin saja ya. Namun sebaiknya tidak
mengganggu kualitas sekolah. Pendidikan itu sesuatu yang irreversible, tidak
dapat dikembalikan. Sekolah terjadi
tidak dapat dibalikkan Inovasi penting namun harus didasari pemikiran matang,
konsep/teori yang rasional dan bukan coba-coba dan atau sekedar meniru. Lebih dari itu sebuah inovasi sebaiknya
diujicoba lebih dahulu sebelum diterapkan secara luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar