Jum’at 24 Nopember
2017 terjadi banjir pada berbagai daerah di kota Surabaya. Hujan lebat yang turun sejak pukul 10an
sampai sore dibarengi dengan air laut yang sedang pasang, konon menjadi
penyebab terjadinya banjir tersebut.
Akibat banjir, terjadi macet dimana-mana. Rasio Suara Surabaya (SS) menyiarkan laporan
dari banyak pendengar yang mengeluhkan tentang kemacetan. Ada juga yang berkelakar dengan mengatakan
“untung di mobil ada coton bath dan alat potong kuku, sehingga ketika macet
sempat membersihkan telinga dan meotong kuku”.
Saya sendiri kejebak macet dari kampus yang biasanya hanya sekitar 20
menit, 90 menit baru sampai rumah.
Itupun harus “berjuang” menyopir di jalan dengan banjir separuh ban
mobil.
Mengapa terjadi banjir
seperti itu? Tampaknya perlu dikaji secara mendalam. Saya membayangan jika jumlah mobil yang
terjebak macet berjumlah 5.000 buah dan masing-masing terjebak macet selama 90
menit dan rata-rata dalam waktu 90 menit itu menghabiskan premium 5 liter dengan
harga 7.000 rupiah/l, maka kemarin 5.000 x 5 x 7.000 = 175 juta rupiah hilang
hanya dari premium saja. Belum dari yang
lain. Jika semua kerugian akibat banjir
sore kemarin, misalnya adanya barang rusak akibat kerendam air dan sebagainya,
dugaan saya di atas 1 milyar rupiah.
Kita tidak boleh
menyalahkan siapa-siapa dan tulisan ini juga bukan untuk mencari kambing hitam,
tetapi untuk menjadikan banjir kemarin sebagai sebuah pelajaran berharga. Saya ingjn mengambil contoh kecil di kampus Unesa
Ketintang. Ketika hujan terjadi sekitar
2 jam, kampus bagian selatan banjir.
Beberapa teman mengatakan, sangat mungkin petugas lupa mengosongkan
busem sebelum hujan, sehingga busem tidak mampu menampung air hujan. Mungkin juga petugas tidak tahu atau tidak membayangkan
akan terjadi hujan lebat, sehingga tidak mengosongkan busem.
Atisipasi kita
terhadap kejadian seperti itu, termasuk kepekaan kita terhadap kerugian yang
diderita orang lain tampaknya belum baik.
Perbaikan jalan mungkin dapat menjadi contoh sederhana. Seringkali kita menjumpai perbaikan jalan
yang sebenarnya kecil nilainya tetapi menyebabkan macet panjang dan
berhari-hari. Sangat mungkin pemborosan
akibat macet itu sebanding atau bahkan lebih besar sari nilai pekerjaan
perbaikan jalan itu. Namun karena yang
macet orang lain dan kita belum terbiasa berhitung efisiensi kejadian seperti
itu sekan menjadi hal sepele.
Kita juga belum
terbiasa melakukan antisipasi terhadap cuaca.
Walaupun BMKG secara periodik menyiarkan prakiraan cuaca, tetapi tidak
banyak yang memperhatikan. Ketika kita
mau bepergian kita juga belum terbiasa memperhitungan apa yang akan terjadi di
jalan dan apa persiapan kita menghadapi itu. Saya juga termasuk yang tidak melakukan
antisipasi. Saat akan sholat Jum’at saya
kebingunan mencari payung. Pada hal
sudah tahu kalau ini musim hujan dan sudah tahu
ketika mau ke kampus juga sudah hujan gerimis. Toh saya tidak membawa payung di dalam mobil.
Toleransi dan
kepedulian kita terhadap kepentingan umum juga kurang tinggi. Waktu terjebak banjir kita justru berebut dan
saling mendahului, sehingga malah macet.
Di peremapatan jl Ketintang dekat rel kereta api menjadi contoh. Semua ingin dahulu lewat, sehingga justru
mobil dan motor saling “mengunci”. Semua
tidak dapat maju karena di depannya ada mobil yang juga tidak dapat maju. Untung dan kita bersyukur ada dua orang anak muda
“pahlawan” yang ditengah hujan dan banjir mau mengatur lalu lintas, sehingga
akhirnya kemacetan setahap demi setahap terurai.
Memikirkan itu, saya
jadi teringat cerita seorang teman yang lagi menempuh S3 di luar negeri dengan
membawa serta dua orang anaknya yang masih usia SD. Ketika menerima raport, dia kaget karena
anaknya mendapat nilai bagus-bagus. Dia
memberanikan diri bertanya kepada gurunya: “Betulkah anaknya mendapatkan nilai
sebagus itu?”. “Terus di kelasnya dia ranking berapa?”. Gurunya yang kaget dan ganti bertanya: “Mengapa
Anda menanyakan itu?”. Akhirnya sang
guru menjelaskan bahwa nilai yang diberikan itu menunjukkan prestasi bagi
dirinya, prestasi atas upayanya sebagai anak pindahan dari Asia. Tidak dapat dan tidak perlu dibandingkan
dengan anak lainnya. Di sekolah itu
(setingkat SD) yang ditumbuhkan adalah kemampuan bersosialisasi, kemampuan
mengajukan pendapat secara logis, kepedulian kepada orang lain dan kewajiban
sebagai warga masyarakat. Kompetisi
tidak (atau belum saatnya?) diajarkan, karena yang dipentingkan kemampuan
kerjasama dan kepedulian membantu orang lain.
“What can I do for you” adalah ungkapan yang ditumbuhkan di sekolah itu.
Nah, apakah fenomena
rebutan ketika macet itu hasil pendidikan kita yang mengutamakan “kompetisi”
tanpa diimbangi dengan kebersamaan ya?
Jika orang barat yang dikenal dengan sikap individualistik justru
menumbuhkan semangat “what can I do for you”, lantas apa yang seharusnya kita
tumbuhkan sebagai bangsa yang terkenal dengan semanat gotong royong? Semoga para pendidik memikirkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar